7 Januari 2021
BANDUNG—Setelah meletus dahsyat pada 2010 lalu, Gunung Merapi yang terletak di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta, ini menunjukkan pola aktivitas yang berubah. Hal tersebut bisa terlihat dari akitivitas vulkanik yang semakin intens disertai guguran lava.
Pengamat gunung api sekaligus Volkanolog dari Institut Teknologi Bandung Dr. Eng. Mirzam Abdurrachman, S.T., M.T., mengatakan, saat meletus 2010 lalu, Gunung Merapi memiliki pola aktivitas dari mulai pembentukan kubah lava, kemudian terjadi letusan disertai awan panas (wedus gembel), dan diakhiri guguran lava pijar.
“Aktivitas Gunung Merapi sebetulnya sudah menunjukkan adanya peningkatan sejak pertengahan 2019. Merapi yang dulu, menunjukkan pola sehingga kita belajar dari terjadi kubah lava dan diikuti letusan besar, namun sekarang polanya berbeda yang diawali pecahan (guguran) lava,” ujarnya kepada Humas ITB.
Berdasarkan pengamatannya, guguran lava yang muncul dari Gunung Merapi akhir-akhir ini cenderung kental, tidak encer. Meskipun begitu, masyarakat harus tetap berhati-hati karena berdasarkan laporan dari BPPTKG, Badan Geologi, gempa-gempa vulkanik masih sering terjadi.
“Kalau yang keluar dari gunung itu hanya aliran lava, harusnya tidak berbahaya karena aliran lava biasanya sedikit sekali memakan korban jiwa maupun kerusakan infrastrukturnya, karena mengalir lambat tidak secepat letusan disertai wedus gembel,” ujarnya.
Dikutip dari laporan aktivitas Gunung Merapi dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), tingkat aktivitas gunung Merapi berada pada level siaga (level 3) sejak 5 November 2020. Berdasarkan pengamatan pada 6 Januari 2021 pukul 00.00-24.00 diketahui bahwa terdapat 2 kali guguran lava pijar dengan intensitas kecil. Jarak luncuran 400 m ke arah Kali Krasak. Selain itu juga terdengar suara guguran sebanyak 3 kali dari PGM Babadan dengan intensitas lemah hingga sedang.
Namun ada yang perlu menjadi catatan menurut Mirzam, yaitu ketika aliran lava dengan temperatur yang tinggi tetapi tidak mengalir jauh. Hal tersebut perlu menjadi kewaspadaan sebab dikhawatirkan menyumbat dan terjadi akumulasi energi dari magma yang belum keluar di bawahnya. “Kita belajar sesuatu yang baru dari Gunung Merapi karena temperatur lavanya tinggi namun tidak mengalir jauh,” ucapnya.
Menurut Mirzam seharusnya jika lava yang keluar bersuhu tinggi, maka lavanya akan encer. Namun jika tidak encer maka bisa menahan magma yang belum keluar. Lava sendiri umumnya akan mulai mengalir ketika memiliki suhu >700C.
Menurut Mirzam, perbedaan warna, mencerminkan perbedaan suhu lava. Lava berwarna putih suhu >1150C, lava kuning keemasan suhu >1100C, lava oranye suhu 900-1000C, lava berwarna merah buah ceri suhu >700-800C, lava warna merah tanah suhu >550-625C, dan lava merah redup suhu >475C, lava pijaran pizza bersuhu >260-315C.
Dengan mempelajari warna dari guguran lava tersebut, dapat menjadi referensi bagi masyarakat setempat untuk melakukan mitigas mandiri (self mitigation). Hal tersebut penting karena dengan begitu, masyarakat yang tinggal di sekitaran Gunung Merapi akan lebih peduli pada pola aktivitas gunung tersebut dan tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Berdasarkan prediksi yang sudah dibuat, jika terjadi Gunung Merapi meletus, volumenya tidak akan sebesar 2010. Namun lagi-lagi, prediksi itu berdasarkan data yang sudah ada, semakin banyak data maka akan semakin akurat. ITB sendiri tengah melakukan pengumpulan data-data gunung api sehingga pemodelan berbasis data akurasinya akan semakin tinggi. Ia menambahkan, peran ITB sendiri dalam pengamatan gunung api sangatlah berperan aktif. ITB tidak hanya memiliki bank data tersendiri melalui riset mandiri yang ada, akan tetapi juga tetap bekerja sama dengan instansi terkait baik dalam dan luar negeri.