Bandung 45 Derajat: Konsep Bandung sebagai Kota Milik Warga
Oleh prita
Editor prita
BANDUNG, itb.ac.id - Kota adalah ruang yang diciptakan untuk manusia, bukan untuk mobil ataupun sarana lainnya. Demikian pernyataan yang keluar dari bibir M. Ridwan Kamil, arsitek sekaligus aktivis kota. Kota Bandung yang semakin gemerlap dengan menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan, masih menyisakan kesemrawutan. Sebuah perspektif kota ini dari sudut 45 derajat memberikan gambaran berbeda tentang ketersediaan ruang-ruang publik yang dibutuhkan masyarakat. Talkshow yang digelar oleh Ikatan Mahasiswa Arsitektur Gunadharma (IMA-G) ITB menjadi langkah dalam menyikapi kondisi Bandung dalam tema tersebut.
Talkshow yang menjadi salah satu puncak dari rangkaian acara Bandung 45 derajat, menghadirkan arsitek dari biro URBANE Indonesia, M. Ridwan Kamil, dan Pakar Planologi sekaligus mantan ketua Himpunan Mahasiswa Planologi, Hetifa Sjaifudian. Keduanya merupakan aktifis dalam bidang tata kota. Kota yang baik adalah kota yang seimbang. Menurut Ridwan Kamil yang akrab disapa Emil, 3 ciri seimbangnya suatu kota yaitu ekonomi maju, yang diikuti oleh perhatian terhadap lingkungan, dan adil terhadap kehidupan sosial. Yang banyak terjadi saat ini, kondisi ekonomi di kota maju namun tidak diikuti suatu konsep pembangunan kota yang jelas.
Prinsip-prinsip yang berlaku dalam kehidupan kota yaitu padat tapi nyaman, heterogen, dan intensitas sosial tinggi. Dari data yang ditampilkan dalam slide sepanjang talkshow, pada tahun 2003, kota Bandung terdiri dari 48% kaum urban. Diperkirakan jumlah tersebut akan mencapai angka 60% pada tahun 2030. Meskipun amat padat, kehidupan kota harus dirancang untuk memberi kenyamanan bagi warganya. Keadaan yang demikian heterogen akan menciptakan aktifitas yang heterogen pula dari kaum-kaum dengan strata sosial berbeda-beda. Fasilitas yang ada akan lahir dari aktifitas-aktifitas manusia tersebut.
Di negara-negara lain, interaksi sosial akan terjadi pada suatu ruang terbuka publik (RTP)seperti taman kota. Bandung, saat ini hanya memiliki luas lahan terbuka hijau (RTH) sebesar 8% dari seharusnya 30%. RTH yang ada tidak semuanya dapat dimanfaatkan sebagai RTP. Maka, dapat dikatakan bahwa ruang kota yang ada terbatas, sementara kebutuhan terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk. Dari wawancara kepada beberapa warga yang ditampilkan dalam acara tersebut, terlihat bahwa setiap warga Bandung memiliki visi masing-masing mengenai kota yang ideal. Namun keputusan mengenai kota tersebut berada di segelintir orang yang memiliki kekuasaan. Pembangunan Bandung saat ini mengarah pada hedonisme dengan banyaknya pusat-pusat perbelanjaan yang bermunculan. Ruang-ruang komersil yang ada tidak semuanya dinikmati oleh warga, sebagian besar hanya dinikmati oleh golongan ekonomi kuat dan komuter yang berakhir pekan di kota ini. Jika sesekali berkunjung ke Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat (MPRJB), terlihat banyak warga memanfaatkan area tersebut sebagai sarana rekreasi, bermain-main, atau sekedar bersantai. Taman Lansia, Taman Lalulintas, dan beberapa area hijau lainnya juga menjadi incaran publik untuk melepas lelah. Meskipun fasilitas yang ada kurang memadai, namun kebutuhan akan RTP menjadikan daerah-daerah tersebut tak tergantikan.
Selanjutnya, komunikasi antara warga dengan pihak-pihak yang memegang keputusan pembangunan kota harus lancar. Kota yang maju memiliki ide-ide yang disumbangkan oleh warganya sendiri. Sebagai contoh yaitu Taman Pintar di Yogyakarta. Kota Bandung perlu memiliki konsep utama dalam pembangunannya, dan setiap investor yang mau menanamkan modal harus mengikuti konsep tersebut, bukan sebaliknya. Pengambilan keputusan terkait dengan kota - termasuk proses APBD, haruslah transparan. Seluruh warga termasuk mahasiswa memiliki tanggung jawab sosial yang besar terhadap pengelolaan kota Bandung. Baik Emil maupun Hetifa mengajak para peserta talkshow untuk ikut mengkampanyekan tata ruang dan tata uang Bandung agar kota ini memiliki nilai tambah tinggi yang dapat dinikmati oleh seluruh warga.
