Prof. Dr. Ir. Kadarsah Suryadi, DEA., Sang Academic Leader Institut Teknologi Bandung

Oleh Vera Citra Utami

Editor Vera Citra Utami

Artikel berikut ini merupakan hasil wawancara ristekdikti.go.id dengan Rektor ITB.

Artikel berikut ini merupakan hasil wawancara ristekdikti.go.id dengan Rektor ITB.

BANDUNG, ristekdikti.go.id -- Bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Ke-73 Republik Indonesia, Kemenristekdikti menganugerahkan gelar Academic Leader kepada dosen dan pemimpin perguruan tinggi dalam negeri atas kontribusi mereka dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia melalui pendidikan. Kategori penganugerahan bagi dosen sebagai Academic Leader adalah dosen di bidang 1) Sains; 2) Teknologi; 3) Kesehatan, dan; 4) Pertanian. Sementara anugerah bagi pemimpin perguruan tinggi sebagai Academic Leader adalah 1) Pemimpin PTS; 2) Rektor/Direktur PTN Satker; 3) Rektor PTN BLU, dan; 4) Rektor di PTN-BH.


Salah satu pemimpin perguruan tinggi yang mendapatkan anugerah tersebut adalah Prof. Dr. Ir. Kadarsah Suryadi, DEA, Rektor Institut Teknologi Bandung, pemimpin terbaik untuk kategori Rektor di PTN-BH. yang dianggap telah memperjuangkan ITB untuk bergerak dari “Research University” menuju “Entrepreneurial University”. Upaya ini terlihat dalam tiga Key Performance Indicators: (1) Excellent in teaching & Learning, yaitu berupa 93% Prodi terakreditasi A; (2) Excellent in research berupa jumlah publikasi internasional yang mencapai lebih dari 2000 pada tahun 2017; (3) Excellent in Innovation & Entrepreneurship yang telah menghasilkan 85 start up and 18 spin off Companies.

Sebagai obat penasaran perihal resep yang diterapkan Prof. Kadarsah selama memimpin ITB, berikut ini adalah cuplikan wawancara Prof. Kadarsah Suryadi, beberapa waktu lalu di Gedung Rektorat ITB, saat diwawancara oleh Bagus Muljadi, peserta Simposium Cendekia Kelas Dunia 2018, diaspora Indonesia asal University of Nottingham, UK.

Saat ini, kepemimpinan sebenarnya agak bersifat abstrak dan banyak dari kita tidak begitu tahu tentang kepemimpinan, terutama dalam konteks akademis. Merujuk pada hal tersebut, apa makna kepemimpinan bagi Bapak?

Pertama, kita harus memulai dari terminologi kepemimpinan itu sendiri. Banyak orang mendefinisikan pemimpin adalah seorang yang dianggap memiliki anak buah banyak atau ada yang mengatakan seorang pemimpin adalah dia yang bisa memberikan suatu gagasan atau arah ke depan untuk prioritas orang yang banyak. Tetapi, di sisi lain, seorang pemimpin adalah seorang yang seharusnya bisa memberikan manfaat kepada orang banyak. Intinya adalah itu. Artinya, ketika siapa pun, apakah orang di universitas, SMA, SMP, SD, atau organisasi pemerintahan, industri dan masyarakat luas, ketika seseorang bisa memberi manfaat kepada orang banyak, maka otomatis ia akan menjadi pemimpin. Sebagai contoh, penemu lampu, Thomas Alva Edison, manfaat dari penemuannya itu kan banyak. Orang bisa membaca. Dari membaca, orang bisa mendapat ilmu pengetahuan.  Semua itu karena diterangi oleh lampunya Thomas Alva Edison. Maka itu, Thomas Alva Edison juga bisa dikatakan sebagai seorang pemimpin, karena dia memberi manfaat bagi orang banyak. Begitu pun pada perguruan tinggi. Ketika seseorang bisa menyebarkan ilmu pengetahuannya, sehingga awalnya, seseorang yang tidak tahu menjadi tahu, orang yang tadinya sedikit pengetahuannya menjadi lebih banyak, ia adalah leader. Seorang leader yang dalam terminologi saat ini, yang sedang tren dalam istilah inovasi, bahwa pemimpin adalah orang biasa yang bisa memberikan karya luar biasa. Kita bisa menyebutnya sebagai seorang inovator. Jadi esensinya bahwa pemimpin adalah seorang biasa yang bisa menghasilkan karya luar biasa. Itu.

