Dr. Emenda Sembiring Sampaikan Urgensi Penanganan Limbah Plastik di Indonesia

Oleh Adi Permana

Editor Vera Citra Utami

*Foto: Freepik

BANDUNG, itb.ac.id—Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) ITB, kembali menyelenggarakan Kuliah Umum KU1202 Pengantar Rekayasa dan Desain secara daring, Kamis (18/02/2021). Acara ini mengundang Dr. Emenda Sembiring, S.T., M.T., M.Eng.Sc. yang merupakan salah satu dosen dari kelompok keahlian pengelolaan udara dan limbah sebagai pembicaranya. Kuliah yang diikuti sekitar 400 mahasiswa TPB FTSL ini mengambil sebuah tema yang berkaitan dengan lingkungan, yaitu penanganan limbah plastik.

Di awal pemaparan, Dr. Emenda menjelaskan bahwa penemuan material plastik merupakan salah satu capaian besar bagi seorang engineer. Sejak bahan ini ditemukan, manusia mulai mendapatkan banyak kemudahan dalam hidupnya. Hal ini bisa terjadi karena plastik memiliki banyak manfaat bagi manusia, di antaranya adalah bisa dibentuk sesuai keinginan, mudah dibersihkan, tahan terhadap abrasi, tahan perubahan (mar resistance), konduktivitas listrik dan panas rendah, resistan terhadap korosif, kuat, rendah brittleness, hydrophobic, dan persisten.

“Orang pertama yang menemukan plastik itu sebenarnya menciptakan ‘keajaiban’ di dunia karena dengan itu semuanya itu jadi mudah. Misalnya, material yang dulunya punya masalah di beratnya, sekarang kita bisa menggantinya dengan material yang ringan,” ungkapnya.

Permintaan masyarakat terhadap plastik semakin meningkat. Dari tahun 1950 hingga tahun 2014, kenaikan permintaan masyarakat dunia terhadap material ini mencapai 296 miliar ton. Sedangkan di Indonesia sendiri, tingkat penggunaan plastik pada masyarakat terbilang cukup tinggi sehingga membuat negara ini menjadi negara penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia pada tahun 2015.

*Sumber foto: tangkapan layar presentasi Emenda Sembiring

Ia melanjutkan, tingginya pemakaian material plastik memberikan pengaruh yang cukup serius terhadap lingkungan. Salah satu dampaknya adalah pencemaran sungai yang disebabkan banyaknya sampah plastik yang terbuang di sana. Adanya sampah plastik yang dibuang ini menyebabkan fauna di sekitar sungai tersebut terancam mati, contohnya adalah pencemaran yang terjadi di Sungai Citarum.

Selain itu, permasalahan lain yang dapat terjadi adalah adanya keberadaan mikroplastik pada ekosistem air tawar ataupun air laut yang berhasil tercemar. “Plastik yang berukuran besar tidak akan selamanya besar, tetapi dia akan terdegradasi akibat faktor lain yang kemudian akan berubah menjadi sangat kecil dan biasa disebut mikroplastik,” jelasnya.

Mikroplastik adalah plastik yang berukuran kurang dari 5 mm. Biasanya zat ini akan tercampur dengan zat lain seperti air hujan, air sungai, dan lain-lain. Kemudian, material jenis ini dibedakan menjadi dua, yaitu primer dan sekunder. Mikroplastik primer adalah mikroplastik yang sudah berukuran kecil dari awal produksi, sedangkan mikroplastik sekunder adalah mikroplastik yang terfragmentasi dari plastik yang lebih besar.

Meskipun ukuran dari mikroplastik ini sangat kecil, Dr. Emenda menjelaskan bahwa zat mikroplastik tersebut harus tetap dibuang dan harus segera dilakukan upaya penjernihan terhadap air yang terpapar mikroplastik karena zat tersebut berbahaya bagi tubuh.

“Jadi ada beberapa teknologi yang mungkin bisa digunakan untuk merekayasa zat mikroplastik ini sehingga hal tersebut dapat dipisahkan dari air yang tadi terkontaminasi, salah satunya adalah dengan menggunakan metode penyisihan MPs dalam IPAM dengan teknik rapid sand filter dan slow sand filter,” tambahnya.

Reporter: Nur Rama Adamas (TPB FTSL, 2020)