Gejolak Perbankan Syariah di Indonesia Hadapi MEA

Oleh Vinskatania Agung A

Editor Vinskatania Agung A

BANDUNG, itb.ac.id - Memasuki era diberlakukannya pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara sejak akhir tahun 2015 lalu membuka peluang besar bagi masyarakat ASEAN untuk membentangkan sayapnya dalam memasarkan barang serta jasa yang dimiliki. Di saat yang sama, terdapat ketakuatan-ketakutan yang membayangi industri yang semakin kehilangan batas ini. Ir. Putu Rahwidiyasa, MBA, CIPM, direktur utama dari Bank Syariah Mandiri hadir di tengah-tengah mahasiswa dalam mata kuliah Studium Generale untuk secara khusus membahas potensi dan tantangan yang dimiliki sektor perbankan syariah dalam menghadapi MEA. Sabtu (27/2/16), dalam waktu dua jam Putu mengupas tuntas berbagai aspek penting dalam perbankan syariah di Aula Barat ITB.

Perbankan syariah adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan al-quran dan hadits dan diatur oleh UU no.21 tahun 2008. Bank syariah berjalan berdasarkan fondasi akhlak, kesetiakawanan, dan akidah. Tujuan dan kesuksesan yang hakiki dalam berekonomi adalah tercapainya kesejahteraan yang mencukupi kebahagiaan dan kemakmuran. Operasi bank syariah pada dasarnya menjamin ketentraman konsumen.

Perbedaan perbankan syariah dan konvensional yaitu adanya sistem bagi hasil di perbankan syariah dan sistem bunga di perbankan konvensional. Pada sistem bagi hasil, ada nisbah bagi hasil yang diaplikasikan pada pendapatan dan tidak berubah sama sekali kecuali disepakati bersama, sedangkan pada sistem bank konvensional bunga diaplikasikan pada pokok pinjaman dan suku bunganya sewaktu-waktu dapat diubah secara sepihak oleh bank. Keuntungan bank syariah akan dibagiakan pada nasabah penyimpan, sedangkan keuntungan yang didapatkan nasabah di bank konvensional hanya meliputi yang dijanjikan di awal. Dalam organisasi bank syariah juga terdapat Dewan Pengawas Syariah (DPS). Yang bertugas sebagai penjaga nilai syariah pada bank.

Bangkitnya Sektor Riil
Kehadirannya perbankan syariah ternyata mendorong perkembangan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan non-LKS. Misalnya saja, di tahun lalu wisata halal di Indonesia yaitu di Lombok diakui dunia sebagai wisata halal terbaik. Selain itu, Indonesia juga memenangkan kategori hotel syariah yang diraih oleh Hotel Sofyan di Jakarta. Aset perbankan syariah tumbuh 40% setiap tahunnya. Angka ini merupakan angka pertumbuhan yang lebih besar dari angka pertumbuhan bank konvensional.

Indonesia masuk dalam daftar negara yang menguasai market share keuangan syariah dunia bersanding dengan Qatar, Saudi Arabia, Malaysia, UAE, dan Turki. Meskipun begitu, sebenarnya 5% nilai market share Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan Malaysia yang sangat kokoh dengan market share sebesar 20%. Keunggulan yang dimiliki Malaysia tidak terlepas dari peran pemerintah dalam mengatur hukum yang mewajibkan penyimpanan dana BUMN di bank syariah. Sementara itu, pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia murni digerakkan oleh kebutuhan mayarakatnya. "Dengan society-driven saja kita sudah bisa mencapai angka 5. Bayangkan apabila pemerintah Indonesia memberlakukan hukum yang serupa," kata Putu.

Legitnya Pasar Indonesia di Mata ASEAN
Terkait dengan AEC, ekonomi bebas untuk sektor perbankan baru dibuka tahun 2020. "Indonesia harus bersiap karena kita merupakan pasar yang sangat menarik dibandingkan dengan negara lainnya di kawasan ASEAN," ujar Putu. Hal ini terbukti dari indeks yang dikeluarkan oleh GIFR, Indonesia menduduki urutan ke-7 sebagai negara yang memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan keuangan syariah. Hal ini disebabkan oleh masyarakat muslim Indonesia yang jumlahnya terbanyak di dunia dan 60% penduduk Indonesia kini berada di usia produktif. Selain itu, potensi lainnya adalah penetrasi perbankan di Indonesia yang masih rendah yaitu hanya 19,6% orang dewasa di Indonesia yang memiliki rekening di bank.

Sayangnya, perbankan syariah belum memiliki jangkauan yang luas, yaitu baru melingkupi 55% kota/kabupaten di Indonesia. Selain itu, modalnya juga masih rendah dengan produk yang juga terbatas. Efisiensi masih rendah karena masih dalam tahap ekspansi yang membutuhkan biaya investasi. Dari segi SDM pun masih belum memadai. Di tahun 2020 diperkirakan dibutuhkan 176 ribu pegawai sementara kini baru mencapai angka 73 ribu. Dari segi pendidikan, Indonesia juga masih menempati posisi 44 sebagai negara yang memiliki kesesuaian kurikulum yang dijalankan terhadap kebutuhan industri. Ini merupakan tantangan besar bagi industri untuk menyesuaikan kualitas SDM.

Agar eksistensi perbankan syariah dapat bersaing, menurut Putu dibutuhkan kerja sama yang lebih baik dengan pemerintah, peningkatan pemodalan, bersamaan dengan peningkatan kualitas layanan dan produk. Struktur dana perbankan syariah juga perlu diperbaiki dengan menggesernya ke tabungan. Perbaikan kualitas SDM juga perlu diupayakan dengan meningkatkan literasi dan preferensi masyarakat terhadap perbankan syariah. Yang terakhir, perlu dilakukan harmonisasi yang lebih kuat lagi akan peraturan perbankan agar lebih membedakan perbankan syariah mengingat kontrasnya aspek-aspek yang ada di dalam perbankan syariah dan konvensional.