Pakar ITB Ungkap Penyebab Longsor di Bandung Barat, Gejala, dan Mitigasinya

BANDUNG, itb.ac.id – Pakar longsoran (landslide) Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Eng. Imam Achmad Sadisun, S.T., M.T., menjelaskan faktor penyebab longsor di Kampung Gintung, RT 03 RW 04, Desa Cibenda, Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat, beserta gejala dan mitigasi yang perlu diketahui masyarakat.

Beliau mengatakan, faktor penyebab longsor secara umum dibagi menjadi dua, yakni faktor prakondisi (preconditioning factor) dan faktor pemicu (triggering factor).

Faktor prakondisi umumnya berkaitan dengan berbagai kejadian yang sifatnya berlangsung relatif lambat atau jangka panjang, seperti pelapukan, erosi, perubahan topografi/kemiringan lereng, perubahan tata guna lahan, dan kondisi geologisnya, seperti terdapatnya batuan di wilayah tersebut yang secara alamiah memungkinkan mudah menjadi bidang gelincir.

Sementara itu, faktor pemicu berkaitan dengan kejadian-kejadian jangka pendek atau bahkan seketika seperti curah hujan lebat atau gempa bumi.

Saat faktor prakondisi sudah memperlihatkan adanya gejala-gejala tidak stabil, hujan yang tidak terlalu besar pun dapat memengaruhi kekuatan geser material pembentuk lereng sehingga longsor terjadi.

“Kalau hujan ringan hingga sedang umumnya tidak menyebabkan longsor. Namun kalau hujan di atas lebat atau hujan yang memang ekstrem, 150 mm/hari menurut ukuran BMKG, dapat menjadi faktor pemicu longsoran. Intinya, hujan bisa menurunkan kekuatan geser material pembentuk lerengnya,” ujarnya, Selasa (26/3/2024).

Selain itu, banyak gempa bumi yang memicu kejadian longsoran-longsoran besar. Namun, dalam kejadian longsoran kali ini, faktor utama yang memicu adalah curah hujan yang lebat akhir-akhir ini.

Gejala Longsor

Hampir semua bencana memiliki tanda-tanda yang mengawali kejadiannya, termasuk longsoran. Gejala tersebut dapat dilihat pada tiga bagian utama dari suatu lereng, yakni bagian kepala (head), tubuh (body), dan kaki (foot).

Gejala di bagian kepala lereng umumnya ditandai dengan retakan-retakan memanjang pada tanah, yang umumnya melengkung untuk jenis longsoran nendetan (slump); pada bagian badan lereng ditandai dengan pepohonan atau tiang-tiang listrik yang mulai miring karena adanya pengaruh pergerakan awal longsoran; dan di bagian kaki lereng umumnya muncul sembulan tanah (bulging) dan munculnya mata air karena bagian ini merupakan bagian yang menahan gaya yang dihasilkan dari pergerakan dari bagian kepala dan badan lereng.

Beliau mengatakan, mekanisme longsor di Kampung Gintung, Kecamatan Cipongkor, berbeda dengan yang terjadi di Kampung Cigombong, Kecamatan Rongga, beberapa waktu lalu.

Gejala di bagian kepala sistem lereng di Kampung Cigombong sudah terlihat dari adanya perkembangan retakan yang relatif melengkung di lapangan depan SD di daerah tersebut. Retakan tersebut menjadi cikal bakal mahkota (bagian paling atas) longsoran. Sementara di Kampung Gintung, gejala longsoran tidak mudah terlihat karena terjadi di bagian atas lereng perbukitan yang bukan merupakan area aktivitas warga.

Longsoran yang terjadi di Kampung Gintung merupakan longsoran aliran bahan rombakan (debris flow), yang material longsorannya berupa tanah, fragmen batuan, dan bahkan pepohonan yang terbawa oleh air dan menimpa rumah-rumah warga.

Mitigasi Longsor

Beliau mengatakan, mitigasi kebencanaan perlu peran serta berbagai pihak, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, industri, perguruan tinggi, lembaga kemasyarakatan, media massa, hingga pelibatan masyarakat itu sendiri. Peningkatan kapasitas (capacity building) masyarakat yang tinggal di daerah rawan longsor sangat perlu digalakkan.

“Semua lini harus saling bahu-membahu untuk meningkatkan kewaspadaan akan potensi terjadinya longsoran, minimal mengetahui gejala-gejala awalnya, sehingga akan lebih waspada,” ujarnya.

Secara umum, metode mitigasi dapat dilakukan secara struktural maupun nonstruktural. Metode struktural umumnya merupakan metode baku yang sudah banyak dilakukan di berbagai tempat di Indonesia maupun luar negeri.

Konsep mendasar dalam upaya mitigasi struktural dilakukan dengan dua cara, yakni, pertama, pengurangan gaya-gaya yang menyebabkan terbentuknya longsoran (reduction in the driving forces). Kedua, peningkatan gaya-gaya yang dapat memberikan "perlawanan" untuk terjadinya longsorang (increase in the available resisting forces). Cara kedua ini membuat material pembentuk lereng semakin kuat.

Sementara itu, perbaikan kestabilan lereng secara struktural lebih lanjut dapat dikelompokkan dalam jenis kegiatan, yaitu: a) modifikasi geometri lereng (pelandaian lereng), b) perbaikan saluran atau drainase, c) memperbaiki atau memperkuat material pembentuk lereng, dan d) membangun struktur penyangga.

Keempat kegiatan tersebut dapat disesuaikan dengan kondisi yang ada dan dapat dikombinasikan. “Berbagai cara dilakukan untuk menanggulangi lereng-lereng yang kritis yang sudah dicurigai akan longsor. Kalau pun sudah longsor maka harus diperbaiki dan kalau perlu dilakukan perkuatan,” tuturnya.

Untuk longsoran aliran bahan rombakan, mitigasi struktural dapat dilakukan dengan metode perlindungan terhadap bahaya aliran bahan rombakan, seperti dengan membangun dinding pengelak (deflection wall), pagar pemecah aliran (debris fences), dan cekungan penampung aliran (debris flow catch basins).

Sementara itu, cara nonstruktural dapat dilakukan dengan sosialiasi peta lokasi rawan bencana, memasang rambu-rambu peringatan kebencanaan, dan yang penting semua itu dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara aktif. Kegiatan mitigasi ini hendaknya juga memperhitungkan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat.

Selain mitigasi, hal penting lainnya adalah upaya pemantauan longsoran (monitoring). Upaya ini diperlukan guna memastikan kinerja stabilisasi lereng yang telah dilakukan, sekaligus digunakan untuk keperluan peringatan dini akan terjadinya bahaya longsoran.

Beliau mengatakan, potensi bencana longsor dapat terjadi di mana saja selama di lokasi tersebut terdapat lereng. Namun, potensinya dapat dibagi menjadi sangat tinggi, tinggi, menengah, rendah, dan bahkan rendah sekali. Hal tersebut tentunya dipengaruhi berbagai faktor. “Yang terpenting, kita mesti waspada terhadap gejala-gejala yang ada,” tuturnya.