Kajian Ekonomi Sirkular sebagai Harapan Bagi Terwujudnya Kota Berkelanjutan
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id — Smart City and Community Innovation Center (SCCIC) mengadakan webinar dalam seri Bincang Kota bertajuk “Membangun Ekonomi Sirkular Menuju Lingkungan Cerdas” pada Kamis (27/10/2022). Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB, Yuliani Dwi Lestari, Ph.D., menjadi pembicara dengan topik model ekonomi sirkular untuk kota berkelanjutan.
Yuliani mengawali pembahasannya dengan data kualitas udara nasional berdasarkan persentase emisi gas rumah kaca (GHG emission) sejak awal dekade 2000-an. Data tersebut memperlihatkan bahwa Indonesia masih memiliki kesenjangan yang besar untuk mencapai kualitas udara yang ideal.
Dia mengatakan, sebagian besar emisi gas rumah kaca yang dihasilkan berasal dari sektor energi: transportasi sekitar 65%, dan limbah buangan rumah tangga serta industri sekitar 13%. Data ini menjelaskan, wilayah perkotaan sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar melalui aktivitas-aktivitas di dalamnya.
Di sisi lain, hingga sekarang masyarakat perkotaan hidup berdasarkan konsep ekonomi linear yang masih menghasilkan limbah tak terdaur ulang. Langkah daur ulang yang sudah banyak dilakukan nyatanya hanya menangani limbah dari sisi hilir saja sehingga tidak semua limbah dapat tertangani. Berbeda dengan ekonomi linear, ekonomi sirkular menawarkan manajemen material mulai dari tahap produksi dengan prinsip yang lebih berkelanjutan. Pertimbangan yang dilakukan mulai dari sisi hulu memungkinkan penggunaan barang yang selalu berputar sehingga limbah yang dihasilkan pun akan terus dapat dimanfaatkan kembali.
Yuliani mengatakan, “Kalaupun sekarang mulai booming ada green activities, itu kebanyakan masih terkait dengan reuse economy. Tetapi nyatanya non recycle waste ini masih ada. Berbeda dengan ketika kita sudah betul-betul mengimplementasikan ekonomi sirkular secara utuh, maka tidak akan ada lagi non recycle waste. Karena dari sustainable raw material kita bergeser ke desain, produksi, pengiriman, reuse, recollection, sampai dengan recycling.” Ekonomi sirkular sekarang mulai banyak dipertimbangkan sebagai salah satu penunjang dalam mewujudkan kota berkelanjutan. Sebab salah satu pilar kota berkelanjutan adalah resiliensi ekonomi yang mana mencerminkan kemampuan masyarakat kota untuk beradaptasi dan mitigasi perubahan-perubahan dalam konteks ekonomi. Resiliensi yang dimiliki harus pula mempertimbangkan dua pilar kota berkelanjutan yang lain, yaitu sosial dan lingkungan.
Tingkat keberlanjutan suatu kota dicerminkan dengan sustainable city index yang diukur berdasarkan pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan. Berdasarkan The Arcade Sustainable Cities Index 2022, Jakarta sebagai kota yang merepresentasikan Indonesia menempati posisi 83 dari 100 negara yang ada dalam indeks tersebut.
Meskipun demikian, bahkan kota dalam urutan 10 teratas pun sebenarnya belum mampu mewujudkan keberlanjutan yang sama kuat di antara tiga pilar yang ada. Kebanyakan kota-kota ini hanya mampu memimpin di antara satu atau dua pilar keberlanjutan sementara pilar yang lain tetap rendah.
Yuliani menambahkan, “Hal ini menunjukkan bahwa kompleksitas dari pengembangan sustainable city sangat besar, memerlukan keterlibatan dari banyak pihak. Ketika kita ingin bisa menguasai tiga pilar, yang harus dilakukan sangat banyak.”
Namun nyatanya, kota berkelanjutan dengan tumpuan pada tiga pilar yang sama kuat bukan hanya sekadar angan-angan. Hal tersebut dapat diwujudkan apabila roadmap yang disusun tepat dengan strategi yang jelas. Perubahan selayaknya dilakukan secara gradual dan perlahan serta diarahkan sesuai keunggulan masing-masing kota. Kompleksitas dalam perwujudan kota berkelanjutan memunculkan tantangan-tantangan baru yang harus dihadapi oleh pemangku kepentingan yang tepat.
“Perlu diingat bahwa kita harus mampu menyusun strategi dan mengambil langkah dari yang paling sederhana, tetapi kontinyu dan gradual. Sehingga akhirnya kita harus act today in order to preserve tomorrow,” ujar Yuliani di akhir sesi pemaparan.
Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)