ITB:
Menapak menuju
Keberhasilan Transformasi
|
|
Kata Pengantar
Tahun 2003, ITB memasuki tahun
ketiga dari lima tahun masa transisi yang ditetapkan untuk sepenuhnya menjadi
sebuah Perguruan Tinggi yang otonom dengan status Badan Hukum Milik Negara
(PT-BHMN) dengan kemandirian yang tinggi dalam penyelenggaraan program kegiatan
serta pengelolaan dan pengembangan sumber dayanya
Namun, kemandirian tersebut bukan
sesuatu yang dengan sendirinya tercipta dengan pemberian status BHMN tersebut,
melainkan suatu kemampuan yang harus dikembangkan secara terencana, terpadu dan
berkelanjutan. Dengan kemandirian tersebut diharapkan dapat diciptakan
organisasi ITB yang dapat secara cerdas dan tangkas menjawab dinamika perubahan
dalam masyarakat, baik lokal, nasional dan global.
Policy Paper ini
merupakan sebuah rangkuman tentang arah, kebijakan dan langkah-langkah yang
telah dilakukan dalam proses transformasi ITB, khususnya pada tahun 2002, serta
tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam proses tersebut. Selain sebagai
evaluasi diri (lessons learned),
tulisan ini merupakan informasi tentang proses transformasi ITB yang ingin
disampaikan kepada segenap warga ITB, serta pihak lain, khususnya PT lain yang
akan melakukan proses transformasi dan pemerintah yang peranannya sangat
diharapkan dalam menciptakan kondisi yang kondusif untuk keberhasilan proses
transformasi PT di Indonesia.
Tak lupa, saya menyampaikan ucapan
terima kasih kepada segenap jajaran Pimpinan ITB serta seluruh warga ITB yang
telah berperan aktif dalam proses transformasi yang telah dilakukan. Pada tahun
2003 dan tahun-tahun mendatang, partisipasi aktif yang lebih luas diharapkan
dari seluruh warga ITB untuk
mempercepat proses transformasi menuju ITB yang dicita-citakan.
Bandung, Januari 2003
Rektor ITB
Kusmayanto Kadiman
I. Pengantar
Sejak diterbitkannya PP 155/2000
pada 26 Desember 2000, tidak terasa ITB telah memasuki tahun kedua dan akan
segera memasuki tahun ketiga proses transformasi menuju ITB dengan status Badan
Hukum Milik Negara (BHMN). Proses transformasi tersebut diawali dengan tahapan
melengkapi struktur kelembagaan ITB-BHMN yang telah menghasilkan Senat
Akademik, Majelis Wali Amanat, dan Rektor ITB. Selanjutnya, pelantikan Rektor
ITB pada tanggal 10 Nopember 2001 menandai awal proses transformasi kelembagaan
ITB yang sesungguhnya.
Namun merupakan suatu kesia-siaan
jika status BHMN digunakan hanya sebagai suatu label sebuah perguruan tinggi
(PT) tanpa perbaikan pada kinerjanya. Otonomi dalam sistem pengelolaan PT yang
ditawarkan melalui status BHMN bukan suatu kondisi yang tercipta seketika
dengan diberikannya status tersebut, melainkan suatu kondisi yang yang harus
dibangun melalui pengembangan kemampuan dalam pengelolaan suatu organisasi
pendidikan tinggi secara mandiri, baik dalam penyelenggaraan kegiatan, serta
pengelolaan dan peningkatan sumber daya yang dimilikinya. Berangkat dari sebuah
PT Negeri dengan sistem manajemen birokrasi yang kental dengan pengaruh dari
pemerintah pusat, proses transformasi ITB menuju PT-BHMN yang ideal bukanlah
suatu proses yang mudah. Dalam keterbatasan sumber daya internal dan dukungan
eksternal dari pemerintah, diperlukan motivasi yang sangat kuat, visi yang
jelas dan upaya yang konsisten dalam melakukan perubahan menuju sasaran yang
ditetapkan.
Secara singkat, tulisan ini
menguraikan pengalaman ITB dalam melakukan proses transformasi dari sebuah PT
Negeri menjadi PT-BHMN beserta tantangan dan kendalanya. Selain sebagai
evaluasi diri (lessons learned),
tulisan ini juga bertujuan untuk membagi pengalaman ITB, baik kepada PT lain,
khususnya yang akan melakukan proses transformasi, maupun kepada pemerintah
yang peranannya sangat diharapkan dalam menciptakan kondisi yang kondusif untuk
keberhasilan proses transformasi PT di Indonesia. Tulisan ini disusun
berdasarkan informasi yang disampaikan dalam empat dokumen utama, yaitu (1)
Laporan Penyelenggaraan dan Pengembangan Institut Teknologi Bandung Tahun 2002,
(2) Rencana Kerja dan Anggaran Instititut Teknologi Bandung Tahun 2002, (3) PP
155/2000 yang menetapkan status ITB sebagai BHMN, dan (4) Rencana Transisi ITB.
