Kontes Robot Indonesia: ITB Mengulang Kesalahan? (2)

Oleh Krisna Murti

Editor Krisna Murti

Uang memang bukan segalanya. Tepat sekali memang pernyataan ini. Namun, bagaimanapun juga, jumlah dukungan dana akan berpengaruh pada performa tim. Menurut Dani, yang juga veteran KRI 2004, keterbatasan dana membuat kedua tim KRI tidak dapat membangun lapangan percobaan yang luasnya mencapai 14x14 meter persegi. “PENS dan UI, juara satu dan runner-up punya lapangan,” kata Dani tajam, “dalam KRI, lapangan sangatlah penting. Karena gak punya lapangan kita gak bisa mengetes kinerja robot secara real. Itu sangat fatal. Tapi apa boleh buat?” Selain karena dana, tim KRI ITB pun kesulitan mencari tempat di ITB yang dapat digunakan sebagai tempat uji coba. "Ijinnya sulit," tutur Dani,"GSG (Gedung Serba Guna -red.), gedung yang paling memungkinkan dibangun lapangan uji coba pun pasti dipakai unit tertentu. Pasalnya, idealnya lapangan harus permanen dan dibangun sejak 3 bulan sebelum pertandingan." Beberapa aksesoris pertandingan pun akhirnya dapat dibangun dengan bantuan dari Laboratorium Teknik Produksi Departemen Mesin. Berharap Dukungan Lebih "ITB telah mendukung kami! Dan, kami amat berterimakasih. Namun Dukungan ITB belum sampai pada kapasitas yang memungkinkan kami tampil sebagai juara," aku Dani serius. Menurut Dani, uang memang bukanlah ganjalan utama. "Bukan semata masalah duit," tutur Dani, "Kami berharap dukungan institusional yang lebih kuat. Harus ada support management dari rektorat langsung." Lalu, Dani mengusulkan perlunya ITB untuk turun tangan secara aktif menangani manajemen pertandingan. Dani langsung menyebut PENS sebagai teladan yang baik dalam hal “turun aktif” mendukung kontingennya. PENS secara reguler dilakukan seleksi terhadap kontingen KRI langsung oleh rektorat. Komposisi personel tim pun dibuat komplit, mulai spesialisasi di bidang mikrokontroler hingga motor. Pembimbing pun sudah otomatis disediakan. Kesungguhan dukungan rektorat politeknik tersebut juga ditunjukkan dari keputusan membangun duplikat lapangan pertandingan KRI sejak tiga bulan sebelum bertanding. "Lapangan dibangun khusus untuk tim KRI mereka," ungkap Dani. Di beberapa perguruan tinggi lain, hal yang kurang lebih sama juga dilakukan berbulan-bulan sebelum pertandingan. "Mereka (kontingen lain -red.) umumnya tinggal berkonsentrasi penuh dalam mengembangkan dan memperbaiki kerja robot. Tidak perlu ke sana ke mari, mencari tempat latihan atau mencari dana," kata Dani menghela napas. Bagi Dani, dukungan juga seharusnya diberikan dari hal yang sederhana. Misalnya, fasilitas antar-jemput. Dani menceritakan bahwa saat berangkat, tim KRI dan robotnya diantar hingga ke UI dengan dua mobil dan sebuah truk. Tapi, selesai pertandingan, hanya terdapat truk, tidak ada mobil ITB yang menjemput. "Tanpa ada pemberitahuan sebelumnya ke aku,” aku Dani “Akhirnya kami terpaksa mencarter mobil." Mengulang Kesalahan Bagi Dani yang dua kali mengikuti final KRI, keterbatasan dukungan ITB ini memang menyakitkan. Bagi Dani, ITB tidak belajar dari pengalaman. "Dukungan tahun lalu gak jauh berbeda dengan tahun ini. Kalau begini terus, ITB gak akan bisa menang." Dia lalu mencontohkan UI. “UI belajar dari pengalaman tahun lalu. Kini UI hanya menurunkan satu tim sehingga dana pembangunan robot optimal dan kini mereka juga membangun lapangan. Pembelajarannya membuahkan hasil. UI jadi runner-up.” Bahkan, Dani mengungkap bahwa salah satu dosen UI meminta masukan dari dirinya untuk kemajuan tim UI di KRI mendatan. Untuk ITB Dani mengusulkan empat poin perbaikan yang harus dilakukan ITB agar kontingen KRI-nya bisa meraih juara: 1. seleksi melibatkan insitusi ITB; agar terfokus sebaiknya ITB mengirimkan satu tim saja. 2. manajemen, terutama berhubungan dengan dana dan pembangunan lapangan, diambil oleh ITB 3. dibuatkan lapangan pertandingan riil; diusulkan lapangan depan Campus Center (ex- lapangan Tenis) 4. dukungan dana yang cair semenjak awal pengumuman kelolosan. Dana terfokus pada satu tim saja. Malah Degenerasi Sedihnya lagi, kondisi seperti ini malah membuat tiga mahasiswa Mesin angkatan 2001 yang turut dalam tim Dani pesimis untuk kembali berjuang di KRI tahun depan. “Mereka bahkan bilang tidak akan ikutan KRI tahun depan kalau kondisinya masih seperti ini,” kata Dani, “Padahal mereka sengaja aku persiapkan sebagai regenerasi. Mereka yang paling potensial dan paling siap. Tapi, sekarang bukannya regenerasi tapi malah degenerasi!” * * * Rasanya pernyataan Dani: “Kalau begini terus, ITB gak akan bisa menang!” memang menyentak. Namun, memang beberapa tahun belakangan ini, itu memang ironi yang ada di lapangan KRI. Di tengah potensi para sivitas akademiknya, institut teknologi ini belum pernah menyabet gelar juara dalam KRI. Pertanyaan yang tersisa di akhir tulisan ini hanya satu: 'bisakah ITB belajar dari pengalaman terdahulu lalu berbenah?' Pertanyaan yang ringkas namun sulit untuk dijawab. Jangan sampai jawabannya tidak.