Analisis Dosen ITB Terkait Banjir di Jakarta

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id – Dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB Dr. Heri Andreas ST., MT., mengatakan, salah satu faktor terjadinya banjir di Jakarta beberapa waktu, selain curah hujan yang tinggi adalah karena penurunan tanah. Setiap tahunnya, penurunan tanah bisa mencapai 1-10 sentimeter di Ibu Kota Indonesia tersebut.

“Jika suatu daerah terjadi penurunan tanah maka akan terjadi cekungan, cekungan itu yang akan menyebabkan banjir,” ujar dosen pada kelompok keahlian Geodesi ini saat on air di Radio Elshinta, Minggu (5/1/2020).

Heri mengatakan, ada beberapa faktor penyebab penurunan tanah. Di antaranya yaitu karena tanahnya secara alamiah turun, akibat eksploitasi air tanah, bebanan infrastruktur dan urugan, faktor tektonik, dan adanya eksploitasi minyak dan gas bumi dan tambang di bawah permukaan. “Yang paling dominan kalau kasusnya di Jakarta adalah eksploitasi air tanah, dan beban infrastruktur dan urugan” ujarnya.

Menurutnya, sudah banyak teknologi yang dihasilkan untuk mengurangi penurunan tanah. Misalnya dengan melakukan substitusi air tanah dengan air permukaan, kemudian teknologi water recycling, mengolah air limbah, dan pembuatan air laut menjadi air tanah. “Di Indonesia teknologi tersebut belum diprogramkan secara masif, hanya pada skala kecil saja,” tambahnya.

Heri melanjutkan, penurunan tanah bisa diukur melalui satelit ataupun GPS bahkan sampai tingkat akurasi milimeter. Namun demikian, penurunan tersebut tidak akan terasa karena terjadi perlahan. Mengenai hal tersebut, pemerintah seharusnya sudah memiliki data sehingga dapat menerapkan kebijakan yang tepat dalam mengantisipasi kejadian banjir karena penurunan tanah tersebut.

Solusi Banjir

Mencari solusi dari banjir yang terjadi di Jakarta, menurut Heri, harus dikaji dari berbagai aspek. Pertama ialah sumber air datangnya dari mana, apakah dari hujan deras yang terjadi di wilayah Jakarta, atau kiriman dari daerah hulu “Kasus di Jakarta kemarin, karena curah hujan yang ekstrem, belum lagi di daerah Bogor hujannya besar,” tambahnya.

Sementara itu di sisi lain, daya tampung air sungai, waduk, atau kolam retensi tidak cukup untuk menampung debit air saat hujan lebat tiba. Oleh karenanya, normalisasi maupun naturalisasi sungai menjadi salah satu upaya Pemprov DKI Jakarta untuk menambah daya tampung air. “Kemudian daya serap dan aliran air di tanah juga berpengaruh. Problem lainnya adalah relokasi warga yang bertahan hidup di bantaran sungai. Itu juga sangat sulit karena harus ganti rugi lahan dan lain sebagainya,” ucapnya.

Lalu bagaimana dengan daerah Bandung? Menurut Heri, daerah Bandung Utara meliputi Dago, Lembang dan sekitarnya, tidak akan terjadi penurunan tanah karena terbentuk dari batuan keras. Akan tetapi potensi kerusakan alam yang ditumbulkan adalah terjadinya alih fungsi lahan dari hutan ke perumahan atau pemukiman. Sementara itu, di daerah Bandung Selatan penurunan tanah telah terjadi, misalnya dari daerah pusat kota ke selatan.