2. Transformasi ITB
2.1
Sasaran Transformasi ITB
Status BHMN bukanlah merupakan
sasaran dalam proses transformasi ITB. Status tersebut hanya digunakan sebagai
momen untuk melakukan perubahan mendasar pada sistem kelembagaan ITB guna
menciptakan agility pada sistem dan
organisasinya sehingga mampu berperan secara nyata di masyarakat dalam menjawab
tantangan zaman secara cerdas dan tangkas.
ITB, dalam konteks sebagai perguruan tinggi yang menekuni
ilmu pengetahuan, teknologi, seni (IPTEKS) dan ilmu-ilmu kemanusiaan, dewasa
ini berada pada persimpangan jalan dalam menyongsong perubahan zaman pada
milenium ketiga. ITB harus dapat berperan secara efektif dan proaktif dalam menjawab
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta persoalan sosio-ekonomi
masyarakat. Oleh karena itu perubahan status menjadi BHMN harus dilihat dari perspektif semangat menuju yang lebih baik,
selaras dengan kebutuhan masyarakat dan komunitas akademik. Transformasi
ITB diarahkan untuk mewujudkan academic
excellence, kesejahteraan warga ITB, serta perubahan dan perkembangan
masyarakat (Gambar 1).
Gambar
1. Sasaran utama proses transformasi ITB
2.2 Permasalahan Transformasi ITB
Secara garis besar, permasalahan
transformasi ITB berkaitan dengan delapan permasalahan pokok, yaitu: strategi,
struktur, sistem, stakeholders, sumber daya, kompetensi, kepemimpinan
dan nilai budaya bersama (cultural shared value). Berikut uraian singkat
mengenai setiap permasalahan dengan profil sebagaimana diperlihatkan pada
Gambar 2.
(1) Strategi
Untuk mendukung proses transformasi, disusun
strategi dengan ciri sebagai berikut:
·
Menjamin terlaksananya transformasi
kelembagaan ITB sebagai suatu proses perubahan guna mewujudkan operational excellence dan future innovation for value creation secara
bertahap dan berkesinambungan;
·
Menghubungkan peluang dengan potensi
sumber-daya yang dimiliki ITB (linking
opportunity and competence);
·
Memanfaatkan networking (alliance);
·
Memenuhi harapan dan aspirasi stakeholders dengan selalu menjaga
keseimbangan antara kepentingan stakeholders dengan kelangsungan operasi
(sustainability) ITB-BHMN.
(2) Struktur
Untuk mendukung proses transformasi kelembagaan
ITB secara sistematis, konsisten dan bertahap (dalam 5-10 tahun), struktur yang
digunakan harus tanggap, seimbang (span
of control), dan selalu berorientasi pada pencapaian misi dan sasaran
kinerja organisasi. Perancangan struktur juga mempertimbangkan proses transisi
dalam berbagai aspeknya (implementable).
(3) Sistem
Melengkapi struktur organisasi ITB-BHMN,
dikembangkan beberapa sistem, untuk mendukung fungsi-fungsi perencanaan,
pengembangan sumber daya manusia, manajemen operasi, dan layanan mahasiswa.
·
Perencanaan: diarahkan untuk memungkinkan dilaksanakannya koordinasi,
integrasi dan sinkronisasi perencanaan, baik secara vertikal maupun horisontal,
guna mendukung pelaksanaan transformasi kelembagaan ITB.
·
Manajemen Akademik: diarahkan untuk mendukung integrasi program S1, S2 dan S3, serta
menjamin kualitas proses sehingga dapat diwujudkannya academic excellence.
·
Keuangan: dirancang dengan mempertimbangkan keterpaduan, efisiensi,
efektivitas, desentralisasi dan akuntabilitas institusi. Setiap unit organisasi
memperoleh otonomi yang luas dalam mengelola aktivitas, organisasi dan
sumberdayanya dalam kerangka sistem dan organisasi ITB-BHMN. Setiap program
kegiatan direncanakan dengan mengacu pada Rencana Kerja dan Anggaran ITB yang
telah ditetapkan.
·
Manajemen Sumber Daya: diarahkan pada sistem pengelolaan sumber daya berbasis kebutuhan
institusi dan pemanfaatan maksimal dari kompetensi yang dimiliki untuk
pertumbuhan institusi, serta menjamin dapat difungsikannya sumber daya yang
dimiliki sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal ini diperlukan keterpaduan
pengelolaan kegiatan sourcing, integrating, maintaining dan
developing sumber daya.
·
Kemitraan: diarahkan pada pendayagunaan kompetensi yang dimiliki oleh ITB
secara melembaga.
·
Informasi: disiapkan untuk mendukung integrasi operasional manajemen
keuangan, kepegawaian, sarana dan prasarana, kemitraan serta manajemen
akademik.
(4) Stakeholders
Stakeholders ITB terdiri dari dosen, pegawai non dosen, mahasiswa, pemerintah
pusat, pemerintah provinsi, alumni, dan masyarakat umum lainnya. Dua aspek yang
menjadi fokus perhatian adalah:
·
Aspirasi dan Ekspektasi Stakeholders
MWA merupakan lembaga perwakilan stakeholders
ITB-BHMN. Dengan demikian, harapan dan aspirasi stakeholders diharapkan
tercermin melalui amanat yang diberikan oleh MWA kepada Rektor dalam mengemban
misi pengelolaan dan pengembangan ITB-BHMN.
