Pandemic in Planning: Konsep dan Implikasi pada Perencanaan Wilayah dan Perdesaan di Indonesia
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id – Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK-ITB) menyelenggarakan webinar Pandemic in Planning: Konsep dan Implikasi pada Perencanaan Wilayah dan Perdesaan di Indonesia, Kamis (16/07/2020).
Dalam webinar yang diinisiasi oleh Kelompok Keahlian Perencanaan Wilayah dan Perdesaan (KK-PWD) SAPPK-ITB, ini menghadirkan empat pembicara yaitu dr. Achmad Yurianto selaku Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Ir. Teti Armiati Argo, MES., Ph.D., Saut Sagala, Ph.D., dan Dr. Fikri Zul Fahmi, S.T., M.Sc., dari KK-PWD SAPPK ITB. Adapun sebagai moderator yaitu Prof. Ir. Djoko Santoso Abi Suroso, Ph.D.
Sebagai pembuka, Dekan SAPPK ITB Dr. Sri Maryati, S.T., MIP., menyampaikan bahwa SAPPK ITB mengadakan webinar ini dalam rangka memberikan kontribusi terhadap kondisi pandemi COVID-19 dari segi pembangunan lingkungan binaan.
Sebagai pembicara pertama, Ir. Teti Armiati Argo, MES., Ph.D., menyampaikan topik mengenai Pandemi dan Perencanaan: Sebuah Eksplorasi Menuju Pemulihan. “Dalam topik ini, kita akan membahas mengenai pandemi dalam ranah perencanaan. Tiga poin yang menjadi dasar pemikirannya adalah mengapa fenomena pandemi ini mengejutkan, bagaimana upaya dan rencana dalam menghadapi pandemi, serta apakah pandemi ini akan menjadi sebuah pembaharu dalam perencanaan di wilayah, kota, dan perdesaan?” ujarnya.
Menurutnya, poin pertama yang perlu dibahas adalah perencanaan pandemi. Titik berat dari pengurangan pandemi dapat dilakukan melalui intervensi nonfarmasi seperti penerapan protokol kesehatan, pengaturan kegiatan masyarakat yang terbatas, dan waktu yang tepat kapan protokol kesehatan dan strategi tersebut dilaksanakan.
“Prinsipnya adalah pada perencanaan saat pandemi, mengarah pada hasil apa yang diinginkan (endgame). John Daley menyebutkan ada tiga endgame: memperlandai kurva (flatten the curve), Goldilock strategy dengan mengatur jarak sosial serta eksposur berdasarkan kelompok usia, dan kekebalan massal (herd immunity),” tambah Teti.
Poin kedua adalah pendekatan pandemi sebagai bencana. Terdapat dua jenis pandangan yaitu berorientasi pada pengaturan dan berorientasi pada kesiapsiagaan. Kemudian poin ketiga yang menjadi pembahasan adalah hubungan pandemi dalam perencanaan.
“Orientasinya adalah untuk menjaga dan memfasilitasi perilaku masyarakat di ruang publik dan privat. Saat ini, dapat dilakukan pemanfaatan alat baru (tanpa sentuh), yaitu survei daring dan survei kamera. Selain itu, dapat juga dilakukan pendalaman tentang penularan penyakit dan susunan rumah/bangunan terkait arah angin, pipa air, ventilasi, dan air sebagai medium penyebaran,” ujar Teti.
Perencanaan dan kesehatan masyarakat juga dapat digunakan sebagai pendekatan, sebagai contoh yaitu perencanaan healthy city dengan mempertimbangkan bentuk perumahan cul de sac, sanitasi terpusat, pengolahan air limbah, matahari, atau rasio lahan terhadap rumah.
Selanjutnya, Saut Aritua H. Sagala, ST., M. Sc., Ph.D., membawakan topik berjudul Covid-19 Outbreak Region and Cities. Sebagai pengantar, dia menyebut tahun 2050 diprediksi bahwa 70-80% dari 9 miliar orang akan tinggal di perkotaan. Implikasinya adalah terjadi kerentanan suplai makanan, air, dan bencana, serta epidemi.
Secara khusus di Indonesia, populasi terpusat secara umum di Jawa, Jakarta, Surabaya, Bandung dan kota besar lainnya. Transmisi COVID-19 juga terpantau mencapai angka yang tinggi pada daerah tersebut. Namun perdesaan juga tetap terdampak. Terdapat relasi yang kuat antara kota dengan pedesaan maupun wilayah sekitarnya akibat terjadinya mobilitas masyarakat.
