Profil Robot Juara Hingga Budaya Riset (2)

Oleh

Editor

Jumlahnya sendiri Albertus tidak mau menyebutkan. Tetapi Albertus mengakui masih banyak “nombok”-nya. “Kami sudah memulai mengembangkan PUFF sejak setahun lalu dari pengalaman gagal KRCI 2004. Pada awalnya kami menggunakan dana sendiri dulu, sampai akhirnya menyiapkan proposal dan lolos di seleksi KRCI 2005”, ungkap Albertus. Albertus juga mengungkapkan setelah lomba selesai, mereka memperoleh dana untuk riset dari panitia sebesar 2 juta. Dana ini diberikan kepada tim-tim yang lolos menuju Kontes final di Balairung UI, Jakarta. Sebagai Juara pertama, tentunya yang diharapkan adalah berpartisipasi dalam ajang serupa berkelas Internasional di Amerika. Namun Albertus sendiri tidak tahu pasti apakah mereka akan diikut sertakan. Dalam KRCI 2005 lalu terbagi dalam 3 kategori; Kelas Expert, Kelas Senior Berkaki, dan Kelas Senior Beroda. Sampai saat ini panitia pusat belum mengumumkan tim mana yang akan berangkat ke Trinity College, Amerika. “Bisa jadi semuanya tapi itu kecil kemungkinan,” ujar Albertus. Untuk sebuah tim mahasiswa yang telah melewatkan 1 tahun pengalaman riset, Albertus masih beruntung. Sebutlah tim robot ITB yang lainnya. Tim Nusantara yang tahun ini masih di komandani oleh Dani dari Teknik Mesin. Ini merupakan ajang lomba KRI yang ke-3 kalinya bagi Dani dan kawan-kawan, tapi sayangnya mereka harus menerima kekalahan kembali. Tim Nusantara gagal di perempat final KRI 2005. Namun patut dibanggakan, penghargaan sebagai “Best Performance” berhasil dibawa pulang tim Nusantara ke kampus Ganesha. ITB sendiri telah mengikuti KRI sejak 4 tahun lalu. Ketika itu lomba ini pertama kali diadakan sebagai seleksi nasional menuju ABURobocon, sebuah lomba adu ketangkasan robot yang digelar atas kerjasama beberapa stasiun TV se-Asia Pasifik (Asia Pasific Broadcasting Union). Dalam 2 kali kesempatan ITB sempat memperoleh predikat sebagai juara harapan dan predikat “The Best Idea”. Ketika ditemui April lalu, sebelum seleksi visitasi berlangsung, Dani mempertunjukkan robot KRI yang telah disiapkan tim Nusantara. Untuk lomba tahun ini ia menunjukkan sikap lebih optimis. Dari berbagai pengalamannya mengikuti lomba KRI, Dani yakin sistem belt pengangkut bola yang diterapkannya pada robot kali ini, lebih efisisen dalam mobilisasi dan kontrolnya. Tetapi ajang lomba berbicara lain. Tim-tim universitas lain juga terus dengan gencar mempersiapkan diri. Alhasil, siapa yang riset dan strateginya paling unggul maka dialah yang juara. Dani mengakui timnya kalah pada lomba tersebut karena lebih mengutamakan bermain safe daripada menggunakan strategi menembak bola seperti halnya yang dilakukan tim-tim lainnya. Dikarenakan sanksi diskualifikasi bagi tim yang sengaja atau tidak sengaja menembakkan bola pada tim lawan, Dani lebih mengandalkan robot belt pengangkut bola. Perlu diketahui, lomba KRI ini adalah pertandingan antara 2 tim robot dalam memasukkan bola-bola ke lubang yang ditentukan. KRI lebih kepada kemampuan adu strategi dibanding KRCI.. Dani juga mengungkapkan penyesalannya terhadap dukungan ITB terhadap tim-tim robot ITB sendiri. Sama halnya dengan Bladewing, robot tim Nusantara ini juga merupakan pengembangan dari robot sebelumnya. Kemauan untuk mengembangkan kreatifitas dan riset terus menerus merupakan syarat untuk menjadi unggul. “Belajar dari tim-tim unggul ITS dan UI, mereka tidak menganggap remeh perkembangan dari tim lawan maupun teknologi yag berkembang dari setiap lomba. Selalu belajar dari robot-robot tahun sebelumnya untuk robot juara di tahun mendatang”, ungkap Dani. Ketersedian dana untuk riset robot-robot ini memang tidak kecil. Sebagai contoh saja, tim-tim robot Malaysia menghabiskan 100 ribu ringgit atau sekitar 270 juta sebagai persiapan menuju kontes robot Internasional ABU-Robocon. Selain dana, dukungan moril dari civitas ITB juga penting. Pengalaman yang paling diingat oleh Dani seperti sulitnya menyediakan arena simulasi bertanding atau sekedar meminjamkan area yang cocok di kampus. Ada juga kekecewaan terhadap kondisi mahasiswa ITB saat ini. Sebagai mahasiswa dari institusi pendidikan berbasis teknologi, namun minat terjun di pengembangan teknologi, terutama robotika, Dani merasakan minim sekali di ITB. Padahal potensi sumber daya manusia nya banyak dan tersebar di beberapa Depatemen di ITB yang menguasai ilmu tentang pemrograman dan sistem kontroler. Sebut saja Teknik Mesin, Teknik Informatika, Teknik Elektro, Teknik Fisika dan Fisika. Jika potensi ini dipadukan dapat mengembangkan budaya riset robotika di kalangan mahasiswa, dan harapan diikuti oleh pengembangan riset-riset lainnya. Pada akhirnya sekedar kontes robot pun bukan lagi menjadi ujung tombak justifikasi prestasi teknologi ITB. Dibalik berbagai keterbatasan tersebut, sebenarnya riset bukanlah sebatas menghasilkan teknologi untuk dilombakan dan mengejar prestige. Memang merupakan sebuah kebanggaan membawa nama baik ITB dalam ajang adu teknologi. Tetapi riset sendiri hadir karena adanya kebutuhan untuk terus mengembangkan kualitas hidup. ITB memiliki banyak riset dari berbagai bidang keilmuan dan teknologi. Dimana dengan berbagai riset tersebut diharapkan bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Negara ini. Ketersedian dana untuk riset dan penelitian juga tidak hanya tanggung jawab institusi pendidikan, melainkan juga tanggung jawab pemerintah dan kalangan industri di Indonesia. Mengembangkan kreatifitas, menumbuhkan semangat penelitian dan memajukan budaya riset adalah tanggung jawab bersama setiap warga negara. Dan ITB sebagaimana harapannya untuk menjadi Perguruan Tinggi Riset terdepan di Indonesia, sepatutnya menjawab tantangan tersebut. Seperti halnya Albertus dan Dani, masih terdapat berbagai mahasiswa lain yang setiap tahunnya mengembangkan kreatifitasnya dan meneliti. Tidak hanya mahasiswa, civitas ITB lainnya juga diharapkan terus mengembangkan budaya riset dan meneliti. Tujuan mungkin dapat beragam. Dari sekedar tugas-tugas kuliah hingga sebuah lomba Internasional. Dari sumbangan kemanusiaan hingga bernilai jual.