·
Stakeholders Relation
Eksekutif senantiasa secara proaktif
melakukan hubungan dengan stakeholders dan organ-organ ITB-BHMN. Oleh
karenanya, suatu sekretariat dibentuk untuk mengelola hubungan eksekutif dengan
organ-organ ITB-BHMN (MWA, Senat Akademik, dan
Majelis Guru Besar).
(5) Sumber Daya
Tranformasi kelembagaan ITB memerlukan sumber
daya, terutamanya sumber daya manusia, kapital, fisik, dan sosial yang unggul
dan dapat diandalkan. Oleh karenanya, dilakukan auditing resources yang
dimiliki ITB, serta revitalisasi dan restrukturisasi unit-unit pengelolanya.
(6) Kompetensi
Transformasi ITB-BHMN selalu memposisikan excellence in operation dalam
pendidikan, penelitian dan pengembangan, serta
pemberdayaan atau pelayanan pada masyarakat.
(7) Kepemimpinan
Untuk memandu proses perubahan yang
direncanakan, dikembangkan kepemimpinan transformasional ITB-BHMN yang berfokus
pada kepentingan stakeholders,
bersifat kolektif, dan decisive
(tegas), serta proaktif.
(8) Nilai Budaya Bersama (Cultural Shared Value)
Transformasi ITB merupakan perubahan mendasar yang
mempersyaratkan individu menjunjung tinggi
budaya akademik dan mempunyai sikap strive
for excellence, berorientasi pada kepentingan stakeholders,
memiliki komitmen untuk berbuat yang
terbaik bagi ITB dan meyakini misi historis ITB (cultural focus).
2.3 Agenda Transformasi ITB
Agenda Transformasi terdiri dari pokok-pokok kegiatan
berikut:
§
Pengenalan kondisi baru ITB-BHMN dan menyiapkan critical mass yang diharapkan akan
dicapai melalui identifikasi agen-agen perubahan menuju perubahan perilaku
setiap anggota komunitas ITB-BHMN.
§
Pembangkitan kesadaran melalui pemberian arahan,
stimulasi, komunikasi. Identifikasi dan penanganan masalah pada setiap
tingkatan komunitas, baik di tingkat departemen, forum karyawan, dosen maupun
mahasiswa, dalam rangka mendapatkan komitmen dan kesediaan berkolaborasi untuk
menjalankan transformasi ITB.
§
Audit organisasi dan sumber daya, baik fisik,
modal, manusia dan sosial, dimulai dengan dibuatnya potret kondisi aktual ITB,
dilanjutkan dengan pembentukan Unit Pengawas Internal (UPI), untuk menjalankan
azas completing the loop dari setiap proses kegiatan ITB-BHMN.
§
Penciptaan iklim akademik yang bersih dan teratur,
baik dari segi lingkungan fisik (eksternal dan internal), maupun dari segi
manajemen birokrasi. Program ini dimulai dilaksanakan dengan dicanangkannya
gerakan “Kampus Bersih” yang berkelanjutan, sebagai gerakan budaya untuk dapat
memelihara lingkungan yang bersih dan teratur secara terus-menerus yang menjadi
tanggung jawab sosial seluruh warga komunitas akademik ITB.
§
Pengembangan jaringan dan aliansi strategis antara
ITB dengan pemerintah dan masyarakat,
baik lokal, nasional, maupun global. Tahapannya dimulai dengan perintisan dan
pengembangan aliansi strategis, dilanjutkan dengan pengembangan sistem
pengelolaan kemitraan, yang akan dilakukan melalui penciptaan keberhasilan
pengelolaan auxiliary business, inkubator dan kegiatan-kegitan penelitian serta
pemberdayaan masyarakat.
§
Pengembangan sistem manajemen ITB-BHMN, melalui
pengembangan dan implementasi sistem keuangan, sistem perencanaan (termasuk
sistem informasi dan manajemen aset),
penyusunan konsep SUK (Satuan Usaha Komersial), SKD (Satuan Kekayaan dan
Dana) dan Kewirausahaan ITB yang dilanjutkan dengan pendirian SUK dan SKD,
untuk lebih menjamin pertumbuhan yang diwujudkan dalam kontribusinya pada
rencana kerja dan anggaran ITB.
§
Pengembangan dan penerapan sistem kepegawaian
ITB-BHMN, baik menyangkut staf non-akademik maupun staf akademik:
–
Sistem kepegawaian untuk staf non akademik
dirancang melalui tahapan-tahapan disain organisasi, sistem insentif
struktural, sistem penilaian kinerja, sistem remunerasi baru, sistem pendidikan
dan pelatihan, sehingga terwujud sistem kepegawaian baru staf non akademis
ITB-BHMN;
–
Sistem kepegawaian untuk staf akademis, dirancang
akan dilakukan assesmen dengan melihat kebutuhan pasar dan pengembangan IPTEKS,
sesuai dengan program tridharma, dilanjutkan dengan penyusunan struktur &
organisasi, pembuatan perencanaan & penugasan staf akademis, agar dapat
dilakukan sistem penilaian baru untuk mendapatkan sistem remunerasi baru dan
pengembangan karir baru staf akademik, menuju pembakuan sistem kepegawaian baru
staf akademik.