Karier Bapak sebagai seorang dosen bermula dari dosen di Teknik Industri. Sebuah fakultas dengan kor-kompetensinya adalah mencipta dan mempelajari suatu produk tertentu. Jika boleh tahu, dari mana Bapak belajar kepemimpinan, sehingga berhasil memimpin sebuah perguruan tinggi sebesar Institut Teknologi Bandung ini?

Nah, ini pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Saya sendiri sebenarnya tidak tahu mulainya kapan. Buat saya, itu mengalir saja. Saya menjalani semua yang saya rasakan. Ketika pertama kali saya menjadi dosen, saya berkata bahwa saya seorang anggota dari komunitas, maka saya juga harus menjalani aturan-aturan yang ada dalam komunitas itu. Artinya, untuk menjadi pemimpin yang baik, kita juga harus mampu menjadi anak buah yang baik. Berarti, kita harus mengenali aturan-aturan, budaya, lalu norma-norma yang ada di dalam institusi tersebut. Ketika kita mengenali semuanya, maka kita akan tahu bahwa, oh, beginilah menjadi anak buah. Tetapi, kita juga jangan lupa untuk memantau bagaimana manajerial organisasi tersebut. Mengapa hal itu dilakukan, karena, kita harus mengenali terlebih dahulu apa yang ada di sekitar kita. Kedua, menjadi seorang leader atau pemimpin, ia harus mampu mengenali perilaku, kondisi, dan karakter dari organisasi yang dia jalani. Jadi, saya sendiri, sampai saat ini tidak tahu kapan mulainya belajar menjadi pemimpin. Tetapi, yang saya tahu, saya harus mengenali fakta yang harus saya jalani.

Seberapa penting kepemimpinan dalam karier seseorang yang mulai bergulat di bidang akademik, meskipun yang bersangkutan tersebut bukanlah seorang rektor atau memiliki jabatan dalam struktur akademis?

Ini penting sekali. Hal ketiga yang saya amati, apalagi dalam dunia akademik, pemimpin adalah juga mereka yang mempunyai kemampuan mendengar orang banyak termasuk orang yang lebih tinggi, kenapa? Dalam dunia akademik, kepemimpinan itu kan kolega sesama kawan, sama teman, bahkan yang tadinya dosen kita, sekarang kita, sudah bisa menjadi pemimpinnya. Oleh sebab itu, pemimpin dalam tim ini harus bisa mendengar orang-orang dengan kemampuan komunikasi yang tinggi. Karena perguruan tinggi adalah tempat masyarakat ilmiah dan intelektual berkumpul. Terkadang juga, orang yang kita pimpin, ia lebih banyak tahu dari kita.  Ilmu adalah milik semua. Akses terhadap ilmu bisa dilakukan oleh semuanya. Jadi pemimpin seharusnya adalah orang yang mau mendengarkan komunitas yang dipimpinnya, dan itu saya temukan di lingkungan perguruan tinggi. Ada banyak orang-orang dengan kemampuan ilmu luar biasa. Kita harus mendengar mereka. Kemampuan mendengar itu sangat utama bagi seorang pemimpin.

Bapak adalah seorang pemimpin di ITB yang notabenenya, secara rangking, adalah universitas terbaik di Indonesia. Tentu terdapat tantangan khusus dalam pengelolaannya. Tantangan apa saja yang Bapak hadapi di ITB selama ini?

