Jasmerah, Mari Merunut Sejarah dan Merajut Asa DKV ITB
Oleh Adi Permana
Editor Vera Citra Utami
BANDUNG, itb.ac.id -- Jangan melupakan sejarah. Kalimat tersebut menjadi inspirasi Trajectstory untuk webinar berjudul “Merunut Sejarah, Merajut Asa DKV ITB” pada Jumat (14/1/2022). Webinar ini dapat juga menjadi penutup rangkaian acara untuk Trajectstory 2022.
Seperti yang diketahui Trajectstory adalah pameran perjalanan akademik jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV ITB) selama dua tahun. Karya yang dipamerkan berasal dari karya mahasiswa dalam tugas atau proyek dari 14 mata kuliah yang dapat memperlihatkan perkembangan keilmuan dalam kurikulum DKV ITB dari tahun 2019 sampai 2021. Pameran juga dimeriahkan dengan bedah buku dan mengurutkan sejarah dari DKV ITB.
Moderator pada webinar adalah Dr. Riana Maslan Sihombing, M. Sn. Webinar menghadirkan Dosen DKV FSRD ITB Triyadi Guntur W, S. Sn., M. Sn. sebagai pemantik diskusi yang saat ini sedang membuat buku mengenai sejarah DKV ITB, Purnabakti Dosen DKV FSRD ITB Drs. Alfonzo Ronald Koapaha, M. Sn., dan Presiden pertama IPPDIG serta seorang Desainer Grafis Risman Zihary. Tujuan dari webinar adalah mengurutkan sejarah DKV ITB karena orang yang tidak mengetahui sejarah seperti pohon tanpa akar.
Menuliskan sejarah prodi DKV ITB adalah mengurut sejarah rumah karena para penulis menuntut ilmu di sini. FSRD ITB adalah sekolah seni rupa secara akademis pertama di Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh Triyadi Guntur. “DKV adalah rumah kita bersama. Merunut sejarah panjang tidak mudah karena terdapat saksi sejarah yang sudah berpulang karena manusia selalu berada di ruang dan waktu,” ujarnya.
Merangkai sejarah prodi DKV ITB sudah dilakukan sejak 2017 dengan melakukan wawancara pada subjek sejarah dan studi literatur. Triyadi Guntur membagi sejarah dalam beberapa periode. Periode pertama adalah periode awal yang merupakan Proto FSRD ITB pada tahun 1942-1947. Simon Admiraal yang saat itu dipenjara di Kamp Interniran Cimahi membuat gagasan mendirikan Pendidikan Seni Rupa di Indonesia lalu berdiskusi pada seniman lain seperti J. Hopman, Ries Mulder, dan Piet Pijpers.
Periode kedua adalah Periode Belanda, yaitu saat ITB menjadi THS pada tahun 1947-1950 sebagai politik etis. Alfonzo Ronald Koapaha, M. Sn. beserta mahasiswanya pergi ke Belanda untuk mendapatkan karya yang ditinggalkan oleh Simon Admiraal saat periode ketiga yang menyebabkan dosen Belanda harus kembali ke negara asal.
Periode ketiga adalah periode peralihan. Periode keempat adalah embrio desain grafis pada tahun 1963-1972 diakibatkan oleh kegagalan Mochtar Apin dan AD. Pirous saat melakukan Pitching Hotel Indonesia. Pada tahun 1967 berdirilah studio grafis. Periode kelima adalah terbentuknya kurikulum desain grafis secara de facto pada tahun 1973 berdasarkan estetika. Periode keenam adalah komunikasi visual berdasarkan desain dan bisnis pada tahun 1983 sampai 1993. Periode ketujuh adalah kurikulum peminatan dari 2003 sampai 2012. Kurikulum menjadi lebih rampung pada tahun 2013.
Mengetahui sejarah menyebabkan dapat diketahui jati diri dari suatu individu maupun instansi. Pesan yang diberikan oleh Priyanto S. adalah etos dari seorang desainer grafis atau komunikasi visual adalah pengetahuan, wawasan, kepekaan, dan kreativitas. Seorang desainer grafis harus menjadi insan kreatif sampai mati.
Reporter: Alvina Putri Nabilah (Biologi, 2019)