Pendapat Pakar ITB Soal Kerusakan Jalan Bandung
Oleh Nofri Andis
Editor Nofri Andis
BANDUNG, itb.ac.id - Bulan Mei Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung mulai merealisasikan janjinya memperbaiki jalan kota yang rusak. Di daerah Setiabudhi lubang-lubang jalan mulai ditambal. Permasalahannya adalah jalan di kota Bandung cepat sekali kembali rusak. Jalan Sumur Bandung misalnya, dua tahun lalu jalan ini masih mulus. Namun sekarang, jalan ini seperti sudah tidak layak dilewati. Apakah ada kesalahan dalam pengerjaannya? Bagaimana cara pengerjaan jalan yang baik? Dan apa saja penyebab kerusakan jalan? Berikut bincang-bincang Kantor Berita dengan Sony Sulaksono Wibowo, Ph.D, dosen dari Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung.
Apa saja faktor penyebab kerusakan jalan?
Banyak. Sebagaimana konstruksi lainnya, secara teori, jalan rusak karena beban. Kerusakan jalan agak bebrbeda dengan kerusakan bangunan sipil lainnya, seperti jembatan. Pada jembatan, misalnya, jika dibebankan dengan beban yang lebih besar dari batas maksimum, maka jembatan akan langsung ambruk. Pada jalan, kerusakan disebabkan repitisi atau pengulangan beban. Artinya beban kendaraan berat sekali lewat mungkin tidak akan menyebabkan kerusakan jalan. Tetapi jika terus menerus jalan akan mengalami kerusakan. Artinya kerusakan jalan adalah disebabkan oleh 'kelelahan' akibat beban berulang.
Hampir semua jalan di kota Bandung menggunakan campuran agregat (batu pecah) dan aspal. Musuh utama aspal adalah air, karena air bisa melonggarkan ikatan antara agregat dengan aspal. Kerusakan yang umum terjadi di jalan-jalan dalam kota adalah adanya air yang menggenangi permukaan jalan. Pada saat ikatan aspal dan agregat longgar karena air, kendaraan yang lewat akan memberi beban yang akan merusak ikatan tersebut dan permukaan jalan pada akhirnya. Tipikal kerusakan karena pengaruh air adalah lubang. Sekali lubang terbentuk maka air akan tertampung di dalamnya sehingga dalam hitungan minggu lubang yang semua kecil dapat membesar dengan cepat. Itulah sebabnya kerusakan jalan sering dikatakan bersifat eksponensial.
Ketika ikatannya longgar pun, sebenarnya tidak masalah kalau tidak ada beban. Namun, ketika ikatannya longgar lalu ada kendaraan lewat, inilah yang mengawali kerusakan. Awalnya muncul lubang kecil. Air kemudian masuk lagi ke lubang tersebut. Akhirnya, lobang yang kecil tadi semakin membesar. Hubungan kerusakan jalan terhadap waktu terjadi secara eksponensial.
Sebenarnya, ketika jalan didesain, ia harus kuat terhadap beban lalu lintas. Umur rencana lima tahun umumnya diterapkan untuk jalan baru. Jalan yang rusak karena beban biasanya bercirikan retak dan kadang disertai dengan amblas.
Bagaimana kalau volume kendaraan yang lewat di atas jalan itu banyak?
Tadi dikatakan bahwa beban jalan adalah berupa beban repitisi atau pengulangan. Tapi kita tahu bahwa jenis kendaraan di jalan sangat beragam dan memberi beban yang berbeda pada kendaraan. Berat kendaraan dan muatannya ditransfer ke jalan melalui sumbu roda. Beban sumbu roda inilah yang diperhitungan sebagai beban. Setiap beban sumbu memberi konstribusi kerusakan yang berbeda.
Biasanya tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh satu beban sumbu lewat dikonversikan sebagai tingkat kerusakan akibat beban sumbu yang dianggap standar lewat. Konversi kerusakan tersebut dinyatakan dalam rumusan umum sebagai (x/8,16 ton)^4, di mana x adalah beban sumbu. Sebagai contoh, sebuah truk dengan dua sumbu, dimana beban sumbu depan dan belakang adalah 3 ton dan 5 ton memiliki tingkat kerusakan sebesar {(3/8,16)^4 + (5/8,16)^4} atau 0,16 kali. Berat mobil penumpang dengan penumpangnya biasanya diperhitungkan sebesar 2 ton, dengan beban sumbu depan dan belakang masing-masing 1 ton. Tingkat kerusakan yang ditimbulkan adalah hanya sebesar 0,00045. Artinya perlu ada 2000an kendaraan penumpang untuk memberikan nilai kerusakan satu kali beban sumbu standar.
