Mitos dan Stigma tentang Kekerasan Seksual Harus Dipatahkan untuk Merealisasikan Kampus yang Aman
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id – Krisis perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, terutama pada lingkungan perguruan tinggi menjadi hal yang sangat miris. Hal ini semakin diperkuat oleh berbagai stigma dan mitos yang dipercayai masyarakat luas terkait kekerasan seksual yang semakin memojokkan posisi dan keadaan para korban kekerasan seksual.
Sebenarnya, berbagai mitos dan stigma yang beredar terkait kekerasan seksual ini harus segera dipatahkan untuk membasmi kasus kekerasan seksual dan menciptakan lingkungan kampus yang aman.
Melalui mata kuliah KU-4078 Studium Generale, Institut Teknologi Bandung turut bergerak dalam penegakkan, pencegahan, dan penanganan kasus kekerasan seksual untuk merealisasikan perguruan tinggi yang aman. Pada Studium Generale yang dilaksanakan pada hari Rabu (25/1/2023), Tenaga Ahli Staf Khusus Menteri Bidang Kompetensi dan Manajemen Kemendikbud Ristek, Paula Selpianti Litha Pasau memaparkan tentang Sosialisasi Permendikbud Ristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.
Definisi serta indikator terkait kekerasan seksual menjadi hal mendasar yang harus dipahami. “Indikator yang menjadi penanda suatu hal merupakan kekerasan atau bukan adalah paksaan. Paksaan dapat berupa pemberian hukuman maupun pemberian iming-iming,” ujar Paula.
Contoh tindakan paksaan dalam bentuk pemberian hukuman adalah saat korban diancam jika tidak mau menuruti keinginan pelaku. Selain itu, paksaan dalam bentuk iming-iming atau bujuk rayu adalah saat korban dijanjikan untuk diberikan sesuatu jika ia mau melakukan hubungan seksual dengan pelaku.
Bentuk kekerasan seksual juga sangat beragam. Mulai dari menyampaikan rayuan bernuansa seksual, mengujarkan diskriminasi atau melecehkan tampilan fisik seseorang, memperlihatkan alat kelamin tanpa persetujuan, menatap orang lain dengan nuansa seksual, mengirim pesan dan konten yang tidak senonoh tanpa persetujuan, merekam dan mengambil foto orang lain tanpa persetujuan, mengunggah foto tubuh pribadi orang lain yang bernuansa seksual tanpa persetujuan, menyebarkan konten terkait tubuh orang lain yang bernuansa seksual tanpa persetujuan, mengintip aktivitas pribadi orang lain, membujuk dan merayu orang lain terkait aktivitas seksual tanpa persetujuan, memberi hukuman dan ancaman yang bernuansa seksual, menyentuh tubuh orang lain tanpa persetujuan, membiarkan terjadinya kekerasan seksual, hingga memaksa orang lain untuk berhubungan seksual.
Maraknya kasus kekerasan seksual pun telah tertuang dalam bentuk data yang cukup miris. “88 persen kasus kekerasan seksual yang telah diadukan kepada Komnas Perempuan pada tahun 2020 terjadi di lingkungan pendidikan. Bahkan dari tahun 2015 hingga 2020, universitas menjadi tempat pendidikan dengan persentase tempat kejadian kekerasan seksual tertinggi yaitu dengan angka 27%,” tegas Paula.
Mirisnya lagi, 77% dosen menyatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63% dari mereka tidak melaporkan kasus yang diketahuinya. Maka dari itu, lahirlah Permendikbud Ristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.
Berbagai mitos dan stigma yang telah tertanam pada masyarakat luas terkait kekerasan seksual dan penyalahan pada korban harus segera dipatahkan dan dituntaskan agar penegakkan akan kasus kekerasan seksual dapat direalisasikan dengan tegas.
Berikut ini terdapat tiga mitos atau fakta terkait kekerasan dan pelecehan seksual secara umum:
1. Adalah mitos bahwa kekerasan seksual tidak melulu karena pakaian;
2. Adalah fakta bahwa kekerasan seksual bisa dilakukan oleh orang yang kita kenal;
3. Adalah mitos bahwa laki-laki tidak mungkin menjadi korban pelecehan seksual.
Paula menegaskan, perguruan tinggi wajib turun tangan untuk mengedukasi khalayak umum terkait fakta-fakta terkait kasus kekerasan seksual. Bukan hanya mengedukasi, penindakan tegas dari pihak perguruan tinggi serta aparat penegak hukum menjadi hal primer yang harus direalisasikan agar perlindungan terhadap korban kekerasan seksual dapat dijamin dan dilaksanakan.
“Lahirnya Permendikbud Ristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi mendorong terciptanya dan terealisasikannya solusi untuk penanganan dan penindakan kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi,” pungkas Paula.
Bantuan informasi mengenai pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dapat diakses melalui https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/ dan juga kanal Instagram @cerdasberkarakter.kemdikbudri.
Reporter: Yoel Enrico Meiliano (Teknik Pangan, 2020)