Antisipasi Hoaks seputar Vaksin Covid-19, Edukasi Masyarakat Perlu Digencarkan
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id—Lebih dari enam bulan sejak vaksinasi pertama resmi dilakukan di Indonesia, target Sasaran Vaksinasi Nasional masih belum tercapai. Penyebaran hoaks dan disinformasi di tengah masyarakat merupakan salah satu kendala besar dalam menghambat program vaksin di Indonesia.
Menyikapi hal tersebut, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Institut Teknologi Bandung (LPPM ITB), bersama Design Ethnography Laboratorium FSRD ITB, menggelar Karsa Loka Vol. 010 “Edukasi Vaksin Covid-19 sebagai Antisipasi Penyebaran Hoaks di Masyarakat” pada Jumat (13/8/2021).
Mereka mengundang dr. Decsa Medika Hertanto, Sp.PD, dokter spesialis penyakit dalam sekaligus edukator, sebagai pemateri. Dia mengangkat materi berjudul “Covid-19, Vaksin dan; Hoaks” untuk menerangkan bagaimana penyebaran hoaks dapat menjadi sebuah ancaman di tengah upaya vaksinasi massal.
Decsa mengatakan, keraguan terhadap sains dan kepercayaan terhadap hoaks tersebut terjadi akibat kurangnya pemahaman terkait Covid-19 dan vaksin. Dia menyarankan edukasi dasar tentang Covid-19 digencarkan. Mulai dari asal-usul virusnya, proses infeksi Covid-19, hingga mekanisme kerja antibodi vaksin di dalam tubuh kepada masyarakat.
Decsa mengibaratkan vaksin dengan protokol kesehatan 3M (menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak) sebagai “alat perang” yang digunakan individu untuk melawan Covid-19. Meskipun tetap memiliki potensi yang minim untuk terinfeksi, orang yang sudah divaksin setidaknya akan mendapatkan risiko atau gejala yang lebih ringan.
Apabila jumlah populasi yang belum menerima vaksin masih mendominasi, tentunya akan terjadi skenario yang lebih buruk seperti mutasi virus Covid-19. Mutasi suatu virus akan meningkatkan risiko penularan dan bahaya dari virus itu sendiri. Semakin lama pandemi berlangsung, semakin melimpah pula kasus positif Covid-19 yang terkonfirmasi. Melimpahnya kasus positif Covid-19 sebagai konsekuensi atas lamanya keberlangsungan pandemi berpotensi membuka peluang besar bagi virus untuk terus bermutasi.
Oleh karena itu, diperlukan adanya kekebalan kelompok melalui percepatan program vaksin sembari tetap menjaga protokol kesehatan untuk menekan angka positif Covid-19. “Salah satu mimpi kita untuk mengakhiri pandemi dengan melakukan vaksinasi,” ujarnya.
Decsa menyebutkan, hoaks yang beredar luas kebanyakan tidak memiliki sumber yang kredibel. Meskipun terdapat sumber yang berasal dari tenaga ahli kesehatan, kebenaran pernyataannya bahkan masih dapat diragukan. Lebih lanjut, Decsa menunjukkan, pendapat ahli (expert opinion) berada di posisi terbawah Evidence Based Pyramid, sehingga pendapat ahli memang menjadi hal yang menjanjikan, tetapi belum cukup kuat untuk dijadikan acuan.
“Butuh data dan penelitian lebih lanjut agar kualitasnya bisa semakin meningkat dan benar-benar dipertanggungjawabkan secara ilmiah,” jelas Decsa.
Di samping itu, kesesatan berpikir atau logical fallacy juga banyak ditemukan dalam praktik penyebaran hoaks. Pengambilan informasi dan data yang tidak runut dan menyeluruh dalam mensitesis suatu kebenaran, dapat menghasilkan kesimpulan yang keliru.
Dengan demikian, untuk menangkal hoaks, segala informasi yang diperoleh perlu dicerna secara cermat supaya tidak buru-buru mengambil kesimpulan. Evaluasi terhadap kredibilitas sumber informasi dan cross-check dari suatu pernyataan opini terhadap data dan faktanya begitu penting.
Reporter: Achmad Lutfi Harjanto (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)