Dengan demikian, dapat dikatakan jumlah mobil penumpang yang sangat banyak sebenarnya tidak memberi konstribusi kerusakan yang signifikan terhadap jalan. Yang memberikan adalah jenis-jenis kendaraan dengan beban sumbu di atas 8 ton, seperti truk-truk besar dan truk-truk kontainer.
Jalan-jalan dalam kota jarang sekali dilewati kendaraan berat. Namun, mengapa kerusakan tetap terjadi?
OK lah kalau kita berbicara jalan Soekarno-Hatta atau jalan di dekat gerbang tol. Di sana memang banyak truk-truk besar yang melintas. Wajar jalan di sana banyak rusak. Tapi kalau jalan-jalan yang di dalam kota, seperti di Dago, jarang sekali truk besar lewat. Namun, kenapa jalan di dalam kota Bandung tetap rusak? Berarti kesalahannya bukan karena beban. Volume lalu lintas kendaraan penumpang yang tinggi pun tidak akan menyebabkan jalan lalu lintas rusak secara signifikan. Berarti ada penyebab kerusakan yang bukan karena beban. Permasalahan yang paling mungkin adalah karena kinerja jalannya, kualitas jalannya.
Kalau sudah berbicara soal kualitas jalan, ada banyak yang bisa dibahas. Bisa karena aspalnya tipis, agregatnya jelek, pembuatannya yang tidak benar, dan segala macam, banyak sekali. Kesalahan yang paling medasar dan paling sering ditemui di lapangan adalah kualitas pekerjaan jalan. Salah satu contohnya adalah pembuatan jalan dengan hotmix, yaitu pencampuran antara agregat dan aspal yang dilakukan dalam suhu tinggi (biasanya sekitar 140 derjat C). Jenis campuran ini cukup banyak dipakai untuk pembangunan dan perbaikan jalan di dalam kota karena kecepatannya untuk bisa digunakan lalu lintas. Hanya dalam waktu dua jam jalan yang menggunakan hotmix sudah dapat langsung dibuka.
Salah satu titik kritis dari proses konstruksi dengan hotmix ini adalah suhu pada saat dihamparkan dan dipadatkan. Suhu tersebut harus cukup panas agar tercapai kepadatan jalan sesuai yang direncanakan.
Berapa panas?
Secara teori harus di atas 100-an. Namun, kenyataan sekarang adalah, jarang sekali yang melakukan seperti itu. Nah, kalau tidak dilakukan seperti itu, kepadatannya jadi kurang dan jalan akan mudah retak walau hanya dilewati kendaraan ringan. Akibatnya, air mudah masuk ke celah-celah permukaan.
Kalau sudah ada agregat, kemudian ikatan aspal dengan agregat sudah lemah, daya rusak mobil kecil pun akan berpengaruh. Untuk jalan dengan ikatan agregat aspalnya kuat, mobil kecil tidak masalah. Beban 6 ton pun tidak masalah. Tapi kalau ikatannya tidak kuat, satu ton pun menjadi masalah. Jadi sekarang inti masalahnya adalah performa jalannya yang tidak begitu bagus.
Masalah performa jalan berarti terkait dengan proses pembuatan jalan?
Kalau saya pribadi mengamati itu karena pekerjaannya yang tidak bagus. Cara pengerjaannya yang tidak bagus, bukan desain. Kalau desain jelas, tidak mungkin tidak bagus. Kalau desain tidak bagus pasti ditolak, karena ada spesifikasinya. Lagipula safety factor dalam desain jalan pun sebenarnya cukup tinggi. Untuk pekerjaan pembangunan jalan tidak mudah memang mengkontrolnya. Jarang sekali seorang pengawas jalan mau memeriksa setiap senti jalan.
Kembali lagi, di Bandung, kualitas pekerjaan, khususnya perbaikan jalan, dan air menjadi penyebab utama kerusakan jalan yang cukup parah. Jalan di Bandung rusak karena kualitasnya kurang baik dan air yang memperparah.
Maksud Anda?
Kenapa drainase jalan itu tidak sanggup menampung air? Drainase jalan itu dibuat untuk menampung air yang jatuh ke permukaan jalan. Agar air tidak menggenang di jalan, air harus dibuang. Air tersebut ditampung di drainase jalan.
Namun di Bandung, dan umumnya di kota-kota di Indonesia, drainase pinggir jalan itu bukan saluran untuk mengeringkan jalan saja tapi juga saluran air kotor dari pemukiman penduduk di sepanjang jalan. Rumah dan kantor, bahkan komplek perumahan membuang air - dan juga sampah - pada saluran drainase jalan yang ada.
Jadi, walaupun ada drainase, tapi tidak dirawat. Akibatnya, ketika hujan banyak sekali jalan di Bandung banjir. Pada saat banjir, kendaraan tetap melintas, ini menyebabkan kerusakan.
