Program Pengabdian Masyarakat ITB: Bantu Petani Sukawangi Atasi Masalah Pascapanen Cabai
Oleh Nur Asyiah - Mahasiswa Rekayasa Pertanian, 2021
Editor Anggun Nindita
JATINANGOR.itb.ac.id – Tiga himpunan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), yakni Himarekta “Agrapana,” Vadra, dan HMM, berkolaborasi menggelar program pengabdian masyarakat di Desa Sukawangi, Kabupaten Sumedang, pada Oktober-November 2024.
Dengan bimbingan dari Dosen Kelompok Keahlian (KK) Agroteknologi dan Teknologi Bioproduk SITH ITB, Dr. Rijanti Rahaju Maulani, S.P., M.Si., kegiatan ini bertujuan meningkatkan efisiensi produksi sekaligus memberikan nilai tambah pada komoditas cabai melalui diversifikasi produk.
Hal ini didasari oleh produksi cabai di Indonesia yang kerap menghadapi berbagai tantangan. Mulai dari fluktuasi harga hingga penanganan pascapanen yang kurang optimal. Petani sering mengalami kerugian akibat hasil panen melimpah yang tidak diimbangi dengan teknologi pengolahan memadai, menyebabkan cabai cepat membusuk dan terbuang sia-sia.
Kondisi serupa dialami petani di Desa Sukawangi, yang menghadapi kerugian besar akibat cabai reject yang tidak terjual. Standar grading yang ketat membuat sekitar 30% hasil panen dibuang, meskipun masih layak konsumsi. Belum lagi, curah hujan tinggi akhir-akhir ini menghambat proses penyemaian karena ketiadaan fasilitas seperti greenhouse.
“Kalau hujan, penyemaian cabai terganggu. Kami tidak punya greenhouse, jadi hasilnya seringkali tidak maksimal,” ujar Ketua Kelompok Petani Desa Sukawangi, Yoyo.
Program ini melibatkan 30 petani dari Kelompok P4S Karya Mandiri Prima dan Kelompok Wanita Tani Medal Asri. Tiga rangkaian utama kegiatan meliputi sosialisasi teknik persemaian cabai, pengolahan pascapanen menjadi cabai bubuk menggunakan solar dryer cabinet, dan pembuatan alat pengering berbasis tenaga surya.
Dr. Rijanti menekankan pentingnya kolaborasi antara mahasiswa, dosen, dan masyarakat desa untuk mendorong inovasi yang berkelanjutan. “Selain pemasangan ajir untuk mencegah tanaman rebah, petani juga perlu melakukan prentelan, yaitu membuang tunas yang memboroskan hasil fotosintat,” jelasnya.
Farrel Sajid (BA’21), salah satu mahasiswa yang terlibat, mengakui adanya tantangan teknis saat uji coba alat pengering. “Solar dryer kami sempat mengalami kebocoran air saat hujan, sehingga kayu penampung ditumbuhi jamur. Tapi kami sudah menambal celah-celahnya menggunakan perekat silika,” ujarnya.
Kegiatan ini mendapatkan respons yang positif dari para petani. Mereka merasa terbantu dengan teknologi dan pelatihan yang meningkatkan nilai jual cabai sekaligus mengurangi food loss. Para petani berharap program serupa dapat diterapkan di desa lain serta membawa manfaat yang lebih luas.
Ke depannya, mahasiswa berencana membantu petani mendapatkan izin P-IRT untuk memperluas pasar produk olahan cabai. Inovasi seperti ini diharapkan terus berlanjut, memperkuat potensi lokal dan mendukung kesejahteraan petani di seluruh Indonesia.
Reporter: Nur Asyiah (Rekayasa Pertanian, 2021)