Harkunti P. Rahayu: Masyarakat Perlu Dijadikan Aktor dalam Penanganan Bencana

Oleh Luh Komang Wijayanti Kusumastuti

Editor -

BANDUNG, itb.ac.id - Berita mengenai bencana alam akhir-akhir ini betah terpampang pada media cetak dan visual di Indonesia. Mulai dari meletusnya Gunung Sinabung, meningkatnya aktivitas Gunung Kelud, dan banjir yang terjadi di beberapa daerah. Perstiwa-peristiwa tersebut menjadi perhatian dan memunculkan keprihatinan karena telah mengakibatkan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang cukup besar. Bencana banjir merupakan salah satu yang selalu menjadi pusat perhatian karena dampak bencana tersebut mencakup wilayah yang cukup luas dan populasi manusia yang relatif besar. Di Indonesia, dalam rentang tahun 1815-2013 kejadian bencana banjir frekuensinya sebesar 38%, jumlah paling besar dibanding bencana-bencana lainnya.  Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), telah terjadi 863 kejadian banjir di Indonesia sejak September 2011 dan 89 kejadian banjir pada satu bulan terakhir. Data tersebut mengungkapkan bahwa kejadian banjir akhir-akhir ini memang memiliki intensitas yang cukup tinggi yaitu sebanyak 10% dari jumlah keseluruhan.

Dr. Ir. Harkunti P. Rahayu, tim peneliti mitigasi bencana ITB, menyebutkan bahwa permasalahan utama dari banjir adalah kesiapsiagaan fisik kota dan kesiapsiagaan nonfisik. Kesiapsiagaan fisik dilihat dari bagaimana daya tampung sistem drainase yang masuk pada suatu kota, termasuk di dalamnya adalah sungai. Membicarakan banjir tentu juga berbicara Jakarta sebagai kota air. Jakarta, yang terdapat 13 aliran sungai di dalamnya memiliki beberapa masalah. Pertama, terjadinya sedimentasi pada sungai di Jakarta. Dilihat dari kondisi topografi, sungai yang pada bagian hulu cenderung curam hingga ke hilir yaitu daerah Jakarta yang bentuknya landai. Kondisi tersebut menyebabkan terjadi penggerusan dan penumpukan sedimentasi pada hilir yang landai. Sedimentasi tersebut kemudian mengakibatkan pendangkalan sungai yang secara langsung mengurangi kapasitas sungai tersebut.

Kedua, permasalahannya adalah terjadi tambahan sedimentasi dari sampah yang dibuang oleh masyarakat. Saat volume air meningkat, tentunya air akan melimpas akibat dari kecilnya kapasitas sungai. Ketiga, menurut Harkunti sudah saatnya tanggul-tanggul yang terdapat di Jakarta harus direvitalisasi lagi, Harkunti menjelaskan, bahwa banjir yang terjadi di Jakarta dibagi menjadi dua terminologi yaitu banjir akibat air yang melimpah dari sungai dan banjir akibat hujan lokal yang tidak bisa dialirkan melalui sistem drainase. Berdasarkan kondisi geografisnya, 40% muka tanah Jakarta berada di bawah muka air laut. Hal ini menjadikan daerah tersebut tergenang akibat pasang dan volume air hujan yang tinggi. Selain itu terjadinya sea level rise dan land subsidence (penurunan muka tanah akibat penggunaian air tanah yang berlebihan). Kesiapsiagaan nonfisik berbicara mengenai masyarakatnya. "Contohnya ya kalau sudah tau banjir ini siklus harus tau apa yang harus dipersiapkan dan tindakan apa yang harus dilakukan, budaya keselamatan di Indonesia masih belum menjadi perhatian," ungkap Harkunti. Permasalahan bencana tersebut juga bisa berasal dari manusia. Setiap pemangku kepentingan perlu menjalankan perannya.

Dosen prodi Perencanaan Wilayah dan Kota ITB ini menggambarkan kondisi permasalahan daerah yang masyarakatnya perlu dijadikan aktor dalam penanganan bencana banjir.  Harkunti dan timnya sempat melakukan pengabdian masyarakat  di suatu wilayah di Jakarta sebagai kontribusi dalam membuat masyarakat berperan aktif dalam penerapan bencana. Seperti dalam membangun kapasitas sistem early warning berbasis masyarakat dan SOP (Standard Operating Procedure) dalam kesiapsiagaan bencana.

Alternatif Normalisasi dan Relokasi Masih Terbilang Berat

Pemerintah daerah yang sempat mendengungkan rencana normalisasi sungai dan relokasi warga-warga di bantaran sungai dianggap Harkunti masih sulit untuk diwujudkan. Normalisasi merupakan peningkatan kapasitas sungai dengan cara dikeruk atau diperdalam yang memerlukan usaha yang cukup besar karena beberapa buangan yang terjadi di beberapa sungai di Jakarta berupa sampah kelas berat seperti bangkai mobil dan alat elektronik. Bagi Harkunti, masyarakat di sekitar bantaran sungai di Jakarta memilih untuk tinggal di daerah tersebut karena mencari tempat yang paling dekat dengan tempat kerja, entah formal maupun informal.

Apalagi, masyarakat dengan golongan pendapatan kelas menengah kebawah tidak menjangkau harga lahan di perkotaan yang sangat tinggi. "Mereka juga telah menghitung untung rugi kok. Bayangkan jika mereka hanya berpenghasilan 50.000/hari, direlokasi ke daerah yang aman banjir, berangkat kerja bolak-balik perlu ongkos besar, ya ngga bisa saving mereka," ujarnya.

Pada akhir wawancara dengan Kantor Berita ITB, Harkunti menyarankan untuk permasalahan banjir ini perlu diadakan revitalisasi kampung, membenahi tatanan permukiman di sekitar bantaran sungai seperti membangun rusunawa atau rusunami di sekitar sana untuk mengahadapi bencana banjir yang datang secara siklus. "Semua ini bisa dibenahkan, seperti menguraikan semua benang kusut. Selama semuanya disiapkan, diupayakan, dan disiasati, serta upaya mitigasi yang dilakukan jauh sebelum bencana itu terjadi. Direviewlah, kenali kotanya, disayangi kotanya. Kalau nggak sayang sama kotanya ya jangan haraplah bisa living in harmony. Semuanya harus berkolaborasi dalam mengatasi bencana, termasuk masyarakat di dalamnya," tutup Harkunti.

 

Sumber foto: http://www.bnpb.go.id/gallery/album/145


scan for download