Gambar
2. Agenda Transformasi ITB 2002 – 2006
§
Aligning core activities dalam
bidang pendidikan, penelitian dan pemberdayaan masyarakat, melalui program
restrukturisasi, reposisi dan revitalisasi aktivitas inti, menuju pengembangan
keunggulan akademik, agar dapat menciptakan pertumbuhan dan mempertahankan
keberlangsungan aktivitas ITB (sustainability).
2.4
Prinsip Perubahan
Program
Transformasi ITB disusun berdasarkan prinsip bahwa proses transformasi
kelembagaan akan memerlukan perubahan fundamental dari sistem dan organisasi
ITB. Namun, untuk menjaga efektivitas program transformasi dan efisiensi dalam
penggunaan sumber daya yang ada, maka setiap perubahan hanya akan dilakukan
jika memungkinkan terjadinya penciptaan nilai (value creation). Oleh
karena itu, perubahan-perubahan yang diperlukan adalah perubahan yang nyata dan
efektif (mudah), bersifat efisien (murah) dan yang meningkatkan produktivitas
(menghasilkan). Tabel 1 berikut memperlihatkan kuadran kerja yang melandasi
penyusunan program-program Transformasi ITB.
Tabel 1. Kuadran
kerja program transformasi ITB
Benefit: Finansial/ Non
Finansial |
Biaya |
|
Tetap |
Turun |
|
Tetap |
Tidak Ada Perubahan |
Efisiensi (Murah) |
Naik |
Efektivitas (Mudah) |
Nilai Maksimum (Menghasilkan) |
Dalam implementasinya, program
transformasi ITB akan menggunakan pendekatan 4B, yaitu: Bertahap, Berjenjang, Bersepakat dan Berkelanjutan.
a. Bertahap: Perubahan dilakukan dengan
mempertimbangkan resiko, dampak dan skala prioritas.
b. Berjenjang: Perubahan harus dapat menjamin
keseimbangan antara otoritas yang diberikan dan pertanggungjawaban. ITB-BHMN
dioperasikan sebagai korporasi yang sehat, sehingga setiap unit organisasi akan
difungsikan sebagai unit mandiri dan bertanggungjawab.
c. Bersepakat: Perubahan harus dilandasi oleh adanya komitmen dan kolaborasi dari civitas academica (partisipasi luas).
d. Berkelanjutan: Perubahan harus
dapat dijalankan secara berkesinambungan. Setiap unit organisasi perlu
melakukan evaluasi diri untuk dapat menentukan kapasitas institusi.
3. Tantangan dan Hambatan
dalam Transformasi ITB
Sebagaimana perubahan pada setiap organisasi, tantangan
dan hambatan dihadapi oleh ITB dalam menjalankan proses transformasi
kelembagaan saat ini.
3.1
Tantangan Transformasi ITB
Tantangan utama dalam suatu proses perubahan
adalah karakteristik perubahan itu
sendiri yang bersifat dinamis,
berpotensi menimbulkan konflik dengan sistem dan nilai-nilai lama, serta
mengandung ketidakpastian, sehingga diperlukan visi yang kuat untuk
memberikan arah perubahan secara jelas dan nyata, serta rencana yang efektif
dan proaktif termasuk dalam alokasi anggaran untuk menjaga keseimbangan dalam
perubahan dan konsistensi proses perubahan tersebut menuju sasaran yang
ditetapkan. Untuk mendukung keberhasilan proses transformasi, maka tantangan
yang harus dihadapi ITB adalah:
1.
Mengembangkan kepemimpinan transformasional yang mampu membangun kesamaan dalam kesadaran akan urgency
dan visi terhadap proses transformasi yang sedang dan akan dilaksanakan;
2.
Membangun kepemimpinan
kolektif yang kuat dan efektif, melibatkan Rektor, MWA, Senat Akademik
dan Majelis Guru Besar, untuk mereduksi
potensi konflik yang relatif tinggi pada masa transisi;
3.
Membangun kepercayaan (trust)
di antara warga ITB khususnya dan stakeholders ITB umumnya terhadap kesungguhan dan kejujuran
Pimpinan ITB dalam melakukan proses transformasi kelembagaan;
4.
Menjaga kelangsungan
operasi ITB untuk tetap dapat memenuhi ekspektasi stakeholders terhadap produk dan layanan ITB dengan baik.
5.
Mengelola proses
transisi secara efektif dan proaktif sehingga tidak menghambat proses
perubahan secara keseluruhan.
6.
Menyelaraskan perubahan
antar elemen sistem untuk mendapatkan keselarasan gerak dalam proses
perubahan.
7.
Menyelaraskan kecepatan
perubahan dengan dinamika perubahan beserta kondisi yang berkembang sebagai
akibat perubahan-perubahan yang telah dilakukan.
8.
Menerapkan sistem
perencanaan yang mampu mengakomodasikan secara luas aspirasi dan
partisipasi warga ITB dalam sistem penyelenggaraan ITB-BHMN.
9.
Meningkatkan efisiensi
penggunaan sumber daya ITB yang terbatas untuk menjaga kesinambungan upaya
transformasi kelembagaan ITB.
10.
