Profil: Dr. Hamzah Latief, Ahli Tsunami ITB
Oleh Krisna Murti
Editor Krisna Murti
Beruntung benar, di sela-sela kesibukannya yang tidak kunjung berhenti, Dr. Hamzah Latief, M.Si, meluangkan waktu untuk diwawancarai. Memang, semenjak hari Minggu kelam, 26 Desember 2004 lalu, dosen dosen program studi Oceanografi, Departemen Geofisika dan Meteorologi ITB ini diundang menjadi narasumber di mana-mana; BPPT, BRKP, LIPI, hingga Departemen Pertahanan. Hampir setiap hari, beliau bolak-balik Jakarta-Bandung. Menariknya, walalupun demikian, tiap ada waktu luang, Dr. Hamzah pasti senang diajak berdiskusi mengenai tsunami dan gempa oleh rekan dosen, wartawan, mahasiswa, atau siapa pun. Tampak jelas keinginannya untuk menyosialisasikan bahaya dan usaha-usaha mitigasi tsunami begitu besar. Memang betul, tsunami tidak boleh diremehkan. Hal itu terbukti 26 Desember tahun lalu.
Hamzah kecil memang akrab dengan laut. “Kalo saya main bola ya di pinggir pantai,” ujar beliau mengenang masa lalu, “Belajar loncat tinggi juga di sand dune (gundukan pasir –red.)” Masa kecilnya banyak dihabiskan di lingkungan pantai di kota kelahirannya, Pare Pare, Sulawesi Tengah.
Kedekatannya dengan lingkungan laut ini juga menjadi salah satu alasannya setelah lulus SMU, Hamzah muda memilih jurusan Geofisika dan Meteorologi (GM) ITB tahun 1984. Kakaknya, yang juga lulusan GM ITB, menjadi salah satu orang yang mendukungnya untuk masuk GM ITB. Pak Hamzah lalu mengkhususkan ke program studi Oceanografi.
“Apa yang dipelajari (di program studi Oceanografi –red.), lalu terbayang fenomena waktu kecil,” ujarnya bersemangat. “Apa itu estuari, mengapa kenapa air di (bagian) atas (perairan estuari) tawar (rasanya), yang di bawah asin, itu sudah dirasakan sejak kecil.” Kuliah itu seakan-akan cuma me-“recall” masa kecil Hamzah.
Tahun 1989 beliau lulus sarjana S-1 ITB. Pak Hamzah bekerja sebagai konsultan di sebuah perusahaan konsultasi teknik, sekaligus menyambi sebagai asisten. Setahun kemudian, Pak Hamzah mengambil S-2 di Departemen Fisika, Fakultas MIPA, ITB dengan mengkhususkan diri di bidang gelombang. Beliau menyelesaikan S-2-nya tahun 1993. Di sela-sela studi pascasarjananya, tahun 1991, beliau menjadi dosen GM ITB.
Pada tahun 1996, Pak Hamzah melamar menjadi mahasiswa program doktor di Universitas Tohoku, Jepang. Beliau ingin sekali mendalami Harbor and Coastal Engineering di Civil Departemen, Tohoku University. Namun, profesor pembimbingnya, Prof. Nobho Shuto, malah menasehatinya agar mengambil spesialisasi pada tsunami. “Prof. Nobho Shuto bilang negara saya banyak (potensi) tsunami.” Padahal Pak Hamzah masih ingin mendalami Harbor and Coastal Engineering.
Dua minggu setelah email dari Prof. Nobho Shuto yang merekomendasikan dirinya mengambil spesialisasi tsunami, terjadi bencana tsunami di Biak (April 1996). Prof. Nobho Shuto langsung membelikan Pak Hamzah tiket untuk terbang ke Biak; ikut survei di sana. Di sanalah Pak Hamzah belajar mengenai dampak tsunami secara riil. Dalam kesempatan itulah, Pak Hamzah termotivasi untuk belajar tsunami. “Ilmu ini akan berguna bagi orang yang menderita,” ujar beliau.
