Menengok Jembatan Sanggawale, Program Mahasiswa KKN ITB di Desa Parungbanteng
Oleh Maharani Rachmawati Purnomo - Mahasiswa Oseanografi, 2020
Editor Anggun Nindita
PURWAKARTA, itb.ac.id - Sulitnya akses menuju Desa Parungbanteng, Kecamatan Sukasari, Kabupaten Purwakarta masih menjadi isu yang mendesak dan membutuhkan solusi. Mobilitas warga yang mayoritas mengandalkan kendaraan bermotor roda dua, sepenuhnya akan berhenti ketika musim hujan tiba. Pasalnya, mereka harus melewati sungai dengan ketinggian air setinggi dada orang dewasa. Pada awalnya, jalan yang melintangi sungai tersebut hanya tersusun dari coran semen sederhana yang kurang memadai.
Guna mengatasi permasalahan tersebut, Kelompok 17 Kuliah Kerja Nyata Karsa Desa (KKN-D) ITB memprakarsai pembangunan jembatan penyeberangan di wilayah itu. Jembatan yang dibangun memiliki panjang total 13 meter, lebar 3,8 meter, dan bentang totalnya mencapai 5 meter. Lantai jembatannya dibuat dari air, semen, pasir, agregat, dan besi tulangan. Kolom jembatannya menggunakan pasangan batu kali yang terdiri dari mortar, yakni campuran air, semen, pasir, serta pecahan batu kali. Sementara railingnya dibangun menggunakan coran yang diintegrasikan dengan pipa galvanis.
“Kami merancang lantai jembatan dari slab dan plat injak. Plat injak ini merupakan struktur yang berada di bagian paling ujung jembatan sebagai penghubung jalan dan slab yang berada di atas permukaan sungai. Terdapat 2 kolom atau abutment yang berjarak kurang lebih 5 meter, diperkuat oleh pasangan batu kali yang menopang beban jembatan. Beban tersebut diterima oleh slab kemudian disalurkan ke tanah. Kolom ini juga berfungsi sebagai dinding penahan tanah yang dapat menjaga kestabilan tanah di sekitar jembatan untuk mencegah longsor," kata salah satu anggota kelompok 17, Muhammad Rasyid Alfiano (Teknik Sipil, 2022).
Dia pun mengungkapkan bahwa mereka telah melengkapi jembatan tersebut dengan wing wall/dinding penahan tanah (DPT) yang menyatu dengan kolom untuk mengarahkan aliran air.
Material untuk urugan harus didatangkan dari luar desa. Lokasi pembangunan yang cukup sulit dan sempit menyebabkan terhambatnya proses pengangkutan material. Meskipun menemui beberapa kendala, pembangunan jembatan tersebut berhasil rampung dalam kurun waktu 1,5 bulan. Penggalian pertamanya diawali sejak 27 Juli 2024 dan pengerjaan terakhir untuk coran plat injak selesai pada 4 September 2024.
Jembatan yang dibangun bersama masyarakat Desa Parungbanteng itu diberi nama Sanggawale. Ketua Kelompok 17, Samuel Ferris (Teknik Sipil, 2022) menyatakan Sanggawale merupakan gabungan kata dari Sanggabuana, Wangun, dan Cibule.
"Sanggabuana bermakna penahan bumi karena struktur jembatan kami banyak memanfaatkan DPT. Harapannya, jembatan ini dapat tangguh berdiri hingga akhir hayat bumi. Sedangkan Wangun dan Cibule adalah nama kampung yang dihubungkan oleh jembatan Sanggawale. Salah satu warga juga menuturkan, aspek sanggabuana menjelaskan bahwa jembatan ini berada di lereng Gunung Sanggabuana," jelasnya.
Selain pembangunan jembatan, mereka juga mengadakan perlombaan untuk menyemarakkan hari kemerdekaan Indonesia, penyuluhan terkait pembangunan dan pemeliharaan jembatan ke depannya, dan kunjungan ke SDN 02 Parungbanteng untuk sosialisasi program dan menggambar bersama. “Program pendukung kami ini menggandeng kelompok KKN dari tema lainnya yang berada di Dusun 1,” imbuh Ahmad Furqon (Rekayasa Kehutanan, 2022).
Mereka menargetkan agar keberadaan jembatan ini dapat mempermudah aktivitas masyarakat sehari-hari. Keberadaan Jembatan Sanggawale menandai perjalanan panjang ITB dalam mendukung pembangunan masyarakat lokal yang berkelanjutan.
Reporter: Maharani Rachmawati Purnomo (Oseanografi, 2020)