Memadukan segala niat dan upaya untuk
menciptakan paduan kekuatan tinggal landas bagi ITB untuk menuju sasaran
transformasi yang telah ditetapkan.
3.2
Hambatan Transformasi ITB
Hasil evaluasi terhadap program transformasi ITB pada tahun 2002
menunjukkan bahwa belum seluruh program transformasi mencapai sasaran yang
ditetapkan. Namun demikian, sebagian besar program transformasi telah berhasil
memasuki tahap inisiasi dari proses transformasi, yang pada tahun 2003
diharapkan dapat dilanjutkan dengan kecepatan perubahan yang lebih tinggi.
Secara garis besar, hambatan dalam pelaksanaan program
transformasi ITB pada tahun 2002 bersumber pada beberapa faktor, baik yang
bersifat individu, kelompok, organisasi dan sistem penyelenggaraan, maupun yang
bersifat eksternal dari luar organisasi ITB. Bagian berikut menguraikan secara
singkat hambatan-hambatan tersebut beserta dampaknya terhadap proses
transformasi di ITB.
3.2.1 Hambatan Internal
(1)
Konflik kepentingan
Otonomi individu yang demikian kuat dalam
sistem PT Negeri yang lalu menyebabkan tak dapat dihindarkannya benturan
kepentingan antar individu atau kelompok, baik dalam tahap persiapan konsep
ITB-BHMN, pembentukan kelengkapan organisasi ITB-BHMN, seperti pembentukan
Senat Akademik (SA), Majelis Wali Amanat (MWA) dan pemilihan rektor, serta
tahap awal proses transformasi kelembagaan ITB pada tahun 2002.
Konflik kepentingan tersebut juga berpotensi
menyebabkan perbedaan persepsi yang berdampak pada ketidakselarasan dalam
pengelolaan proses transformasi, khususnya jika hal tersebut melibatkan
Pimpinan ITB, baik Pimpinan Eksekutif, MWA, SA maupun MGB yang merupakan unsur
pimpinan kolektif ITB-BHMN.
(2)
Sikap apriori atau curiga terhadap perubahan
Sikap apriori atau curiga merupakan suatu
sikap umum yang muncul dalam menghadapi suatu perubahan. Munculnya sikap
tersebut juga dirasakan, khususnya pada saat awal proses transformasi ITB mulai
digulirkan. Pada saat tersebut diseminasi informasi tentang rencana
transformasi beserta sasaran yang akan dituju baru saja dimulai, keyakinan (trust) terhadap kesungguhan dan komitmen Pimpinan ITB dalam melakukan
transformasi secara konsisten belum terbangun, dan hasil nyata proses
transformasi belum dapat diwujudkan.
Dalam kondisi tersebut, sikap
sebagian besar warga ITB adalah menunggu dan belum terdorong untuk
berpartisipasi aktif dalam proses transformasi. Hal tersebut berdampak pada
keterlambatan pembentukan critical mass yang
diperlukan untuk segera mendorong proses transformasi di awal tahun 2002.
(3)
Pengaruh budaya dan sistem kerja lama
Pada awal perubahan, tidak terhindarkan
munculnya pengaruh budaya dan sistem kerja lama dalam implementasi sistem dan
organisasi baru ITB. Terlepas dari
upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut, dampak budaya dan sistem kerja lama terhadap
efektivitas sistem dan organisasi baru dalam penyelenggaraan ITB sangat
dirasakan, khususnya dalam kasus berikut (Tabel 2).
(4)
Struktur organisasi
Struktur organisasi merupakan kerangka kerja
yang menggambarkan alokasi dan pengelolaan sumber daya, serta garis komunikasi
dan pengambilan keputusan dalam organisasi. Struktur organisasi dirancang untuk
mendukung strategi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasarannya.
Dalam proses transformasi yang bersifat
sangat dinamis, struktur organisasi dapat menjadi hambatan pada saat kemajuan
proses transformasi memasuki tahapan baru dengan karakteristik permasalahan
yang memerlukan strategi pengelolaan yang berbeda. Sebagai contoh, memasuki
tahun 2003 di mana diantisipasi akan diperlukan akselerasi dalam perubahan yang
dilakukan, akan diperlukan suatu struktur yang lebih fleksibel dan tanggap
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, baik dalam lingkungan internal
maupun eksternal ITB, dengan tetap berorientasi pada pencapaian sasaran secara
konsisten.