Potensi kerusakan jalan di Bandung jauh lebih besar pada saat kondisi basah dibandingkan pada kondisi kering. Ini lah permasalahannya jalan di kota Bandung yang banyak rusak. Karena air sering tidak terakomodasi dan menggenangi banyak segmen jalan.
Saluran air itu bagian dari jalan sebenarnya. Tapi untuk kota, biasanya saluran pinggir jalan juga menjadi saluran perumahan dan saluran pembuangan.
Apakah solusinya dengan memisahkan kedua saluran tersebut?
Dipisah antara saluran drainase jalan dan saluran pembuangan air kotor pemukiman mungkin sulit diterapkan karena selain keterbatasan juga umumnya masalah tersebut terjadi pada daerah terbangun yang cukup padat. Untuk desain pembanguan drainase jalan atau perbaikan drainase jalan perlu memperhatikan kondisi tata guna lahan disekitarnya. Konsekuensinya jika melakukan perbaikan drainase jalan di kawasan padat, perlu dipertimbangkan untuk membuat yang lebih dalam, termasuk sistem inlet-nya untuk mereduksi aliran sampah ikut masuk ke dalam drainase.
Berapa standar ketebalan aspal?
Sebenarnya tebal lapisan jalan itu tergantung rencana volume kendaraan yang akan melewati jalan. Semakin banyak kendaraan, semakin tebal jalannya. Angka idealnya tidak ada. Bisa 20cm, 30cm, berbeda-beda. Tidak ada batasan.
Di Bandung rata-rata sudah di atas 30cm semua. Tapi tetap rusak. Ya karena yang tadi, karena permukaannya tidak cukup menahan inflitasi atau masuknya air ke dalam struktur jalan.
Bagaimana kita tahu jalan tersebut rusak karena air?
Tipikal kerusakan karena kualitas dan diperparah oleh air adalah terjadinya tidak menerus, hanya berupa spot-spot saja. Kalau karena beban, cenderung terjadinya menerus dan bahkan bisa sepanjang jalan. Yang banyak ditemui di jalan-jalan kota Bandung adalah lubang tidak terlalu lebar tapi dalam. Ini salah satu contoh kerusakan jalan karena kualitas jalan yang buruk dan diperparah oleh air, khususnya air yang menggenang.
Apakah struktur tanah juga memengaruhi kerusakan jalan?
Ya, struktur tanah mempengaruhi. Kalau daerah dimana jalan-jalan yang baru dibuka, kerusakan karena struktur tanah cukup dominan. Pada jalan-jalan baru lingkungan atau perumahan yang sebelumnya adalah daerah sawah atau kebun, jalan komplek perumahan ini sering retak bahkan amblas.
Tapi kalau daerah yang sudah lama dipakai untuk jalan, seperti jalan-jalan utama kota Bandung, biasanya struktur tanahnya sudah stabil. Jalan-jalan di kota bandung relatif sudah stabil. Kita jarang melihat jalan di bandung amblas, kan? kalau pun ada, itu karena ada gorong-gorong di bawahnya, kerjaan jaman Belanda dulu. Untuk jalan di bandung, struktur tanah tidak terlalu memengaruhi. Tapi untuk jalan-jalan di luar kota atau perumahan, masih terpengaruh.
Sekarang penambalan jalan di Bandung mulai dilakukan. Bagaimana cara penambalan yang baik agar tidak terjadi kerusakan di titik yang sama?
Ketika jalan berlubang, penyelesaiannya adalah dengan ditambal. Namun, kemudian tempat bekas tambalan tersebut rusak kembali. Apa yang salah di sana?
Penambalan adalah salah satu perbaikan yang mesti dilakukan. Lubang pasti ditambal. Cuma masalahnya sekarang adalah cara menambalnya.
Untuk penambalan lubang, biasanya lubang dibentuk kotak terlebih dahulu, dirapikan, dan dibersihkan. Kemudian diberi aspal cair sebagai perekat agar aspal yang di atasnya bisa merekat dengan aspal yang lama. Nah, pada tahapan-tahapan ini kadang-kadang ada item-item perkerjaan yang penting yang suka terlupakan. Misalnya, memberi perekat kebanyakan atau terlalu sedikit, kemudian langsung dihamparkan dengan aspal, atau aspal yang dihamparkan kurang panas. Atau juga saat dipadatkan mungkin saja komposisi aspal dengan agregatnya kurang. Akibatnya, jalan yang ditambal tersebut masih ada pori-pori yang air bisa masuk kembali.
Hal-hal sederhana ini kadang kurang diperhatikan padahal ini berakibat signifikan pada kinerja jalan.