Rangkaian acara Bandung 45 derajat yang mencapai puncak pada Senin (17/11) malam, berlangsung di lapangan basket CC. Selain talkshow, acara puncak diisi pula dengan screening film, bazaar, serta penampilan dari Bottle Smokers, BEMS dan Baby Eats Crackers. Film-film pendek dan iklan yang ditampilkan dalam acara ini menyampaikan tentang betapa besarnya kebutuhan warga akan RTP, serta kondisi-kondisi RTP di Bandung yang ada saat ini.
Prinsip-prinsip yang berlaku dalam kehidupan kota yaitu padat tapi nyaman, heterogen, dan intensitas sosial tinggi. Dari data yang ditampilkan dalam slide sepanjang talkshow, pada tahun 2003, kota Bandung terdiri dari 48% kaum urban. Diperkirakan jumlah tersebut akan mencapai angka 60% pada tahun 2030. Meskipun amat padat, kehidupan kota harus dirancang untuk memberi kenyamanan bagi warganya. Keadaan yang demikian heterogen akan menciptakan aktifitas yang heterogen pula dari kaum-kaum dengan strata sosial berbeda-beda. Fasilitas yang ada akan lahir dari aktifitas-aktifitas manusia tersebut.
Di negara-negara lain, interaksi sosial akan terjadi pada suatu ruang terbuka publik (RTP)seperti taman kota. Bandung, saat ini hanya memiliki luas lahan terbuka hijau (RTH) sebesar 8% dari seharusnya 30%. RTH yang ada tidak semuanya dapat dimanfaatkan sebagai RTP. Maka, dapat dikatakan bahwa ruang kota yang ada terbatas, sementara kebutuhan terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk. Dari wawancara kepada beberapa warga yang ditampilkan dalam acara tersebut, terlihat bahwa setiap warga Bandung memiliki visi masing-masing mengenai kota yang ideal. Namun keputusan mengenai kota tersebut berada di segelintir orang yang memiliki kekuasaan. Pembangunan Bandung saat ini mengarah pada hedonisme dengan banyaknya pusat-pusat perbelanjaan yang bermunculan. Ruang-ruang komersil yang ada tidak semuanya dinikmati oleh warga, sebagian besar hanya dinikmati oleh golongan ekonomi kuat dan komuter yang berakhir pekan di kota ini. Jika sesekali berkunjung ke Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat (MPRJB), terlihat banyak warga memanfaatkan area tersebut sebagai sarana rekreasi, bermain-main, atau sekedar bersantai. Taman Lansia, Taman Lalulintas, dan beberapa area hijau lainnya juga menjadi incaran publik untuk melepas lelah. Meskipun fasilitas yang ada kurang memadai, namun kebutuhan akan RTP menjadikan daerah-daerah tersebut tak tergantikan.
Selanjutnya, komunikasi antara warga dengan pihak-pihak yang memegang keputusan pembangunan kota harus lancar. Kota yang maju memiliki ide-ide yang disumbangkan oleh warganya sendiri. Sebagai contoh yaitu Taman Pintar di Yogyakarta. Kota Bandung perlu memiliki konsep utama dalam pembangunannya, dan setiap investor yang mau menanamkan modal harus mengikuti konsep tersebut, bukan sebaliknya. Pengambilan keputusan terkait dengan kota - termasuk proses APBD, haruslah transparan. Seluruh warga termasuk mahasiswa memiliki tanggung jawab sosial yang besar terhadap pengelolaan kota Bandung. Baik Emil maupun Hetifa mengajak para peserta talkshow untuk ikut mengkampanyekan tata ruang dan tata uang Bandung agar kota ini memiliki nilai tambah tinggi yang dapat dinikmati oleh seluruh warga.
Rangkaian acara Bandung 45 derajat yang mencapai puncak pada Senin (17/11) malam, berlangsung di lapangan basket CC. Selain talkshow, acara puncak diisi pula dengan screening film, bazaar, serta penampilan dari Bottle Smokers, BEMS dan Baby Eats Crackers. Film-film pendek dan iklan yang ditampilkan dalam acara ini menyampaikan tentang betapa besarnya kebutuhan warga akan RTP, serta kondisi-kondisi RTP di Bandung yang ada saat ini.