Tjutju Widjaja Meraih Gelar Doktor Ilmu Seni Rupa dan Desain (FSRD ITB) di Usia 79 Tahun

24 Desember 2020

BANDUNG--Age just a number. Ungkapan itu sepertinya menggambarkan semangat Tjutju Widjaja, mahasiswa pascasarjana Ilmu Seni Rupa dan Desain FSRD ITB, yang berhasil memperoleh gelar doktoral pada usianya yang ke-79 tahun.

Tjutju meraih gelar doktor pada Kamis, 10 Desember 2020. Ia merupakan seniman di bidang seni lukis dan kaligrafi dari Kota Bandung. Saat ini, Tjutju merupakan salah satu Dosen Luar Biasa Universitas Kristen Maranatha, Kota Bandung.

Tjutju membuktikan bahwa usia lanjut tidak menjadi halangan untuk terus mengejar ilmu. Pada usia 67 tahun, Tjutju memperoleh gelar sarjana di bidang seni lukis dari Universitas Kristen Maranatha dan melanjutkan pendidikan magister dan doktoralnya di ITB pada tahun 2010 dan 2017.

Ibu 6 anak ini mengangkat tema disertasi berjudul Representasi Feminisme Kelenteng Perempuan dan Zhai Ji (Pendeta Perempuan) di Bandung yang dibimbing oleh Prof. Dr. Setiawan Sabana MFA; Dr. Ira Adriati, M.Sn. serta Prof. Dr. Rudy Harjanto (Univ. Prof.Dr. Moestopo).

Sidang terbuka doktoral Tjutju Widjaja juga dihadiri oleh Prof. Dr. Yasraf Amir Piliang, MA. sebagai Ketua Sidang dan tiga penguji lainnya yaitu Dr. Andryanto Rikrik Kusmara, M.Sn., Dr. Nurdian Ichsan serta Dr. Ariessa Pandanwangi (Univ. Kristen Maranatha).
Tema disertasi Tjutju menjelaskan tentang kelenteng perempuan, Zhai Ji (pendeta perempuan), Buddhisme. “Sewaktu saya kecil, saya memiliki kenangan mengunjungi kelenteng perempuan dan terdapat pendeta perempuan atau Zhai Ji," ujarnya.

Menurut Tjutju, Zhai Ji merupakan perempuan terpinggirkan namun tetap bisa menjadi manusia yang bermanfaat untuk kegiatan spiritual, sosial, dan pendidikan kaum perempuan yang terpinggirkan. Selain itu, kelenteng perempuan menjadi tempat berlindung bagi perempuan yang bermasalah di rumah tangga maupun tempat bernaung anak-anak perempuan yang dibuang oleh keluarganya. "Kehidupan Zhai Ji dan keberadaan kelenteng perempuan memberikan inspirasi saya untuk membuat seni rupa,” jelasnya.

Tak hanya itu, disertasi yang digarap oleh Tjutju memiliki tujuan untuk mengapresiasi dan memberikan visualisasi kehidupan dan kontribusi Zhai Ji melalui karya seni supaya masyarakat dapat menghargai keberadaan Zhai Ji melalui karya seni.

Proses penciptaan karya seni periode ke-1 yang dilakukan oleh Tjutju berlandaskan hasil penelitiannya terhadap artefak sebagai nilai seni dan kehidupan Zhai Ji sebagai nilai budaya. “Penelitian tersebut dilakukan di sebuah kelenteng di Kota Bandung. Hasil penelitian tersebut dielaborasikan dengan teori estetika feminis,” ujarnya. Alhasil, Tjutju dapat menghasilkan lukisan yang berjudul “Guan Yin” dengan ukuran 70x90 cm serta lukisan lainnya pada tahun 2018.

Selanjutnya, Tjutju melakukan evaluasi pada karya seni periode ke-1 nya untuk menghasilkan karya seni yang lain. “Di Tiongkok, seni kaligrafi merupakan domain laki-laki. Maka dari itu saya menciptakan beberapa kaligrafi sebagai metafora untuk kesetaraan gender di bidang pendidikan, sosial masyarakat, maupun aspek lainnya,” ungkapnya.

Penggunaan Patung Guan Yin sebagai media kaligrafi adalah salah satu representasi Zhai Ji. Guan Yin sendiri merupakan salah satu dewi yang sangat dihormati oleh Zhai Ji dan masyarakat Tionghoa. Selain itu, Tjutju terinspirasi bahwa pada zaman dahulu, ilmu kaligrafi hanya bisa dinikmati oleh kaum pria.

“Budaya patriarki tidak menghendaki perempuan untuk belajar membaca maupun menulis. Sebagai praktisi kaligrafi, saya ingin mengkritik sistem kaligrafi dan budaya patriarki masyarakat Tionghoa,” tuturnya. Proses berkarya Tjutju berlanjut pada periode ke-3 yaitu menggambarkan kaligrafi pada bidang 2 dimensi.

Sebagai salah satu pelukis yang berprestasi, cucu berhasil menjuarai beberapa lomba. Salah satunya ialah juara 2 Internasional Kaligrafi Tiongkok tahun 2010 di Shanghai, Tiongkok. Tak hanya itu, ia telah mengadakan beberapa pameran lukisan tunggal dan bersama di Pullman Hotel tahun 2017 di Jakarta, Cemara Hotel tahun 2016 di Jakarta, 2014 Asia Invitation Art Exhibition Seoul, Korea Selatan, dan Anggrek Hotel tahun 2010 di Bandung.