Misal terjadi seperti ini, baru setahun setelah diperbaiki, jalan rusak kembali. Kita tidak bisa menyalahkan lalu lintas yang padat. Kita juga tidak bisa menyalahkan hujan. Kalau desain benar, enggak ada cerita jalan dalam satu tahun rusak karena semua jalan didesain minimal untuk lima tahun. Kalau ada kerusakan dalam satu tahun atau dua tahun, berarti proses konstruksi yang salah atau kualitas materialnya yang buruk atau bahkan kedua-duanya.
Lalu lintas pada jalan sebelum dan setelah perbaikan pasti biasanya ada perbedaan. Katakanlah saat jalan tersebut rusak parah, orang menghindari jalan tersebut. Pada saat jalan selesai diperbaiki, orang kembali menggunakan jalan tersebut. Artinya ada peningkatan lalu lintas setelah jalan selesai diperbaiki. Tapi perlu diingat jumlah kendaraan penumpang yang cukup banyak sebenarnya tidak memberikan beban signifikan pada konstruksi jalan. Artinya jalan yang sudah diperbaiki tapi rusak lagi tidak sampai satu tahun sementara itu tidak ada perubahan lalu lintas yang signifikan (hanya nambah macet tapi tetap jarang bus atau truk) maka kemungkinan besar rusak tersebut disebabkan oleh kualitas pekerjaan atau material jalan atau keduanya, bukan karena beban.
Sekarang jalan-jalan baru dibuat dari bahan beton.
Untuk mengatasi masalah air, memang akhirnya solusinya dengan beton. Musuh utama aspal adalah air, sedangkan air buat beton adalah teman. Dengan air, semen bisa mengeras dan merekat. Kalau di Sipil, ada istilah proses pematangan semen bereaksi dengan air sehingga menjadi beton yang kuat. Proses ini secara konvensional memerlukan waktu dua minggu lebih. Jadi pada selama itu, beton itu harus dalam keadaan basah, agar proses pematangannya baik. Kalau airnya kurang, kekuatan beton menjadi kurang.
Untuk jalan-jalan yang sering kebanjiran, solusinya adalah menggunakan jalan beton. Walaupun menurut saya pribadi itu ironis. Kenapa bukan sistem drainasenya yang diperbaiki, tapi malah jalannya yang dibeton. Perbaikan drainase, selain membuat jalan menjadi lebih awet juga membuat lingkungan menjadi bebas banjir. Jalan dibeton memang jadi awet tapi tetap saja kebanjiran. Ironi kan?
Sebenarnya dengan memperbaiki sistem drainase banjirnya bisa hilang, jalannya tetap baik. Ini lebih baik. Tapi mungkin pemerintah punya pendapat yang lain ya. Untuk masalah drainase ini bukan tanggung jawab bina marga. Di situ ada dinas pengairan, tata kota, dan lain-lain. Artinya, untuk urusan drainase di kota itu sudah urusan multi-instansi. Nah, kalau sudah banyak yang terkait seperti ini susah. Kelemahan birokrasi kita adalah masalah koordinasi antar instansi.
Kalau kita tinjau lagi, beton itu bagus, tahan banjir, bahkan relatif murah biaya pemeliharaannya. Lamanya proses pembuatan jalan dengan beton menjadi masalah, khususnya di jalan-jalan di kota padat seperti Bandung ini.
Pembuatan jalan menggunakan aspal mulai dari penghamparan sampai siap untuk dilewati kendaraan hanya membutuhkan waktu sekitar dua-tiga jam. Tapi kalau jalan beton, normalnya secara teori dapat lebih dari dua minggu. Penambahan zat adiktif pada beton agar prosesnya berjalan lebih cepat pun hanya mempercepat satu minggu. Akibatnya, selama itu jalan akan ditutup. Macet akan bertambah. Inilah kendalanya. Jadi untuk betonisasi, pemda harus mikir dua kali juga. Jangan sampai ada social cost akibat kemacetan yang bertambah karena penutupan jalan dan pengalihan lalu lintas.
Jadi, kembali lagi. Mengapa bukan penyebab kerusakan jalan yang diperbaiki, yaitu perbaikan drainase jalan dan ditingkatkan kontrol kualitas pekerjaan dan material.
Bisakah aspal yang berlubang ditambal dengan beton?
Bisa saja. Namun harus diingat, beton membutuhkan air untuk pematangannya, sedangkan air bisa membuat ikatan aspal menjadi longgar. Kita tidak bisa sembarangan membersihkan lubang lalu di beton. Teknisnya adalah bentuk lubang menjadi kotak agar mudah mengontrol materialnya. Lalu lapisi agar bersifat impermiabel (tidak tembus air). Kemudian baru ditambal dengan beton.
Biasanya disambungan antara aspal dan beton ini akan ada lubang-lubang yang berpotensi menjebak air. Hal ini perlu juga diperhatikan karena dapat berpotensi terjadi lubang.