Tabel 2. Contoh budaya dan sistem kerja lama
berserta dampaknya pada efektivitas penerapan sistem baru ITB-BHMN
Aspek |
Budaya/Sistem Nilai Lama |
Dampak |
Unit-unit
organisasi baru |
Menekankan
pada wewenang daripada tugas dan kewajiban. |
Fungsi yang
tidak maksimal. |
Sistem
Manajemen Akademik berbasis elektronik |
Sistem
kerja berbasis kertas. |
Menghambat
pencapaian sasaran efektivitas dan efisiensi sistem manajemen akademik. |
Sistem
Penilaian Kinerja |
Dilakukan
oleh atasan kepada bawahan, formalitas, tidak obyektif (misalnya,
mempertimbangkan hubungan antara penilai dan yang dinilai) |
–
Menghambat pencapaian sasaran; – Belum dapat digunakan sepenuhnya sebagai dasar penentuan
insentif berbasis kinerja. |
Sistem
Perencanaan: |
|
|
– Evaluasi diri unit kerja |
– Dilakukan sebagai formalitas, dilakukan secara parsial dari
proses penyusunan rencana |
– Menghambat pencapaian sasaran; – Belum dapat diguna-kan sepenuhnya seba-gai dasar perencanaan. |
– Rencana kerja dan anggaran unit kerja |
– Dilakukan sebagai formalitas, tidak konsisten dengan hasil
evaluasi diri atau tidak mengacu pada kebutuhan nyata |
– Diperlukan sejumlah iterasi dalam proses penyusunan rencana. |
Pengelolaan
proses kegiatan lintas unit organisasi, contoh Auxilliary Business ITB, pembentukan unit organisasi baru |
Kuatnya
“dinding pembatas” antar silo-silo unit organisasi |
– Ketidakselarasan dalam kebijakan dan tindakam implementasinya; – Menghambat kelancaran aliran proses kegiatan antar unit
organisasi. |
Penataan
sarana dan prasarana |
Sikap possesiveness yang kuat terhadap
fasilitas yang digunakan |
Friksi dan
keterlambatan dalam proses penataan. |
(5)
Keterbatasan sumber daya
Walaupun ada kecenderungan menurun,
ketergantungan ITB pada dana pemerintah masih relatif besar, yaitu sebesar
36,7% dari total anggaran sebesar Rp 246,131 milyar pada tahun 2002, dan
sebesar 32,5% dari total anggaran sebesar Rp 246,5 milyar pada tahun 2003.
Kurang-lebih 50% dari dana pemerintah tersebut merupakan dana operasi rutin
yang sebagian besar digunakan untuk pembayaran gaji PNS (Pegawai Negeri Sipil)
di ITB. Bentuk penggunaan dan pertanggung-jawaban dana pemerintah yang sangat
kaku mengurangi fleksibilitas ITB dalam alokasi anggaran, khususnya di bidang
sumber daya manusia (SDM) serta pembangunan sarana dan prasarana.
Keterbatasan sumber daya lain yang sangat dirasakan
adalah dalam bidang SDM, khususnya berkenaan dengan aspek kualitatif, meliputi
pengetahuan dan keterampilan, serta persepsi dan sikap terhadap proses
transformasi yang sedang dan akan dilakukan. Keterbatasan jumlah SDM dengan
kualifikasi yang diperlukan berdampak pada keterlambatan realisasi beberapa
program transformasi.
3.2.2 Hambatan Eksternal
Disamping faktor internal, sejumlah faktor eksternal menjadi
penghambat bagi kelangsungan proses transformasi di ITB, dan beberapa perguruan
tinggi lainnya karena sifat pengaruhnya yang menyeluruh terhadap lingkungan
operasi eksternal perguruan tinggi di
(1)
Belum adanya pranata hukum BHMN yang koheren dan komprehensif
Sangat dirasakan kurangnya kesiapan
pemerintah dalam menyiapkan pranata hukum yang secara koheren dan komprehensif
dapat mendukung kelancaran operasi PT-BHMN. Dari sisi hukum, kekuatan PP RI No.
155 Tahun 2000 yang dikeluarkan pemerintah untuk mengesahkan status ITB sebagai
BHMN sangat lemah dibandingkan dengan undang-undang yang mengatur sistem
pengelolaan keuangan pemerintah dan perpajakan. Hal ini bersifat sangat
menghambat kelancaran operasi ITB-BHMN. Sebagai contoh, tidak masuknya
terminologi BHMN dalam nomenklatur perpajakan menyebabkan pengenaan pajak badan
usaha milik negara (BUMN) pada kegiatan-kegiatan ITB-BHMN yang merupakan
organisasi not for profit.
(2)
Belum adanya skema bantuan pemerintah yang efektif
Hingga saat ini komitmen pemerintah dalam
bentuk bantuan finansial untuk mendukung transformasi PT-BHMN menjadi world class university belum diwujudkan
secara nyata. Sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu, sebagian besar
bantuan dana pemerintah diberikan dalam bentuk gaji PNS yang jumlah dan
penggunaannya di luar kendali ITB. Dengan kebijakan zero-growth untuk jumlah PNS di PT-BHMN, dan jika masa transisi
status PNS menjadi pegawai ITB-BHMN ditetapkan 5 tahun, maka pada akhir tahun
2005 kontribusi dana pemerintah pada anggaran ITB akan menurun secara
signifikan. Hal tersebut berarti, dalam kurun waktu yang sama kapasitas
pendapatan (earning capacity) ITB
harus ditingkatkan secara drastis. Selain untuk mengimbangi penurunan
kontribusi dana pemerintah, ITB harus meningkatkan kapasitas pendapatannya
untuk mengatasi peningkatan anggarannya, sejalan dengan program pengembangan
ITB sebagai world class university.
Dengan keterbatasan sumber daya dan pengalaman yang ada, kondisi tersebut
berpotensi mengganggu upaya pencapaian sasaran transformasi ITB, yaitu academic excellence dan pelopor
kemajuan, dan bukan usaha komersialisasi yang berlebihan.
