Kolaborasi KPA ITB Sukses Pukau Menteri Pariwisata di Negeri Jiran
Oleh Anggun Nindita
Editor Anggun Nindita
BANDUNG, itb.ac.id—Keluarga Paduan Angklung (KPA) ITB berhasil unjuk kebolehan di panggung internasional Borneo Cultural Festival 2023. Acara tersebut dihelat pada 22-23 Juli 2023 di Sibu, Malaysia.
Penampilan mereka pun mendapatkan respons yang positif, tak hanya dari pengunjung yang hadir. Namun juga dari Menteri Pariwisata Sarawak serta Konsulat Jenderal RI untuk Sarawak.
Sebagai informasi, penampilan kali ini merupakan kerja sama dengan Ngangklung Ceria AABB (NCAABB). Ketua Bidang Penampilan KPA ITB, Hasnan Fauzan, menyatakan NCAABB pernah mendapatkan tawaran untuk tampil di negeri Jiran di tahun 2017.
Ada 5 lagu yang dibawakan, yakni “Lalayaran”, “Hariring Haleuang Tembang”, “Hati yang Kau Sakiti”, medley rock (“Sweet Child O’mine”, “You Give Love a Bad Name”, “It’s My Life”), serta “Cindai”. Sesi latihan angklung sendiri mulai dilakukan sejak 9 April-18 Juli 2023.
Fauzan mengungkapkan, saat masa pandemi sempat menyebabkan degradasi skill angklung. Sehingga mereka perlu digembleng kembali mengenai hal-hal dasar soal angklung.
“Kami diajarkan teknik menggetarkan angklung atau kurulung agar rapat, stabil suaranya, dan tepat ketukannya. Total ada 34 sesi latihan yang kami jalani,” ujar Fauzan.
Bass elektrik, kendang, angklung “cuk” (ko-akompanyemen), dan drum set menjadi alat musik tambahan untuk menyempurnakan penampilan. “Penggunaan bass elektrik dan kendang merupakan hal yang baru bagi kami,” lanjutnya.
Ini adalah penampilan internasional perdana KPA ITB setelah event ASEAN Cultural Night 2016 di Oslo, Norwegia. Ketua KPA ITB, Bakas Ramadhani, mengakui dalam persiapannya mereka menemui banyak kendala. Mulai dari perizinan, transportasi, akomodasi, mobilisasi alat musik, dan detail lainnya yang cukup membuat mereka kewalahan.
“Kami harus mencari sponsor dari pihak luar, sempat ada pihak yang batal mengucurkan dana dan kami terancam gagal berangkat. Namun atas kerja sama semua pihak, kami berhasil mencari sumber dana lainnya. Para alumni juga memberikan andil yang besar dalam hal ini. Bahkan, konduktor tim juga dari alumni KPA ITB angkatan 2008,” ungkap Bakas.
Dia pun menyebutkan jika kekeluargaan di unit angklung ini masih awet sejak dibentuk pada 17 Maret 1972.
Perjuangan mereka pun tidak sia-sia mengingat antuasiasme yang ditunjukkan oleh para penonton yang hadir.
“Tepuk tangan dari penonton menimbulkan perasaan haru dan membayar semua perjuangan kami. Jika ditilik ke belakang, banyak sekali rintangan yang dihadapi untuk melaksanakan penampilan ini. Pesimis boleh, sebagai tolak ukur langkah yang telah ditempuh. Namun, optimis itu harus untuk menghadapi semua masalah. Kalau tidak optimis, mungkin kami tidak akan menginjakkan kaki di Negeri Jiran,” beber Fauzan.
Festival ini tak hanya dihadiri oleh warga lokal. Tapi juga para wisatawan yang turut hadir ke sana. Salah seorang anggota KPA, Alya Izzaty (FKK 21), mengungkapkan para pejabat setempat pun bahkan memberikan apresiasi kepada penampilan mereka.
“Menteri Pariwisata Sarawak, Konsulat Jenderal RI untuk Sarawak turut hadir dan memberikan apresiasi,” ungkap Alya.
KPA ITB dan NCAABB tidak memainkan angklung atas nama komunitas, melainkan membawa harum nama Indonesia. Alat musik tradisional dari bambu ini nyatanya mampu memperkuat diplomasi antara dua negara.
Salah seorang anggota KPA lainnya, Rara Aliya (MA 21) berharap KPA terus dapat berkarya dan memperkenalkan alat musik angklung ke seluruh dunia.
“Harapannya angklung bisa terus dikenal di seantero dunia. Kami juga berharap ini bukan panggung internasional terakhir KPA ITB. Unit ini harus terus berkembang dan tetap melestarikan budaya,” tutup Rara.
Reporter: Maharani Rachmawati Purnomo (Oseanografi, 2020)