Diskusi tentang Vulkanologi dan Tsunami Anak Krakatau 2018

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

*Foto: Ferio Brahmana

BANDUNG, itb.ac.id - Institut Teknologi Bandung, melalui program studi Teknik Geologi, mengadakan diskusi terbuka terkait dengan vulkanologi dan tsunami pada Senin (12/8/2019) lalu. Ide diskusi ini hadir terkait dengan kejadian pada akhir 2018 silam, yaitu letusan gunung Anak Krakatau yang diyakini sebagai salah satu penyebab tsunami Anyer.


"Indonesia adalah negara yang hidup bersama dengan berbagai ancaman letusan gunung berapi juga gempa bumi, penting sekali agar kita paham dan selalu belajar terkait hal ini dari eksplorasi maupun praktisi," ucap Mirzam Abdurrahman saat membuka diskusi tersebut. 

Diskusi tersebut menghadirkan empat geologist asal Inggris, yaitu Sebastian Watt, Michael Cassidy, Amber L. Madden-Nadeau, dan Samantha Engwell. Mereka kebetulan sedang melakukan eksplorasi bersama dengan program studi Teknik Geologi ITB di Anak Krakatau pada awal tahun 2019. 

Dikatakan Mirzam, tujuan dari diskusi vulkanologi dan tsunami adalah untuk menambah pemahaman akan kejadian yang sebenarnya terjadi. Maksudnya ialah mampu mendeskripsikan kejadian saat erupsi berlangsung. Para ahli geologi tersebut melakukan penelitian untuk merekonstruksi ulang erupsi Anak Krakatau dan pengaruhnya terhadap tsunami Anyer.

Rekonstruksi kejadian vulkanik, terutama yang berkorelasi dengan potensi tsunami, akan menjadi pengetahuan yang sangat penting. Bukan hanya memahami apa saja akibat erupsi gunung berapi yang berdekatan dengan perairan, melainkan bisa menentukan letak-letak mineral yang berguna bagi manusia dalam endapan atau daratan sekitarnya.

Presentasi dimulai oleh Watt dengan isu tsunami akibat erupsi Krakatau pada tahun 1883 dan Anak Krakatau 2018. Ia mencoba untuk mencari tahu letak-letak kesamaan dari dua kejadian tersebut. Kesamaan ini dikhususkan pada letak tanah mana yang bergoyang dan jatuh sehingga terjadi perubahan bentuk tanah. Ini bisa dipakai sebagai acuan apakah tanah yang jatuh menjadi pemicu getaran pada laut yang memicu tsunami.

Sementara geologist lainnya Cassidy dan Amber berfokus menjelaskan pada efek erupsi terhadap jatuhnya tanah. Mereka ingin mencari tahu bagaimana sebenarnya proses rubuhnya tanah berlangsung. Pendekatan yang mereka pakai adalah pendekatan geokimia. "Kami sulit untuk langsung mendekati dengan geofisika karena kurangnya data dan pengamatan fisis, apalagi pada tahun 1883, " ungkap Cassidy.

Terkahir, Engwell menutup presentasi ini dengan pemaparan bahwa kejadian Krakatau pada tahun 1883 bisa didekati dengan model matematika. "Ini lebih mungkin dilakukan mengingat keterbatasan-keterbatasan teknologi yang kita punya di saat itu sehingga kita tidak punya cukup data untuk melakukan model yang tervisualisasi," jelas Engwell.

Dari penjelesan mereka, semua peneliti ini sepakat bahwa penelitian ini belum selesai sehingga belum ada kesimpulan mutlak. Mereka akan kembali ke laboratorium dan menguji lagi aspek-aspek khusus. Nantinya, hasil dari tes tersebut bisa mereka gunakan untuk menyimpulkan hasil atau mengganti metode penelitiannya. Seusai presentasi, diskusi kemudian dibuka dengan 10 pertanyaan yang dibagi dalam 3 sesi. Para peserta sangat antusias, baik mahasiswa maupun dosen. "Saya sangat senang bisa ikut kegiatan ini, walau mungkin terasa sangat berat pokok bahasannya, tapi saya mendapat banyak sekali pelajaran, " kata salah seorang peserta.

Reporter: Ferio Brahmana (Teknik Fisika, 2017)