Jadi begini, siapa pun pemimpinnya, ada lima tren atau tantangan di depan yang harus diperhatikan oleh perguruan tinggi. Bukan hanya rektor, tetapi, mungkin dekan dalam bidang studi dan lain-lain. Tantangan pertama, sekarang dan ke depan, itu telah dan akan terus terjadi yang disebut demokratisasi akses terhadap pengetahuan. Kenapa demokratisasi? Semua orang punya hak yang sama dan mempunyai kesempatan yang sama. Saat ini kita punya medsos, punya internet. Kedua peran teknologi digital itu sudah semakin besar. Makanya sekarang muncul distant learning dan open online courses. Semuanya itu dampak dari kehadiran digital technology, sehingga ini harus menjadi perhatian para pemimpin perguruan tinggi. Bahwa ini ada tool baru yang harus kita jadikan sebagai wahana untuk menyebarkan ilmu baru. Ketiga industri bergerak cepat sekali, jangan sampai mahasiswa ketika lulus ketinggalan oleh industri. Sebab itu tantangan berikutnya harus lebih dekat lagi hubungan dengan perguruan tinggi, industri dan lingkungan kerja. Apakah itu berbentuk magang, kerja praktik mahasiswa, atau dosennya yang melakukan berbagai macam aktivitas atau riset, agar ketika mahasiswa lulus, dia tidak kaget dengan apa yang terjadi di dunia industri Karena terlebih dahulu sudah mengenal lebih dekat dunia tersebut. Keempat, akibat adanya digital technology dan lain-lain maka hubungan komunikasi antar berbagai universitas seluruh dunia semakin erat. Maka dari itu akan berdampak pada mobilitas yang lebih banyak lagi. Apakah student mobility, staff mobility, atau bahkan para leader-nya sendiri. Kelima, itu yang kita sebut dengan instability in funding, nah perguruan tinggi harus juga mencari sumber sumber pendanaan baru, baik untuk dia sendiri maupun antar-perguruan tinggi. Maka double degree programs, sebagai contoh kerja sama lintas perguruan tinggi, itu harus ditingkatkan. Itu menjadi lima tantangan yang harus dimiliki oleh pemimpin perguruan tinggi, karena itu adalah sesuatu yang harus kita jalani dan terus akan kita jalani.

Kemenristekdikti memiliki program bernama Simposium Cendekia Kelas Dunia alias diaspora. Program itu bertujuan memberdayakan para profesor Indonesia yang sedang berkarier di luar negeri untuk diminta kembali ke tanah airnya, melakukan kerja sama dengan institusi perguruan tinggi di Indonesia. Menurut Bapak, apakah program itu positif bagi perguruan tinggi di Indonesia, khususnya ITB?

Saya setuju sekali dengan program ini. Ini program yang sangat mulia. Kenapa? Karena dengan adanya diaspora yang kita undang untuk sharing dengan saudara-saudaranya di Indonesia tentang aktivitas yang mereka jalani di perguruan tinggi luar negeri dan dibandingkan dengan perguruan tinggi dalam negeri, itu akan menciptakan atmosfer keilmuan baru. Ketika atmosfer ini pindah, ada banyak manfaatnya. Pertama adalah terbukanya perspektif lebih luas terhadap perguruan tinggi dan masyarakat kita untuk bisa memotivasi mereka sehingga jadi lebih maju. Kenapa? Karena mereka datang bukan hanya membawa atmosfer, tetapi juga membawa network di belakangnya. Inilah yang akan membawa dampak lebih besar. Karena diaspora ini akan menghasilkan suatu program berkelanjutan yang disebut MoU, antar-institusi perguruan tinggi. Kemudian, MoU nantinya ditindaklanjuti menjadi MoA, kerja sama yang lebih konkret. Kerja sama inilah yang menjadi wahana transfer of knowledge dari luar negeri kepada saudara kita di dalam negeri. Ini program yang sangat mulia. Saya support, apresiasi, dan dukung 100%.

Tadi Bapak menyinggung masalah dunia sedang mengarah ke teknologi digital. Saat ini, itu dikenal dengan era industri 4.0. Adakah strategi tertentu, khususnya untuk ITB dalam mempersiapkan institusinya menghadapi industri 4.0 atau internet of thing?