(3)
Kesalahan persepsi: ‘komersialisasi berlebihan’ dalam
penyelenggaraan kegiatan ITB-BHMN
Hambatan ini terkait erat dengan hambatan
kedua. Kesan ‘komersialisasi berlebihan’ sebagai dampak perubahan status ITB
menjadi BHMN muncul sebagai akibat dari peningkatan kontribusi dana yang
diperlukan dari para mitra atau stakeholders
ITB dalam memanfaatkan produk dan jasa, serta aset (tangible dan intangible)
ITB-BHMN.
Dalam keterbatasan dukungan finansial dari
pemerintah, mengantisipasi peningkatan kebutuhan dana untuk penyelenggaraan dan
pengembangan ITB-BHMN, sejumlah upaya dilakukan untuk meningkatkan kemampuan
pendanaan ITB secara mandiri. Beberapa upaya yang telah dilakukan adalah
perbaikan dalam pengelolaan sumber dana yang di antaranya bersumber pada:
–
Kegiatan kerjasama ITB dengan para
mitranya, baik di bidang pendidikan, penelitian dan pemberdayaan masyarakat;
–
Pemanfaatan aset-aset ITB, baik yang
bersifat tangible maupuan intengible; dan
–
Sumbangan biaya pendidikan dari
mahasiswa.
Melalui peningkatan efisiensi internal dan
efektivitas organisasi, peningkatan kontribusi dana dari para mitra atau stakeholders ITB diupayakan seminimum
mungkin. Namun terlepas dari upaya tersebut, peningkatan kontribusi dana yang
terjadi bersamaan dengan perubahan status ITB menjadi BHMN telah menimbulkan
kesalahan persepsi tentang adanya upaya komersialisasi secara berlebihan dalam
penyelenggaraan kegiatan ITB-BHMN. Persepsi tersebut selanjutnya berpotensi
menimbulkan kondisi kontra produktif terhadap kegiatan penyelenggaraan dan
pengembangan ITB umumnya, serta proses transformasi ITB khususnya.
Ketiga hambatan tersebut di atas sangat kuat pengaruhnya terhadap
kapasitas dan fleksibilitas organisasi dalam pengelolaan kegiatan dan sumber
dayanya guna mendukung proses perubahan yang diperlukan. Untuk mengatasi
hambatan eksternal tersebut, bersama-sama dengan tiga PT-BHMN lain, telah
diusulkan kepada pemerintah untuk dapat mengesahkan dan memberlakukan dengan
segera peraturan perundang-undangan yang bersifat koheren dan komprehensif
mengenai BHMN. Namun hingga kini belum didapatkan solusi nyata terhadap
permasalahan tersebut.
4. Kebijakan Operasional
Mengantisipasi munculnya hambatan
internal sebagaimana disebutkan di atas, maka dirumuskan beberapa kebijakan
operasional berikut.
(1)
Orientasi Kegiatan
pada Kebutuhan Institusi
Semua kegiatan/program harus berdasarkan pada kebutuhan institusi.
Dalam kondisi konflik antar kebutuhan atau kepentingan, maka solusi yang
diambil harus dengan menempatkan kepentingan ITB di atas kebutuhan atau
kepentingan individu atau kelompok (ITB FIRST).
(2)
Pendekatan
Perubahan: 3M & 4B
Mempertimbangkan efektivitas program dan efisiensi sumber daya,
prinsip 3M (Mudah, Murah dan Menghasilkan) digunakan untuk menentukan perubahan
yang akan dilakukan. Dalam implementasinya, prinsip 4B (Bertahap, Berjenjang,
Bersepakat & Berkelanjutan) diterapkan sebagai wujud pemberdayaan segenap
komponen institusi ITB melalui desentralisasi yang terkoordinasi dari aktivitas
dan program, organisasi, serta sumber daya ITB.
(3)
Institusi
menawarkan pilihan, individu melakukan evaluasi diri untuk memilih (komitmen)
Berkenaan dengan perubahan yang menyentuh status atau kondisi
individu staf ITB, disusun spektrum
alternatif yang memungkinkan setiap individu memilih perubahan status atau
kondisi yang diinginkan sesuai dengan komitmen yang dapat diberikan dalam
mewujudkan visi dan menjalankan misi ITB. Dalam hal ini, ITB akan menawarkan
pilihan dan setiap individu melakukan evaluasi diri untuk menentukan
pilihan atau komitmennya.
(4)
Performance-based
& fairness
Alokasi anggaran ITB ke unit-unit
organisasi harus dapat menjamin terselenggaranya pelayanan standar oleh setiap
unit organisasi. Namun demikian, untuk mencegah terjadinya ‘band wagon
effect’ atau ‘demonstration effect’, serta dengan mempertimbangkan
keterbatasan sumber daya dan sekaligus untuk mendorong perbaikan kinerja,
alokasi sumber daya akan dilakukan berdasarkan kinerja dan keadilan (performance-based
& fairness). Termasuk di
dalamnya adalah sistem insentif untuk peningkatan kesejahteraan staf ITB.