“Faktor yang memengaruhi penyakit menular yaitu kepadatan penduduk (memungkinkan penyebaran lebih cepat), infrastruktur fisik, fasilitas kesehatan dan sosial seperti rumah sakit, dan tempat sosial di mana masyarakat berkumpul (tempat ibadah, tempat interaksi, tempat bermain),” ujarnya.
Berbagai dampak negatif telah terjadi akibat dari COVID-19, di antaranya pada sektor ekonomi, stigma negatif terhadap pasien, dan perubahan mobilitas akibat penutupan jalan. Akan tetapi, terdapat dampak positif seperti kualitas udara yang menjadi lebih baik.
Pembicara ketiga adalah dr. Achmad Yurianto dengan topik Impact of COVID-19 Outbreak on Regional and Urban Development. Ia adalah juru bicara pemerintah untuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. “Kita tahu sebagian besar penduduk dunia atau Indonesia adalah orang sehat. Inti semangatnya adalah bagaimana menjaga yang sehat jangan sampai sakit. Sedangkan untuk yang sudah sakit, betul-betul harus dikendalikan agar tidak menjadi sumber penyebaran di masyarakat,” ujarnya.
Selain mencari kasus suspect positif, dr. Achmad Yurianto juga menyatakan bahwa contact tracing penting untuk mengetahui penyebaran dari COVID-19. Saat ini, kasus terbanyak adalah penularan di perkantoran. Alasannya, karena perkantoran didesain untuk menggunakan AC. Sehingga, praktis sirkulasi udara hanya berputar di ruangan.
“Sekalipun kepadatan dikurangi 50%. Fasilitas umum lainnya seperti lift dan toilet juga memiliki udara yang relatif tidak bersirkulasi. Tempat lainnya adalah rumah makan. Walaupun kapasitas kantor dikurangi 50%, jam makan tidak bisa dikurangi 50%. Karena orang secara umum memiliki jam makan yang serentak. Di sinilah kontak tidak aman sangat mungkin terjadi,” tambah Achmad.
Sejauh ini, strategi yang dilakukan pemerintah adalah menanamkan pandangan bahwa masyarakat harus menjadi objek sekaligus subjek. “Kalau objek saja: jaga jarak karena takut ditegur, tidak pakai masker karena takut denda. Dengan merubah mindset masyarakat sebagai subjek: jaga jarak dan masker karena tidak mau sakit,” tutupnya.
Pembicara terakhir adalah Dr. Fikri Zul Fahmi, S.T., M.Sc., yang membawakan topik berjudul COVID-19 dan Resiliensi Ekonomi Perdesaan. Hal yang ia bahas adalah mengenai perekonomian perdesaan yang rentan terhadap guncangan akibat akses yang kurang baik pada public service, health care, social security, pengetahuan, dan informasi. Poin lainnya adalah keterkaitan antara perkotaan dan perdesaan sehingga menyebabkan perubahan yang dinamis.
“Pada triwulan pertama di tahun 2020 dibandingkan dengan Desember 2019, pertanian menjadi komoditas yang paling tinggi. Namun jika dibandingkan dengan triwulan yang sama pada 2019, tidak terjadi perubahan signifikan. Maka dari itu, konsep bahwa pertanian menjadi sistem ekonomi utama yang bertahan dengan baik masih jadi pertanyaan,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa resiliensi bukan hanya untuk kembali ke kondisi semula. Namun, ada kemampuan absorptivitas untuk menyerap dampak yang terjadi dan digunakan untuk beradaptasi. Dalam pandemi, mitigasi serta adaptasi harus berjalan bersamaan karena perubahan dinamis yang selalu terjadi.
“Resiliensi kreatif menjadi konsep baru. Penekanan dilakukan pada knowledge creation, entrepreneurship, dan community spirit. Belajar dari Eropa, ada dua hal yang dapat dilakukan yaitu strategi kolektif (biasa berjalan secara sendiri-sendiri, sekarang merespons bersama) dan penggunaan teknologi digital untuk memasarkan, mencari ide baru, atau interaksi dengan konsumen baru. Sejauh mana digitalisasi menjadi solusi? Digitalisasi sekarang telah menjadi suatu keharusan,” ujarnya.
Reporter: Christopher Wijaya (Sains dan Teknologi Farmasi, 2016)