Hal yang sekarang yang salah dilakukan adalah menambal lubang jalan dengan tanah atau bahkan sampah. Secara visual memang membuat jalan menjadi rata tetapi secara struktural itu tidak ada artinya, bahkan sebenarnya membuat jalan menjadi kotor jika turun hujan. Bahkan tanah memiliki daya serap air yang lebih besar. Jadi tambalan tanah bisa seperti tambahan spon pada lubang jalan yang menyerap air lebih banyak sehingga jalan akan semakin bertambah rusak.
Banyak. Sebagaimana konstruksi lainnya, secara teori, jalan rusak karena beban. Kerusakan jalan agak bebrbeda dengan kerusakan bangunan sipil lainnya, seperti jembatan. Pada jembatan, misalnya, jika dibebankan dengan beban yang lebih besar dari batas maksimum, maka jembatan akan langsung ambruk. Pada jalan, kerusakan disebabkan repitisi atau pengulangan beban. Artinya beban kendaraan berat sekali lewat mungkin tidak akan menyebabkan kerusakan jalan. Tetapi jika terus menerus jalan akan mengalami kerusakan. Artinya kerusakan jalan adalah disebabkan oleh 'kelelahan' akibat beban berulang.
Hampir semua jalan di kota Bandung menggunakan campuran agregat (batu pecah) dan aspal. Musuh utama aspal adalah air, karena air bisa melonggarkan ikatan antara agregat dengan aspal. Kerusakan yang umum terjadi di jalan-jalan dalam kota adalah adanya air yang menggenangi permukaan jalan. Pada saat ikatan aspal dan agregat longgar karena air, kendaraan yang lewat akan memberi beban yang akan merusak ikatan tersebut dan permukaan jalan pada akhirnya. Tipikal kerusakan karena pengaruh air adalah lubang. Sekali lubang terbentuk maka air akan tertampung di dalamnya sehingga dalam hitungan minggu lubang yang semua kecil dapat membesar dengan cepat. Itulah sebabnya kerusakan jalan sering dikatakan bersifat eksponensial.
Ketika ikatannya longgar pun, sebenarnya tidak masalah kalau tidak ada beban. Namun, ketika ikatannya longgar lalu ada kendaraan lewat, inilah yang mengawali kerusakan. Awalnya muncul lubang kecil. Air kemudian masuk lagi ke lubang tersebut. Akhirnya, lobang yang kecil tadi semakin membesar. Hubungan kerusakan jalan terhadap waktu terjadi secara eksponensial.
Sebenarnya, ketika jalan didesain, ia harus kuat terhadap beban lalu lintas. Umur rencana lima tahun umumnya diterapkan untuk jalan baru. Jalan yang rusak karena beban biasanya bercirikan retak dan kadang disertai dengan amblas.
Bagaimana kalau volume kendaraan yang lewat di atas jalan itu banyak?
Tadi dikatakan bahwa beban jalan adalah berupa beban repitisi atau pengulangan. Tapi kita tahu bahwa jenis kendaraan di jalan sangat beragam dan memberi beban yang berbeda pada kendaraan. Berat kendaraan dan muatannya ditransfer ke jalan melalui sumbu roda. Beban sumbu roda inilah yang diperhitungan sebagai beban. Setiap beban sumbu memberi konstribusi kerusakan yang berbeda.
Biasanya tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh satu beban sumbu lewat dikonversikan sebagai tingkat kerusakan akibat beban sumbu yang dianggap standar lewat. Konversi kerusakan tersebut dinyatakan dalam rumusan umum sebagai (x/8,16 ton)^4, di mana x adalah beban sumbu. Sebagai contoh, sebuah truk dengan dua sumbu, dimana beban sumbu depan dan belakang adalah 3 ton dan 5 ton memiliki tingkat kerusakan sebesar {(3/8,16)^4 + (5/8,16)^4} atau 0,16 kali. Berat mobil penumpang dengan penumpangnya biasanya diperhitungkan sebesar 2 ton, dengan beban sumbu depan dan belakang masing-masing 1 ton. Tingkat kerusakan yang ditimbulkan adalah hanya sebesar 0,00045. Artinya perlu ada 2000an kendaraan penumpang untuk memberikan nilai kerusakan satu kali beban sumbu standar.
Dengan demikian, dapat dikatakan jumlah mobil penumpang yang sangat banyak sebenarnya tidak memberi konstribusi kerusakan yang signifikan terhadap jalan. Yang memberikan adalah jenis-jenis kendaraan dengan beban sumbu di atas 8 ton, seperti truk-truk besar dan truk-truk kontainer.
Jalan-jalan dalam kota jarang sekali dilewati kendaraan berat. Namun, mengapa kerusakan tetap terjadi?
