Cerita Uma dan Izzah, Wisudawan Asal Negeri Jiran yang Lulus dari ITB
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id – Pada Sidang Terbuka Wisuda Pertama Institut Teknologi Bandung Tahun Akademik 2019/2020, 18-19 Oktober 2019, terdapat 15 mahasiswa internasional yang diwisuda dari berbagai program studi baik S1 maupun S2. Mereka berasal dari 7 negara yaitu Kamboja, Equador, Madagaskar, Malaysia, Rwanda, Timor Leste, dan Vietnam.
Di antara sejumlah mahasiswa internasional program sarjana yang lulus, terdapat dua orang mahasiswa asal Malaysia, yaitu Izzah Hamizah Tadwin binti Tadad atau yang akrab disapa Izzah dan Uma Shangkari Pattu Ramani atau Uma. Keduanya berasal dari prodi Farmasi Klinik dan Komunitas (FKK) Sekolah Farmasi ITB.
Saat ditemui oleh Reporter Kantor Berita ITB pada Rabu (16/10/2019) di Gedung Annex ITB, Izzah dan Uma bercerita bahwa mereka berasal dari angkatan yang berbeda. Izzah berasal dari angkatan 2015 sedangkan Uma berasal dari angkatan 2016. Uma berhasil menyelesaikan pendidikannya dalam waktu 3 tahun saja karena sebelumnya ia pernah mendapat gelar diploma di sebuah politeknik di Malaysia dengan jurusan yang sama sehingga ia tidak mengalami masa Tahap Persiapan Bersama (TPB). Lain halnya dengan Izzah, ia memulai pendidikannya dari masa TPB hingga kini ia berhasil lulus.
Ketika ditanya mengapa mereka memilih ITB sebagai tempat mereka untuk mengenyam pendidikan sarjana, Izzah berkata bahwa ia ingin belajar untuk hidup mandiri dan Indonesia tidak terlalu jauh dengan rumahnya di Sabah, Malaysia. Selain itu, nama ITB memiliki reputasi yang baik sehingga orang tuanya mengijinkan Izzah untuk berkuliah di ITB.
Begitu pula dengan Uma, ia ingin mencoba hidup mandiri sekaligus memperdalam ilmu yang ia peroleh ketika berada di Politeknik. Maka dari itu, keduanya memutuskan untuk mendaftar di S-1 Program Internasional Sekolah Farmasi ITB.
Keduanya merasa cukup nyaman berada di ITB, hanya saja perbedaan bahasa dalam istilah –istilah ilmiah ketika praktikum cukup membuat mereka berdua kesulitan. Walaupun demikian, dalam konteks sehari-hari mereka tidak kesulitan untuk berkomunikasi dengan mahasiswa program reguler.
“Mahasiswa program reguler biasanya menggunakan bahasa Inggris ketika mengobrol dengan kami. Sebenarnya bahasa melayu tidak terlalu jauh berbeda dengan bahasa Indonesia namun karena kami terbiasa menggunakan bahasa inggris, cukup sulit bagi kami untuk memahami beberapa percakapan sehari-hari dalam bahasa indonesia. Kami hanya tahu dasar-dasarnya saja,” ucap Uma diiringi tawa kecil.
Dari segi sistem pendidikan pun cukup berbeda antara sistem pendidikan di Indonesia dan di Malaysia. Tetapi, Uma merasa bahwa perbedaan sistem ini menjadi sebuah tantangan bagi dirinya dan membuat dirinya menjadi lebih rajin belajar dan pandai mengatur waktu. “Ketika saya belajar di Politeknik, kami mendapat waktu libur selama satu minggu setelah UTS sehingga ada waktu untuk istirahat terlebih dahulu sebelum melanjutkan materi. Di sini mau tidak mau saya harus belajar dengan ritme yang cepat karena tidak ada waktu libur setelah UTS,” ujar Uma.
Ketika pertama kali sampai di Bandung, Izzah dan Uma merasa senang karena udaranya tidak terlalu panas seperti Malaysia. “Ya, udaranya sangat berbeda. Bandung termasuk dingin dibandingkan dengan beberapa kota di Malaysia. Saya merasa nyaman di Bandung,” ujar Uma. Dalam hal makanan pun rasanya tidak jauh berbeda dengan rasa masakan yang ada di Malaysia sehingga keduanya tidak mengalami culture shock dalam hal makanan. Selain Bandung, keduanya pernah singgah di Jakarta, Bogor, dan Yogyakarta. Tapi ketika ditanya kota manakah yang menjadi kota favorit mereka, serentak mereka menjawab Bandung.
Setelah resmi lulus dari ITB, Uma dan Izzah berencana kembali ke Malaysia untuk mengambil sertifikasi menjadi apoteker. “Kami berdua sama-sama ingin menjadi apoteker sehingga kami harus mengambil sertifikasi apoteker selama dua tahun terlebih dahulu sebelum bisa mendapat sertifikat resmi dari pemerintah Malaysia,” ucap Izzah seraya tersenyum.
Tinggal di negara tetangga membuat Izzah dan Uma belajar untuk hidup mandiri dan beradaptasi dengan orang-orang yang memiliki budaya serta bahasa yang berbeda. Mereka merasa puas karena berhasil keluar dari zona nyaman dan mempelajari banyak hal baru yang belum tentu mereka temukan apabila tetap bertahan dalam zona nyaman mereka. Akhir kata, keduanya berpesan bahwa selagi muda banyak-banyaklah mengeksplor hal-hal baru karena sesungguhnya dunia ini memiliki banyak tempat dengan beragam cerita menarik yang siap dijelajahi.
Reporter: Qinthara Silmi Faizal (Manajemen, 2020)