Melihat Keindahan Dua Planet Raksasa bersama Peneliti di Observatorium Bosscha

Oleh Anggun Nindita

Editor Anggun Nindita

BANDUNG, itb.ac.id — Observatorium Bosscha kembali memanjakan penikmat dan pembelajar astronomi melalui “Pengamatan Virtual Langit Malam (PVLM)”, Sabtu (14/10/2023). Dipandu dua peneliti Observatorium Bosscha, Muhammad Yusuf dan Dhimaz G. Ramadhan, PVLM kali ini digelar dengan tema “Jelajahi Dua Raksasa: Mengintip Keindahan Jupiter dan Saturnus”.

Pengamatan dilakukan di dua tempat berbeda, yaitu dari Observatorium Bosscha di Lembang serta Universitas Nusa Cendana di Kupang. Namun karena faktor cuaca yang menyebabkan langit Lembang tertutup awan tebal, pengamatan difokuskan dari Kupang menggunakan teleskop berdiameter 20 sentimeter dengan panjang fokus 2 meter. Target pengamatan adalah planet Saturnus dan Jupiter yang sedang mengalami fase oposisi sehingga dapat terlihat jelas dari bumi.

Jupiter dan Saturnus merupakan dua planet terbesar di tata surya yang tersusun dari gas. Material gas penyusun planet menyebabkan permukaan planet selalu bergejolak sehingga memunculkan pola gelap terang pada permukaan tersebut. Satu titik dengan titik lain pada permukaan planet yang sama bisa saja memiliki kecepatan, sudut, dan arah rotasi yang berbeda.

Setelah menjelaskan tentang kesamaan dua planet tersebut, Yusuf dan Dhimaz memberikan pemahaman tentang planet Saturnus yang diamati malam itu. Saturnus merupakan planet gas raksasa yang diameternya setara dengan 9 kali diameter bumi, dengan volume 760 kali volume bumi, serta massa 95 kali massa bumi. Namun dengan ukuran sebesar itu, Saturnus hanya memerlukan waktu 10,5 jam untuk berotasi. Rotasi yang sangat cepat menyebabkan struktur Saturnus lebih kompak di Khatulistiwa sehingga bentuknya bukan bola sempurna.

   

Saturnus memiliki struktur cincin yang paling jelas terlihat dari bumi di antara planet- planet gas lain karena materialnya tersusun dari es yang dapat memantulkan cahaya matahari. Cincin Saturnus juga memiliki pola gelap terang yang disebabkan oleh perbedaan kerapatan es. Faktanya, cincin Saturnus memiliki bentangan yang sangat luas dengan ketebalan hanya 10 m saja.

“Misalkan planet Saturnus kita kecilkan seukuran 1 meter, cincinnya juga kita kecilkan dengan skala pengecilan yang sama, tebal cincinnya akan lebih tipis daripada silet,” ujar Dhimaz.

Menurut data terbaru, Saturnus memiliki 146 satelit dengan satelit terbesar bernama Titan. Yusuf dan Dhimaz menggambarkan Titan sebagai satelit dengan atmosfer yang cukup tebal dan terdapat sungai serta danau metana cair. Di permukaannya terdapat batuan serta aktivitas vulkanik yang melontarkan lava es.

Kemudian pengamatan dialihkan ke Jupiter, planet gas raksasa dengan diameter 11 kali diameter bumi serta volume 1.300 kali volume bumi. Jupiter memiliki waktu rotasi yang lebih cepat dibandingkan Saturnus, yaitu hanya sekitar 8,5 jam. Fitur gelap terang khas planet gas terlihat paling jelas di Jupiter. Di daerah perbatasan gelap terang ini terdapat friksi yang sangat sering mengakibatkan turbulensi dan badai di permukaan Jupiter. Badai paling terkenal yang selalu terlihat sejak manusia pertama kali mengarahkan teleskop ke Jupiter adalah The Great Red Spot. Disebut demikian karena badai ini terlihat seperti titik merah besar di permukaan Jupiter jika dilihat dari bumi.

   

Saturnus juga mengalami fenomena aurora sebagai hasil interaksi partikel bermuatan dari matahari (angin matahari) dengan medan magnet Jupiter. Berbeda dengan medan magnet bumi yang berasal inti bumi, medan magnet Jupiter berasal dari interaksi elektron-elektron gas hidrogen penyusunnya. Serupa dengan Saturnus, Jupiter juga memiliki cincin yang hanya dapat terlihat dengan detektor inframerah karena material penyusunnya bukan es serta strukturnya tidak terlalu masif. Selain itu, Jupiter juga memancarkan energinya sendiri yang lebih besar daripada energi yang diterimanya dari matahari. Hal ini sering menimbulkan miskonsepsi yang menganggap bahwa Jupiter adalah bintang yang gagal.

“Reaksi fusi paling tidak bisa terjadi kalau massa dari sebuah benda itu kira-kira 1/12 massa matahari. Sementara Jupiter massanya 1/1000 massa matahari, artinya dia masih terlalu jauh untuk menjadi sebuah bintang,” ujar Yusuf.

Satelit-satelit Jupiter pertama kali teramati oleh Galileo pada 400 tahun yang lalu. Dia mengamati titik-titik kecil di sekitar Jupiter yang ternyata bergerak mengelilingi planet tersebut. Dari pengamatannya ini Galileo mengambil kesimpulan bahwa bumi mengorbit sesuatu yang lebih besar darinya seperti halnya satelit-satelit yang dia amati mengorbit Jupiter, sehingga lahirlah teori heliosentris. Keempat satelit yang diamati oleh Galileo tersebut kemudian dikenal sebagai Galilean Moons yang merupakan empat satelit terbesar Jupiter, yaitu Ganymede, Europa, Io, dan Callisto.

Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2020)

Editor: M. Naufal Hafizh