OK lah kalau kita berbicara jalan Soekarno-Hatta atau jalan di dekat gerbang tol. Di sana memang banyak truk-truk besar yang melintas. Wajar jalan di sana banyak rusak. Tapi kalau jalan-jalan yang di dalam kota, seperti di Dago, jarang sekali truk besar lewat. Namun, kenapa jalan di dalam kota Bandung tetap rusak? Berarti kesalahannya bukan karena beban. Volume lalu lintas kendaraan penumpang yang tinggi pun tidak akan menyebabkan jalan lalu lintas rusak secara signifikan. Berarti ada penyebab kerusakan yang bukan karena beban. Permasalahan yang paling mungkin adalah karena kinerja jalannya, kualitas jalannya.
Kalau sudah berbicara soal kualitas jalan, ada banyak yang bisa dibahas. Bisa karena aspalnya tipis, agregatnya jelek, pembuatannya yang tidak benar, dan segala macam, banyak sekali. Kesalahan yang paling medasar dan paling sering ditemui di lapangan adalah kualitas pekerjaan jalan. Salah satu contohnya adalah pembuatan jalan dengan hotmix, yaitu pencampuran antara agregat dan aspal yang dilakukan dalam suhu tinggi (biasanya sekitar 140 derjat C). Jenis campuran ini cukup banyak dipakai untuk pembangunan dan perbaikan jalan di dalam kota karena kecepatannya untuk bisa digunakan lalu lintas. Hanya dalam waktu dua jam jalan yang menggunakan hotmix sudah dapat langsung dibuka.
Salah satu titik kritis dari proses konstruksi dengan hotmix ini adalah suhu pada saat dihamparkan dan dipadatkan. Suhu tersebut harus cukup panas agar tercapai kepadatan jalan sesuai yang direncanakan.
Berapa panas?
Secara teori harus di atas 100-an. Namun, kenyataan sekarang adalah, jarang sekali yang melakukan seperti itu. Nah, kalau tidak dilakukan seperti itu, kepadatannya jadi kurang dan jalan akan mudah retak walau hanya dilewati kendaraan ringan. Akibatnya, air mudah masuk ke celah-celah permukaan.
Kalau sudah ada agregat, kemudian ikatan aspal dengan agregat sudah lemah, daya rusak mobil kecil pun akan berpengaruh. Untuk jalan dengan ikatan agregat aspalnya kuat, mobil kecil tidak masalah. Beban 6 ton pun tidak masalah. Tapi kalau ikatannya tidak kuat, satu ton pun menjadi masalah. Jadi sekarang inti masalahnya adalah performa jalannya yang tidak begitu bagus.
Masalah performa jalan berarti terkait dengan proses pembuatan jalan?
Kalau saya pribadi mengamati itu karena pekerjaannya yang tidak bagus. Cara pengerjaannya yang tidak bagus, bukan desain. Kalau desain jelas, tidak mungkin tidak bagus. Kalau desain tidak bagus pasti ditolak, karena ada spesifikasinya. Lagipula safety factor dalam desain jalan pun sebenarnya cukup tinggi. Untuk pekerjaan pembangunan jalan tidak mudah memang mengkontrolnya. Jarang sekali seorang pengawas jalan mau memeriksa setiap senti jalan.
Kembali lagi, di Bandung, kualitas pekerjaan, khususnya perbaikan jalan, dan air menjadi penyebab utama kerusakan jalan yang cukup parah. Jalan di Bandung rusak karena kualitasnya kurang baik dan air yang memperparah.
Maksud Anda?
Kenapa drainase jalan itu tidak sanggup menampung air? Drainase jalan itu dibuat untuk menampung air yang jatuh ke permukaan jalan. Agar air tidak menggenang di jalan, air harus dibuang. Air tersebut ditampung di drainase jalan.
Namun di Bandung, dan umumnya di kota-kota di Indonesia, drainase pinggir jalan itu bukan saluran untuk mengeringkan jalan saja tapi juga saluran air kotor dari pemukiman penduduk di sepanjang jalan. Rumah dan kantor, bahkan komplek perumahan membuang air - dan juga sampah - pada saluran drainase jalan yang ada.
Jadi, walaupun ada drainase, tapi tidak dirawat. Akibatnya, ketika hujan banyak sekali jalan di Bandung banjir. Pada saat banjir, kendaraan tetap melintas, ini menyebabkan kerusakan.
Potensi kerusakan jalan di Bandung jauh lebih besar pada saat kondisi basah dibandingkan pada kondisi kering. Ini lah permasalahannya jalan di kota Bandung yang banyak rusak. Karena air sering tidak terakomodasi dan menggenangi banyak segmen jalan.
Saluran air itu bagian dari jalan sebenarnya. Tapi untuk kota, biasanya saluran pinggir jalan juga menjadi saluran perumahan dan saluran pembuangan.
Apakah solusinya dengan memisahkan kedua saluran tersebut?