Ini adalah masalah perspektif, yang tentunya mengejutkan kita semua, tapi kita tidak boleh diam. Kita harus sikapi dan ITB sudah menentukan sikap. Bahwa seluruh lulusan kita harus siap menghadapi industri 4.0. Maka, pertama, semua mahasiswa harus menguasai computer programming, karena tahun 2030 diramalkan 50% lapangan kerja akan didominasi oleh komputer. Jadi yang pertama, kurikulum harus menyediakan fasilitas yang mendukung penguasaan computer programming. Nah, kebetulan, ITB sejak tahun 80-an sudah menjalankan itu. Kedua big data. Data berlimpah di mana-mana — jangan sampai generasi muda kita tenggelam dalam data yang tersebar. Merekalah yang harus mengendalikan itu. Data mining, statistics dan ilmu-ilmu lain pun harus dikuasai oleh semuanya. Ketiga, kita masuk ke era robotic: mahasiswa harus mengerti dan dapat menguasai artificial intelligence, karena ini era yang akan kita masuki. Terakhir, keempat, resilience. Perubahan 50 tahun ke depan dikabarkan akan jauh lebih cepat dari 400 tahun lalu. Artinya setiap saat ada perubahan. Maka para mahasiswa termasuk dosen dan mahasiswanya harus mempunyai kemampuan berikut: adaptiveness, dan responsiveness terhadap setiap perubahan yang ada. Maka di sini, kita perlu soft skill didalam berkomunikasi, kerja sama, lalu creative thinking, kemudian juga toleransi, dan empati. Karena itu, sekarang, kita punya program untuk para mahasiswa melakukan sebuah project kecil bersama mahasiswa lain dari mahasiswa luar negeri yang berasal dari perguruan tinggi berbeda dan bekerja di sana. Project kecil ini tujuannya bukan semata-mata solving a problem saja, tapi lantas bagaimana caranya berkomunikasi lintas budaya, dan disiplin, dan beradaptasi dengan berbagai macam sudut pandang. Nah, kita punya mata kuliah creative and science thinking — berbagai fakultas pun sudah menjalankan. Ini disebut perancangan rekayasa. Nah, itu semua kita siapkan supaya mahasiswa/i menjadi insan yang adaptif, dan resilient — bisa bertahan di setiap perubahan. Inilah yang ITB siapkan untuk menghadapi era 4.0.

Era 4.0 suka atau tidak ini pasti akan berimbas pada masyarakat. Terlepas dari dia berada di dalam lingkup akademik maupun tidak. Tadi, Bapak menyinggung tentang interdisciplinary research juga untuk menjawab tantangan di era industri 4.0. Apakah menurut Bapak ada kewajiban bagi para akademisi atau mahasiswa untuk mengkomunikasikan pesan tersebut kepada masyarakat luas, yang mungkin berada di luar ruang lingkup sains dan teknologi. Apakah Bapak ada tips khusus?

Ya, betul sekali. Industri 4.0 itu bukan hanya milik orang engineering atau science, tapi justru orang sosial, art design, atau business management. Kita ambil contoh, ketika anak-anak kita, anak SMP, SMA, mau pesan makanan kan bisa pakai delivery online. Mereka tinggal pakai gadget lalu diantar makanannya. Dan dalam hitungan menit, makanannya sudah sampai ke rumah. Di sini, terdapat dua keuntungan yang diterima oleh pelanggan: pertama, waktu lebih cepat dan bisa lebih murah, karena tidak perlu naik angkot. Nah, ketika anak-anak menggunakan gadget ini, secara langsung, maupun  tidak langsung, mereka sudah bersosialisasi dengan industri 4.0 sejak dini; kedua, dengan gadget tadi, mereka hanya memecahkan dua persoalan: waktu lebih cepat dan biaya lebih murah, tetapi kualitas makanannya tidak berubah. Ini mengindikasikan bahwa 4.0 berikutnya adalah bagaimana meningkatkan kualitas dari produk yang dibeli tersebut. Ini juga PR buat kita semua, bukan hanya perguruan tinggi, tetapi juga SMA, SMP, dan SD, bahwa biasakanlah dari dini untuk selalu buat yang terbaik. Filosofi 4.0 kan ini? Waktu lebih cepat, biaya lebih murah, dan kualitas lebih baik. Dan ini semua tanggung jawab kita semua, baik itu perguruan tinggi dan para adik-adik yang sedang menjalani kuliah. Ketika mereka menggunakan handphone, sebetulnya, mereka sudah menjalani proses 4.0 sejak dini. Ada baiknya untuk kalangan industri dan perguruan tinggi tidak bisa sendirian, ketika mereka membuat kurikulum 4.0, industrinya harus ada. Mau kerja di mana kalau industri tidak dilibatkan? Jadi imbauan saya adalah para pembuat karya juga harus turut memulai untuk menyebarkan 4.0 untuk pemerintah sebagai langkah konkret dukungan menghadapi era 4.0 tersebut. (Transkrip: Nisa/ Editor: Iqbal /Foto: ristekdikti.go.id)