Setelah menyelesaikan student research selama 6 bulan, beliau resmi terdaftar sebagai mahasiswa Universitas yang memiliki Tsunami Engineering Laboratory, Disaster Control Research Center ini tahun 1997. Yang menarik dari studinya di Jepang, Pak Hamzah justru lebih banyak mendalami mengenai kemampuan vegetasi pantai untuk mereduksi tsunami. Belum sampai 6 bulan masa studinya di Tohoku, beliau sudah buat paper tentang tsunami di Jawa Timur (1994) dan dipresentasikan. Setelah itu, Prof. Imamura (pengganti Prof. Nobho suto yang pensiun) tidak lagi membimbing Pak Hamzah belajar tentang tsunami. “Dianggap khatam tsunami,” ujar Pak Hamzah tersenyum. Malahan, selanjutnya Pak Hamzah diarahkan untuk belajar mengenai vegetasi, tepatnya mangrove. “Dua tahun lebih setelah paper saya mengenai tsunami Jawa Timur itu, saya hanya bereksperimen vegetasi. Satu-satunya paper saya mengenai tsunami ya, paper tentang tsunami Jawa Timur di awal masa kuliah saya itu. Sisa paper-paper saya tentang vegetasi.”
Di sela-sela kuliah doktoralnya, Pak Hamzah rajin membuat katalog tsunami Indonesia. Saat itu, baru semacam database sederhana. Saat beliau kembali ke Indonesia, katalog ini dikembangkan menjadi database dengan bantuan rekan-rekan dosen Oceanografi ITB lainnya. Kini, katalog itu malah dirujuk banyak orang dan lembaga yang membutuhkan informasi mengenai tsunami di Indonesia.
Dr. Hamzah tidak memiliki ambisi besar dalam aplikasi ilmu tsunami yang dimilikinya “Saya tidak terlalu berangan-angan (Indonesia) mempunyai teknologi hi-tech yang mahal. Yang penting itu buat apa yang bisa kita buat sekarang: sosialisasi bahaya berbagai bencana lingkungan bahari, perbaikan tata ruang –termasuk penggunaan mangrove-, pendidikan bencana, dan teknologi-teknologi peringatan adanya tsunami yang sederhana saja.” Pak Hamzah memang menekankan perlunya kewaspadaan terhadap bencana. Beliau mengistilahkannya dengan mengapresiasi bencana.
Keahliannya di bidang tsunami membuat Dr. Hamzah banyak menjadi nara sumber. Namun, sebenarnya beliau merasa sedih. “Kenapa orang baru cari-cari informasi setelah 100.000 orang meninggal,” kata beliau, “Padahal sejak 2-5 tahun lalu, (saya dan tim Pusat Penelitian Kelautan – ITB) seperti door to door, memperingatkan orang banyak tentang bencana yang dinamakan tsunami.”
Selepas lulus dari Tohoku University, Dr. Hamzah memang kerap sekali mengadakan sarahsehan, diskusi, hingga seminar mengenai bahaya-bahaya bencana lingkungan bahari. Bahkan, di awal Desember, dua minggu sebelum tsunami 26 Desember 2004, Dr. Hamzah dan rekan-rekannya di Pusat Penelitian Kelautan ITB mengadakan seminar di LIPI. Dr. Hamzah memang mengakui bahwa usaha sosialisasinya ini baru merangkul para pengambil keputusan. Namun, memang sulit menyosialisasikan lebih lanjut karena keterbatasan tenaga, waktu, dan dana. “Masak saya keliling Indonesia.” Saat itu, dukungan politis bagi Dr. Hamzah tidak ada.
Sebelum minggu kelam 26 Desember itu, banyak orang memang cenderung “cuek” dan meremehkan tsunami. Namun, setelah lebih dari 100.000 warga di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara meninggal, barulah banyak orang kelabakan, ngeri akan tsunami. Indonesia ditampar. Dr. Hamzah berharap orang-orang Indonesia belajar dari bencana ini dan mulai mengapresiasikan tsunami. Maksudnya, menghargai dan menyadari bahaya tsunami lalu senantiasa waspada serta melakukan berbagai usaha mitigasi bencana ini.
antonius krisna murti
update: 22/01/05 11.45 pm