Dipisah antara saluran drainase jalan dan saluran pembuangan air kotor pemukiman mungkin sulit diterapkan karena selain keterbatasan juga umumnya masalah tersebut terjadi pada daerah terbangun yang cukup padat. Untuk desain pembanguan drainase jalan atau perbaikan drainase jalan perlu memperhatikan kondisi tata guna lahan disekitarnya. Konsekuensinya jika melakukan perbaikan drainase jalan di kawasan padat, perlu dipertimbangkan untuk membuat yang lebih dalam, termasuk sistem inlet-nya untuk mereduksi aliran sampah ikut masuk ke dalam drainase.
Berapa standar ketebalan aspal?
Sebenarnya tebal lapisan jalan itu tergantung rencana volume kendaraan yang akan melewati jalan. Semakin banyak kendaraan, semakin tebal jalannya. Angka idealnya tidak ada. Bisa 20cm, 30cm, berbeda-beda. Tidak ada batasan.
Di Bandung rata-rata sudah di atas 30cm semua. Tapi tetap rusak. Ya karena yang tadi, karena permukaannya tidak cukup menahan inflitasi atau masuknya air ke dalam struktur jalan.
Bagaimana kita tahu jalan tersebut rusak karena air?
Tipikal kerusakan karena kualitas dan diperparah oleh air adalah terjadinya tidak menerus, hanya berupa spot-spot saja. Kalau karena beban, cenderung terjadinya menerus dan bahkan bisa sepanjang jalan. Yang banyak ditemui di jalan-jalan kota Bandung adalah lubang tidak terlalu lebar tapi dalam. Ini salah satu contoh kerusakan jalan karena kualitas jalan yang buruk dan diperparah oleh air, khususnya air yang menggenang.
Apakah struktur tanah juga memengaruhi kerusakan jalan?
Ya, struktur tanah mempengaruhi. Kalau daerah dimana jalan-jalan yang baru dibuka, kerusakan karena struktur tanah cukup dominan. Pada jalan-jalan baru lingkungan atau perumahan yang sebelumnya adalah daerah sawah atau kebun, jalan komplek perumahan ini sering retak bahkan amblas.
Tapi kalau daerah yang sudah lama dipakai untuk jalan, seperti jalan-jalan utama kota Bandung, biasanya struktur tanahnya sudah stabil. Jalan-jalan di kota bandung relatif sudah stabil. Kita jarang melihat jalan di bandung amblas, kan? kalau pun ada, itu karena ada gorong-gorong di bawahnya, kerjaan jaman Belanda dulu. Untuk jalan di bandung, struktur tanah tidak terlalu memengaruhi. Tapi untuk jalan-jalan di luar kota atau perumahan, masih terpengaruh.
Sekarang penambalan jalan di Bandung mulai dilakukan. Bagaimana cara penambalan yang baik agar tidak terjadi kerusakan di titik yang sama?
Ketika jalan berlubang, penyelesaiannya adalah dengan ditambal. Namun, kemudian tempat bekas tambalan tersebut rusak kembali. Apa yang salah di sana?
Penambalan adalah salah satu perbaikan yang mesti dilakukan. Lubang pasti ditambal. Cuma masalahnya sekarang adalah cara menambalnya.
Untuk penambalan lubang, biasanya lubang dibentuk kotak terlebih dahulu, dirapikan, dan dibersihkan. Kemudian diberi aspal cair sebagai perekat agar aspal yang di atasnya bisa merekat dengan aspal yang lama. Nah, pada tahapan-tahapan ini kadang-kadang ada item-item perkerjaan yang penting yang suka terlupakan. Misalnya, memberi perekat kebanyakan atau terlalu sedikit, kemudian langsung dihamparkan dengan aspal, atau aspal yang dihamparkan kurang panas. Atau juga saat dipadatkan mungkin saja komposisi aspal dengan agregatnya kurang. Akibatnya, jalan yang ditambal tersebut masih ada pori-pori yang air bisa masuk kembali.
Hal-hal sederhana ini kadang kurang diperhatikan padahal ini berakibat signifikan pada kinerja jalan.
Misal terjadi seperti ini, baru setahun setelah diperbaiki, jalan rusak kembali. Kita tidak bisa menyalahkan lalu lintas yang padat. Kita juga tidak bisa menyalahkan hujan. Kalau desain benar, enggak ada cerita jalan dalam satu tahun rusak karena semua jalan didesain minimal untuk lima tahun. Kalau ada kerusakan dalam satu tahun atau dua tahun, berarti proses konstruksi yang salah atau kualitas materialnya yang buruk atau bahkan kedua-duanya.
