Pembangunan Teknologi Energi Laut sebagai Langkah Menuju Kemerdekaan Energi
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id—Melalui foto dari NOAA Nighlight Maps of Indonesia, kita bisa melihat ketidakmerataan distribusi listrik di Indonesia. Terlihat pulau Jawa sangat terang, sedangkan di bagian barat pulau Sumatera, terlihat sedikit gelap. ”Kita bisa melihat adanya disparitas antardaerah di Indonesia dalam penyaluran listrik,” ucap Dr. Ahmad Mukhlis Firdaus dari Marine Renewable Energy Oxford University dan Teknik Kelautan ITB.
Indonesia memilki potensi besar dalam pemanfaatan energi terbarukan. ”Walaupun masih berbentuk konsep, Indonesia memliki potensi besar salah satunya dalam Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC),” kutip Dr. Ahmad dari keynote speech Dr. Djoko Siswanto, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN). Di Eropa, tenaga angin lepas pantai menjadi salah satu sumber energi yang populer. Sumber energi ini diharapkan menjadi populer juga di Indonesia karena memiliki beberapa wilayah yang berpotensi untuk mengaplikasikan turbin angin lepas pantai ini.
Selat Larantuka merupakan selat penghubung pulau Flores dan pulau Adonara di Nusa Tenggara Timur. Selat ini menjadi terkenal akibat potensinya sebagai sumber tenaga listrik energi laut. Dr. Ahmad melakukan berbagai perhitungan untuk mendapatkan angka energi yang diproduksi serta biaya yang diperlukan pada proyek pembangunan jembatan 800 meter di Selat Larantuka. ”Normalnya biaya proyek berkisar 1400-3000 pound sterling per kW yang mana sepertiga dari biaya proyek Larantuka. Saya bisa katakan, proyek Larantuka agak mahal,” jelas Dr. Ahmad dari salah satu metode perhitungannya.
Selain biaya, intermiten tenaga listrik juga menjadi tantangan bukan hanya untuk Indonesia, melainkan juga untuk Eropa. Intermiten listrik bisa terjadi akibat ketergantungan pembangkit listrik terhadap kondisi lingkungan, seperti turbin angin yang bergantung pada cuaca dan kecepatan angin. Saat pasokan listrik berlebih pada kapasitas pembangkit listrik, harga listrik menjadi negatif di pasar. ”Ini berarti kita membayar orang untuk mengonsumsi listrik daripada perusahaan menerima upah atas menghasilkan listrik,” jelas Dr. Frits Bliek, CEO Ocean Grazer BV.
Solusi dari intermiten listrik ini salah satunya adalah dengan menyimpan kelebihan energi yang diproduksi ke dalam teknologi penyimpan energi untuk kemudian digunakan saat energi yang dihasilkan kurang. Dr. Frits menjelaskan cara kerja ocean battery dari Ocean Grazer BV sebagai opsi solusi atas masalah ini. Sistem ini menggunakan konsep penyimpan energi hidro yang dipompa. Sistem diletakkan pada dasar laut sehingga bendungan besar tidak perlu dibuat untuk menahan air.
Prof. Mukhtasor, Ketua Asosiasi Energi Laut Indonesia (ASELI), menjelaskan kita harus memerhatikan bahwa pengembangan energi laut bukan semata-mata hanya sebagai komoditas melainkan sebuah kolaborasi.
”Ini bukan hanya mengenai investasi tetapi kita bisa melakukannya dengan cerdas sehingga kita bisa mendapatkan kedaulatan dan kemerdekaan energi,” kutip Raymon Ferdiansyah, Ketua Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung Komisariat Belanda (IA-ITB NL) sebagai moderator pada webinar kali ini, usai pemaparan Prof. Mukhtasor.
Reporter: Amalia Wahyu Utami (TPB FTI, 2020)