Prof.Dr.Ir. Djoko Suharto Tawarkan Solusi Mengenai Isu Penerimaan Mahasiswa Baru dan Tuition Fee ITB
Oleh alitdewanto
Editor alitdewanto
Menurut Djoko, isu-isu tersebut sangat penting untuk pengembangan dan "governance" ITB di masa depan dan perlu dibahas lebih lanjut. Djoko berharap dengan memberikan pendapat ini dapat secara positif memberi masukan agar masa transisi Otonomi ITB 1.0 (PT-BHMN) ke Otonomi ITB 2.0 (PP66/BLU atau UU Perguruan Tinggi yang baru) berjalan dengan baik dan sebagai pesan dari akhir masa periode kepengurusan MWA ITB.
Berikut petikan wawancara yang dilakukan oleh Kantor Berita.
Q: "Bagaimana pendapat Bapak secara umum mengenai isu ini?"
A: "Isu "komersialisasi" dan "kasta-nisasi" pendidikan perlu mendapat perhatian kita semua. Saya berpendapat bahwa sudah terjadi kesalahan mendasar dari pengertian dan praktek pemungutan uang sekolah atau "tuition fee" yang perlu diluruskan kembali, bukan hanya untuk ITB tetapi juga untuk pendidikan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada prinsipnya kompetensi dan prestasi calon mahasiswa harus menjadi basis penerimaan mahasiswa di suatu perguruan tinggi. ITB sampai saat ini memegang teguh prinsip ini dan mendapatkan mahasiswa dengan potensi terbaik dari seluruh Indonesia."
Q: "Lalu seleksi seperti apa yang harus diterapkan agar prinsip kompetensi dan prestasi calon mahasiswa dapat diutamakan?"
A: "Seleksi yang dilakukan oleh tim BIUS (Beasiswa ITB untuk Semua) dengan menilai esai dari calon mahasiswa dan bila perlu wawancara perlu dipertimbangkan supaya dapat memperoleh calon yang berbakat dan cocok dengan program studinya. Hasil yang baik memang memerlukan biaya dan dana serta perhatian yang besar. Sudah waktunya, walau terlambat, kita menyelenggarakan pendidikan (yang bisa dimaknai sebagai langkah kecil) ini dengan cinta yang besar."
Q: "Prinsip apa yang menjadi acuan untuk menentukan uang sekolah atau "tuition fee"?"
A: "Pajak adalah mekanisme finansial dari negara untuk memungut dana dari warga negaranya. Peraturan yang telah disetujui dalam sistem pajak individu adalah pajak progresif untuk mereka yang lebih kaya melalui PBB-Pajak Bumi dan Bangunan maupun PPH-Pajak Penghasilan ( "property and income taxes"). Jadi sebenarnya sudah tidak ada hak untuk suatu institusi negara seperti Perguruan Tinggi negeri (BHMN atau PTN) untuk membedakan uang sekolah bagi warga negara yang kaya atau miskin. Prinsip ini yang juga harus dipegang teguh dan dianut oleh ITB supaya menjadi contoh untuk semua perguruan tinggi/sekolah negeri. Sebagai contoh perguruan tinggi negeri di Amerika Serikat membedakan "tuition fee" atas dasar tempat tinggalnya yaitu apakah penduduk negara bagian (pembayar pajak langsung), penduduk di luar negara bagian atau warga negara asing."
Q: "Bagaimana pengelolaan yang seharusnya?"
A: "Idealnya alokasi APBN atau APBD untuk program pendidikan harus dihitung dengan cermat dan dialokasikan dengan benar oleh pemerintah. Pemerintah dalam hal ini Kemdiknas atau Pemda harus bertindak sebagai pengatur dan pengontrol alokasi pendanaan tersebut. Sebagai gambaran, saat ini biaya rutin untuk proses pendidikan di ITB (rata rata) adalah 30 juta/tahun/mahasiswa (perlu dipelajari lebih cermat lagi dan dibedakan antara program-program studi supaya perencanaan pendanaannya bisa dilakukan dengan tepat). Bila uang sekolah mahasiswa 8 juta/tahun maka pemerintah harus mengalokasikan dana sebesar 22 juta/tahun/mahasiswa. Dengan sistem ini, model bisnis proses pendidikan menjadi sederhana dan mudah untuk dikelola."
Q: "Bagaimana dengan kenyataan di Indonesia sendiri?"
A: "Saat ini untuk masyarakat kelas menengah Indonesia, "tuition fee" 8 juta/tahun merupakan besaran yang wajar. Menurut data ADB (Asian Development Bank), kelas menengah Indonesia adalah keluarga yang tingkat pengeluaran per kapitanya sebesar Rp 2,16 juta sampai Rp 21,6 juta per bulan. Jumlah kelas menengah saat ini sudah mendekati 100 juta (93 juta pada tahun 2009), namun 74% adalah keluarga menengah bawah dengan tingkat pengeluaran antara Rp 2,16 sd Rp 4,4 juta yang menurut saya masih termasuk "miskin". Sebagian besar keluarga Indonesia lainnya termasuk golongan miskin. Sebagai perbandingan, di negara maju prosentase golongan menengah biasanya sangat besar (80-90%) dan sisanya terbagi ke golongan kaya atau miskin."
Q: "Kebijakan seperti apa yang harus dijalankan oleh ITB menghadapi situasi seperti ini tanpa harus melanggar prinsip prinsip yang sudah dibahas?"
A: "Berikut ini beberapa masukan saya untuk dipertimbangkan lebih lanjut:
1. ITB tetap memegang prinsip menerima mahasiswa yang mempunyai potensi dan kualitas yang baik serta cocok dengan bidang studinya.
2. Eksekutif ITB berunding dengan pemerintah untuk menentukan unit pembiayaan yang wajar dengan cermat dan pemerintah tidak melepaskan tanggung jawab dalam hal pembiayaan pendidikan perguruan tinggi negeri.
3. Melakukan kampanye besar-besaran untuk memperoleh dana bagi beasiswa mahasiswa miskin dan juga melakukan pendekatan ke orang tua mahasiswa golongan "menengah dan kaya" (tingkat pengeluaran > 8 juta per bulan) untuk ikut menyumbang dengan iklas bagi proses pendidikan sesuai dengan kemampuan masing masing. Dana sumbangan ini sebaiknya dikelola dulu oleh SKD (Satuan Kekayaan dan Dana) sebelum disalurkan ke SA (Satuan Akademik).
Cara yang saya usulkan ini merupakan solusi sementara sebelum sistem perpajakan di Indonesia bisa dijalankan dengan baik."
Q: "Apa harapan Bapak dari solusi tersebut?"
A: "Saya berharap ITB mendapat pendanaan yang memadai sehingga bisa menghasilkan alumni yang berkualitas dan memberi kesejahteraan yang wajar bagi karyawan dan dosennya. Saya bisa membayangkan kesulitan dalam pelaksanaannya, namun bila berhasil ITB akan menjadi pioner dalam arsitektur pembiayaan pendidikan dan akan dihormati."