Kesadaran Akan Bencana dan Geo-spasial

Oleh habiburmuhaimin

Editor habiburmuhaimin

BANDUNG, itb.itb.ac.id- Gempa dahsyat kembali melanda wilayah Indonesia di Sumatra Barat dan Jambi akhir September 2009. Kita banyak belajar sejak dulu dan proses itu berlangsung terus hingga munculnya mega-gempa dan tsunami yang melanda wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) 2004. Disadari atau tidak, gempa dan tsunami NAD merupakan titik awal baru bagi bangsa Indonesia untuk berbenah diri. Berbenah dalam mengantisipasi setiap bencana secara terpadu. Ya, mengantisipasi bencana secara terpadu dengan tujuan mengurangi dampak bencana yang muncul (mitigasi).

Kesadaran bencana

Indonesia tercatat sebagai salah satu negara paling rawan bencana di dunia. Gempa, tsunami, gunung meletus, banjir, longsor merupakan bencana "langganan" yang melanda seluruh wilayah, mulai dari Sabang sampai Merauke. Posisi strategis Indonesia di antara dua benua, Australia dan Asia, dua samudra yaitu Samudra Pasifik dan Hindia selalu menjadi "kebanggaan" sumir yang "ditanamkan" pada pelajaran-pelajaran di SD, SMP, SMA bahkan mungkin di perguruan tinggi terkait posisi geografis Indonesia. Segera tanamkan pemahaman yang menunjukkan Indonesia "kaya" bencana. Ini bukan dalam rangka menakut-nakuti bangsa ini melainkan menumbuhkembangkan kesadaran akan kayanya negeri mereka akan bencana (disaster awareness).

Kemunculan bencana seperti megagempa dengan orde pengulangan ratusan tahun dapat pula menjadi periode waktu dalam membangun budaya baru. Budaya baru yang sadar akan terjadinya bencana di sekitar tempat kita dan budaya bagaimana cara menghindari bencana (mitigation awareness), bukan melawan bencana. Menghindari artinya melakukan cara-cara sistematis dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan bencana, materi maupun nonmateri. Bagaimana masyarakat sadar bahwa wilayahnya sangat rentan bencana gempa dan paham apa yang terjadi jika kekuatan gempa sangat dahsyat melanda wilayah mereka? Ini semua dapat dilakukan melalui proses pendidikan formal maupun informal. Walaupun pendidikan butuh waktu lama dan biaya besar tetapi hanya dengan pendidikanlah mereka mengerti kenapa harus sadar akan begitu banyaknya bencana "mengintai" mereka.

Kesadaran geo-spasial

Selain paham akan pentingnya kesadaran bencana, masyarakat juga mesti paham "karakteristik" tempat tinggal dan tempat mereka beraktivitas. Yang paling sederhana adalah dimana rumah mereka berada? Apakah berada di samping rumah si A, dekat sungai, dekat tebing, dekat pertokoan, berada di bukit, dan sebagainya. Ini yang disebut dengan memahami lokasi dan posisi (geo-spasial) suatu wilayah. Sejak gempa dan tsunami melanda NAD, masyarakat NAD menjadi masyarakat Indonesia yang paling sadar akan pentingnya data geo-spasial dalam proses manajemen bencana, mulai dari proses evakuasi, pemindahan penduduk ke lokasi lain (relokasi) bahkan sampai pada proses rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah.

Bagaimana menuntun masyarakat Indonesia agar bisa mempunyai kesadaran geo-spasial? Ini pun dapat dilakukan melalui proses pendidikan. Masih ingat film kartun "Dora the Explorer"? Substansi filmnya pada dasarnya adalah pendidikan. "Peta...peta...peta" begitu yang sering terdengar dari film tersebut. Iya, peta adalah salah satu bentuk produk geo-spasial. Peta bisa "berbicara" banyak tentang lokasi dan posisi wilayah, maps can speak more than thousand words. Kesadaran geo-spasial inilah yang dibutuhkan masyarakat Indonesia.

Dalam konteks teknologi, perkembangan produksi data geo-spasial sudah begitu pesat. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana masyarakat dapat belajar dan membangun kebersamaan dalam menghadapi bencana. Basis komunitas sadar bencana inilah yang perlu dibangun secara sistematis dan berkelanjutan di Indonesia.

Salah satu contoh komunitas kota di Jepang adalah penduduk kota Nishiki. Kota Nishiki bisa disebut "desa" karena jumlah penduduknya hanya sekitar 2.200 orang terletak di bawah lembah kecil dan di ujung teluk mengarah ke laut Pasifik. Beberapa kali gempa dengan kekuatan di atas M7,0 melanda kota Nishiki. Mega-gempa terakhir yang menghantam kota kecil ini terjadi pada 5 September 2004 dengan kekuatan M7,4. Begitu besar "penghargaan" yang diberikan penduduk terhadap bencana yang pernah melanda mereka. Mereka mengingat semua itu dalam bentuk dokumen yang tercatat dengan rapi, benda-benda yang masih tersisa dari amukan bencana dibingkai rapi dalam sebuah cerita di museum, bahkan memberikan tanda-tanda di setiap sudut kota yang mengingatkan seberapa tinggi air yang merendam kota mereka. Pendekatannya sangat sederhana tetapi itu membuat penduduk menjadi ingat dan belajar sehingga tertanam suatu budaya baru di masing-masing hati sanubarinya. Belum lagi bentuk pendekatan yang dilakukan terhadap anak-anak balita dan sekolah dasar.

Kita perlu meniru Jepang dalam menanamkan nilai-nilai penting dalam kehidupannya termasuk membangun budaya baru, yaitu budaya tanggap terhadap bencana melalui proses kesadaran bencana (disaster awareness) dan kesadaran geo-spasial (geo-spatial awareness).

Penulis


Ketut Wikantika adalah dosen penginderaan jauh (remote sensing) di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (Earth Science & Technology) ITB. Ketut juga aktif sebagai peneliti di Kelompok Keilmuan Penginderaan Jauh dan Sains Informasi Geografis (Remote Sensing & Geographical Information Science Research Division). Selain itu, Ketut menjadi Kepala Pusat Penginderaan Jauh ITB sejak 2005 serta menjadi Ketua Umum Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) periode 2006-2009.

Disadur dari pikiran rakyat dengan perubahan