Diskusi MLI: Kupas Permasalahan Hukum Ospek di Perguruan Tinggi Indonesia

Oleh Neli Syahida

Editor Neli Syahida

BANDUNG, itb.ac.id - Saat memasuki dunia perkuliahan dapat dipastikan sebagian besar mahasiswa pernah mengalami masa orientasi studi dan pengenalan kampus, atau yang biasa disebut 'ospek'. Sayanganya, di Indonesia tidak jarngan kegiatan ini berujung pada kekerasan oleh senior bahkan hingga kematian pesertanya. Menyoroti hal tersebut, Moedomo Learning Initiatives (MLI) bekerjasama dengan UPT Perpustakaan Pusat ITB menggelar diskusi bertajuk "Hukum Ospek di Perguruan Tinggi Indonesia" pada Jumat (21/02/14) di ruang Serbaguna Gedung Perpustakaan ITB lantai 1. Diskusi MLI kali ini menghadirkan pembicara Rizky Abdurachman Adiwilaga, pengacara paten di Kantor Adiwilaga & Co.
Rizky yang juga merupakan dosen kekayaan intelektual di ITB membuka topik ini dengan menyampaikan sejarah perkembangan ospek yang sebenarnya hanya berganti-ganti nama saja, tanpa perubahan metode. Menjaga kekompakan angkatan, mengenal dunia kampus, menghormati senioritas, hingga mentransfer nilai-nilai himpunan merupakan alasan yang sering menjadi dasar pelaksanaan ospek. Pada prinsipnya, ospek memang berguna sebagai proses adaptasi mahasiswa baru dalam menjembatani perbedaan proses belajar di SMA dengan kampus. Namun, pada praktiknya di Indonesia seringkali masih ada aspek kekerasaan di dalam ospek yang entah disadari atau tidak telah melanggar hukum yang berlaku. "Sebenarnya, kalau ingin tahu metode yang tepat untuk membentuk kekompakan, tanya ke pakar psikologi karena itu bukanlah domain kita," kata Rizky.

Ospek memang akan selalu berkaitan dengan hukum karena sejak lahir setiap manusia merupakan subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya, termasuk mahasiswa. Pelanggaran akan Hak Asasi Manusia (HAM) berupa tindakan penyiksaan jasmani maupun rohani bisa diproses secara hukum pidana dengan pasal penganiayaan atau kelalaian. Adapun metode ospek yang berpotensi melanggar HAM di antaranya termasuk kegiatan yang membebani fisik atau menekan psikologis pesertanya di luar batas kewajaran daya tubuh manusia, seperti misalnya long march atau jurit malam yang digabung dengan wide game. Bahkan, ancaman pengucilan dari himpunan mahasiswa, apabila tidak mengikuti ospek bisa dinilai sebagai pelanggaran persamaan harkat dan martabat.

Di akhir diskusi, Rizky menegaskan bahwa ospek tetap penting dan harus dilaksanakan di perguruan tinggi, namun dengan catatan bahwa metodenya harus diubah total. Ospek hendaknya dilaksanakan seperti di Amerika, Eropa, dan Australia yang benar-benar mengenalkan kampus beserta civitas akademikanya, bukan sekadara ajar senioritas. Oleh karena itu, ospek harus memperhatikan aspek hukum, aspek psikologi, dan relevansinya dengan perkuliahan. Tidak hanya itu, ospek juga sudah seharusnya menanamkan nilai-nilai sosial, etika, dan moral pada mahasiswa terutama dalam berhubungan dengan sesama mahasiswa, dosen, serta masyarakat. Untuk mencapainya, menurut Rizky, antara mahasiswa dan pejabat fakultas perlu duduk bersama untuk merumuskan bagaimana sebenarnya bentuk ospek yang diperlukan.

Oleh: Bayu Rian Ardiyansyah