Dalam implementasinya, sistem alokasi
atau insentif berbasis kinerja dan keadilan akan memerlukan mekanisme kontrol
yang memberikan masukan (feedback) kepada pihak manajemen mengenai
kinerja yang dihasilkan oleh individu maupun unit kerja. Pada Satuan Akademik,
tugas mekanisme kontrol tersebut dilakukan oleh Unit Pengawas Internal (UPI)
yang saat ini sedang dalam proses persiapan pembentukannya.
(5)
Completing
the loop
Untuk memicu peningkatan kualitas
secara berkelanjutan dan efektivitas alokasi sumber daya, maka setiap program
kegiatan ITB harus didasarkan pada perencanaan yang mempertimbangkan perbaikan
dan pengembangan kondisi yang diperlukan. Selanjutnya, perencanaan diikuti
dengan perancangan, implementasi, operasi, analisis dan evaluasi, serta
perbaikan dan pengembangan program kegiatan.
(6)
Resource
leveraging & institutionalized
Kegiatan kemitraan merupakan upaya
untuk menjembatani kompetensi ITB-BHMN dengan masyarakat (pendidikan tinggi,
pemerintah, industri dan masyarakat umum). Dalam penyelenggaraan dan
pengembangannya, kegiatan kemitraan harus dapat mendayagunakan kompetensi yang
dimiliki oleh ITB secara maksimal (resource leveraging) dan melembaga (institutionalized)
guna proses penciptaan nilai.
Secara
bersama-sama kebijakan operasional tersebut diharapkan dapat menciptakan paduan kekuatan yang diperlukan oleh ITB untuk tinggal landas dari
kondisi lama menuju kondisi baru yang diinginkan. Efektivitas kebijakan
operasional akan ditentukan oleh konsistensi dalam implementasinya, yang
mempengaruhi pola perubahan yang akan terjadi. Gambar 4 pada halaman berikut
memperlihatkan perbandingan pola perubahan ‘tanpa’ dan ‘dengan’ dukungan
kebijakan operasional dan pranata hukum yang efektif.
Gambar 4 (a) |
|
Gambar 4 (b) |
Gambar 4. Kondisi perubahan: (a) tanpa
dukungan kebijakan operasional & pranata hukum yang efektif dan (b) dengan
dukungan kebijakan operasional & pranata hukum yang efektif |
5. Penutup
Secara
optimis, perubahan status ITB menjadi BHMN dapat dipandang sebagai peluang yang
sangat penting untuk mengawali perubahan fundamental yang diperlukan untuk
dapat mewujudkan cita-cita ITB sebagai world
class university. Tetap dengan menjaga kelangsungan operasi rutin, sejumlah
perubahan awal telah dilakukan pada tahun 2002 untuk membangun sistem
kelembagaan ITB yang diperlukan untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
Sebagai konsekuensi dari komitmen ITB untuk
menjaga kelangsungan operasinya, maka dalam keterbatasan sumber daya internal
ITB dan dukungan eksternal dari Pemerintah perubahan-perubahan yang dapat
dilakukan pada tahun 2002 masih terbatas pada tahap inisiasi proses
transformasi, meliputi penataan sistem dan organisasi serta sarana-prasarana
penunjangnya, dan penumbuhan kesadaran akan program transformasi ITB.
Upaya terbesar dalam proses inisiasi proses transformasi
adalah menghilangkan atau mengurangi inertia terhadap perubahan, khususnya yang
bersumber pada kuatnya kepentingan individu atau kelompok, kuatnya sikap apriori atau curiga terhadap perubahan yang akan dilakukan,
dan kuatnya pengaruh budaya dan sistem
kerja lama pada sikap kerja individu atau kelompok.
Selanjutnya, tantangan utama
dalam suatu proses perubahan adalah dinamika perubahan itu sendiri yang
memerlukan penyelarasan dan konsistensi antar perubahan untuk menuju sasaran
yang ditetapkan. Perbedaan antara sistem dan nilai-nilai lama dengan sistem dan
nilai-nilai baru berpotensi menimbulkan konflik yang menuntut kepemimpinan
dengan visi transformasi yang kuat untuk memandu arah perubahan
yang akan dilakukan, penyelarasan perubahan dilakukan untuk menciptakan
paduan kekuatan yang diperlukan ITB untuk tinggal landas dari kondisi lama
menuju kondisi baru yang diinginkan.
Sejalan dengan upaya yang dilakukan oleh ITB, dukungan pemerintah
diharapkan untuk membangun infrastruktur institusional bagi PT-BHMN dalam
bentuk perangkat perundang-undangan yang dapat mendukung kelancaran proses
transformasi perguruan tinggi di
----------------, Laporan
Penyelenggaraan dan Pengembangan Institut Teknologi Bandung Tahun 2002,
Bandung, Institut Teknologi Bandung, Nopember 2002.
----------------, Rencana
Kerja dan Anggaran Institut Teknologi Bandung Tahun 2002, Bandung, Institut
Teknologi Bandung, Juli 2002.
----------------, PP
RI Nomor 155 Tahun 2000 tentang Penetapan Institut Teknologi Bandung sebagai
Badan Hukum Milik Negara, Jakarta, Desember 2000.
----------------, Rencana
Transisi ITB, Bandung, Institut Teknologi Bandung, Mei 2000.