Lalu lintas pada jalan sebelum dan setelah perbaikan pasti biasanya ada perbedaan. Katakanlah saat jalan tersebut rusak parah, orang menghindari jalan tersebut. Pada saat jalan selesai diperbaiki, orang kembali menggunakan jalan tersebut. Artinya ada peningkatan lalu lintas setelah jalan selesai diperbaiki. Tapi perlu diingat jumlah kendaraan penumpang yang cukup banyak sebenarnya tidak memberikan beban signifikan pada konstruksi jalan. Artinya jalan yang sudah diperbaiki tapi rusak lagi tidak sampai satu tahun sementara itu tidak ada perubahan lalu lintas yang signifikan (hanya nambah macet tapi tetap jarang bus atau truk) maka kemungkinan besar rusak tersebut disebabkan oleh kualitas pekerjaan atau material jalan atau keduanya, bukan karena beban.
Sekarang jalan-jalan baru dibuat dari bahan beton.
Untuk mengatasi masalah air, memang akhirnya solusinya dengan beton. Musuh utama aspal adalah air, sedangkan air buat beton adalah teman. Dengan air, semen bisa mengeras dan merekat. Kalau di Sipil, ada istilah proses pematangan semen bereaksi dengan air sehingga menjadi beton yang kuat. Proses ini secara konvensional memerlukan waktu dua minggu lebih. Jadi pada selama itu, beton itu harus dalam keadaan basah, agar proses pematangannya baik. Kalau airnya kurang, kekuatan beton menjadi kurang.
Untuk jalan-jalan yang sering kebanjiran, solusinya adalah menggunakan jalan beton. Walaupun menurut saya pribadi itu ironis. Kenapa bukan sistem drainasenya yang diperbaiki, tapi malah jalannya yang dibeton. Perbaikan drainase, selain membuat jalan menjadi lebih awet juga membuat lingkungan menjadi bebas banjir. Jalan dibeton memang jadi awet tapi tetap saja kebanjiran. Ironi kan?
Sebenarnya dengan memperbaiki sistem drainase banjirnya bisa hilang, jalannya tetap baik. Ini lebih baik. Tapi mungkin pemerintah punya pendapat yang lain ya. Untuk masalah drainase ini bukan tanggung jawab bina marga. Di situ ada dinas pengairan, tata kota, dan lain-lain. Artinya, untuk urusan drainase di kota itu sudah urusan multi-instansi. Nah, kalau sudah banyak yang terkait seperti ini susah. Kelemahan birokrasi kita adalah masalah koordinasi antar instansi.
Kalau kita tinjau lagi, beton itu bagus, tahan banjir, bahkan relatif murah biaya pemeliharaannya. Lamanya proses pembuatan jalan dengan beton menjadi masalah, khususnya di jalan-jalan di kota padat seperti Bandung ini.
Pembuatan jalan menggunakan aspal mulai dari penghamparan sampai siap untuk dilewati kendaraan hanya membutuhkan waktu sekitar dua-tiga jam. Tapi kalau jalan beton, normalnya secara teori dapat lebih dari dua minggu. Penambahan zat adiktif pada beton agar prosesnya berjalan lebih cepat pun hanya mempercepat satu minggu. Akibatnya, selama itu jalan akan ditutup. Macet akan bertambah. Inilah kendalanya. Jadi untuk betonisasi, pemda harus mikir dua kali juga. Jangan sampai ada social cost akibat kemacetan yang bertambah karena penutupan jalan dan pengalihan lalu lintas.
Jadi, kembali lagi. Mengapa bukan penyebab kerusakan jalan yang diperbaiki, yaitu perbaikan drainase jalan dan ditingkatkan kontrol kualitas pekerjaan dan material.
Bisakah aspal yang berlubang ditambal dengan beton?
Bisa saja. Namun harus diingat, beton membutuhkan air untuk pematangannya, sedangkan air bisa membuat ikatan aspal menjadi longgar. Kita tidak bisa sembarangan membersihkan lubang lalu di beton. Teknisnya adalah bentuk lubang menjadi kotak agar mudah mengontrol materialnya. Lalu lapisi agar bersifat impermiabel (tidak tembus air). Kemudian baru ditambal dengan beton.
Biasanya disambungan antara aspal dan beton ini akan ada lubang-lubang yang berpotensi menjebak air. Hal ini perlu juga diperhatikan karena dapat berpotensi terjadi lubang.
Hal yang sekarang yang salah dilakukan adalah menambal lubang jalan dengan tanah atau bahkan sampah. Secara visual memang membuat jalan menjadi rata tetapi secara struktural itu tidak ada artinya, bahkan sebenarnya membuat jalan menjadi kotor jika turun hujan. Bahkan tanah memiliki daya serap air yang lebih besar. Jadi tambalan tanah bisa seperti tambahan spon pada lubang jalan yang menyerap air lebih banyak sehingga jalan akan semakin bertambah rusak.