Proses Geohazard Gunung Ijen dari Sisi Vulkanolog ITB
Oleh Anggun Nindita
Editor Anggun Nindita
BANDUNG, itb.ac.id – Indonesia kaya akan wisata alam khususnya gunung api. Keindahan gunung api di Indonesia tentu menyimpan bahaya yang mungkin banyak orang tidak mengetahuinya. Semakin indah suatu daerah, ancaman bencana bisa saja berpotensi semakin besar. Sehingga perlunya edukasi kepada masyarakat akan bahaya gunung api.
Pusat Survei Geologi melaksanakan geoseminar yang bertujuan menyampaikan hasil penyelidikan dan menjadi wadah masyarakat untuk mengetahui tentang isu kebumian sehingga masyarakat dapat memiliki pemahaman yang baik. Menurut Kepala Bagian Umum Pusat Survei Geologi Dedi Irawan menyebutkan bahwa kegiatan geoseminar di 2023 akan dilaksanakan sebanyak 10 volume secara hybrid.
Di seri pertama, geoseminar mengusung topik “Situs Warisan Geologi dan Aspek Vulkanisme dan Geohazard pada Geopark Ijen”. Acara ini turut mengundang Kepala Prodi Magister ITB Dr. Mirzam Abdurrachman, S.T., M.T., sebagai narasumber. Mirzam mencoba mengedukasi para peserta mengenai asal-usul Gunung Ijen dan bahaya yang dikeluarkannya serta cara menanggulanginya.
Asal-usul Gunung Ijen
Secara evolusi tektonik di Asia Tenggara, Gunung Ijen diperkirakan sudah terbentuk di 30-35 juta tahun lalu. Secara tatanan tektonik Indonesia, posisi Gunung Ijen berada di transisi peralihan antara Indonesia bagian Barat dan Timur. Posisi ini berpengaruh terhadap bentuk gunung merapi.
Bagian dasar kerak Ijen disebut argoland yang berasal dari pecahan Australia yang bergerak ke utara mulai umur geologi Jura Akhir (165 Juta Tahun Lalu) hingga menumpuk di bagian ujung tenggara Sundaland pada umur geologi Miosen Tengah (15 Juta Tahun Lalu).
"Secara geologi, Gunung Ijen bisa dikatakan berada di Indonesia dan Australia," ujar Mirzam
Gunung Ijen berada di busur Sunda. Gunung ini memiliki ketinggian 3500 masl dengan volume kaldera terbesar setelah Gunung Toba. Abu vulkaniknya berwarna abu-abu kegelapan dan tergolong letusan eksplosif. Ketika letusan besar terjadi, abu tidak terlempar jauh melainkan jatuh dan menumpuk pada lereng. Hal ini menyebabkan sering terjadi lahar ketika turun hujan.
Geohazard Gunung Ijen
Bencana gunung api dibedakan menjadi dua, yakni bahaya primer dan sekunder. Bahaya primer merupakan risiko yang berkaitan secara langsung pada letusan gunung api meliputi aliran lava, aliran piroklastik, ejecta ballistic, abu vulkanik, dan gas beracun. Bahaya sekunder merupakan bahaya yang tidak berkaitan secara langsung dengan gunung api meliputi lahar, banjir, gempa bumi, tsunami, hujan asam, debris avalanche, perubahan iklim, polusi udara, dan gas beracun.
Usaha Penanggulangan Geohazard Gunung Ijen
Beberapa usaha yang telah dilakukan dalam menangani bencana gunung api adalah meletakan papan pengumuman. Menurut Mirzam, usaha tersebut baik untuk dilakukan, namun masih belum cukup. Selain itu, mayoritas masyarakat sering mengabaikan risiko bencana, dan masih mempertahankan budaya lokal yang percaya kepada Kuncen atau Juru Kunci Gunung Api
Cara mengantisipasi bencana gunung api dibedakan menjadi dua pendekatan, yakni jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek meliputi pengamatan seimisitas, temperatur, jenis gas, dan hidrologi. Sedangkan, jangka panjang meliputi mengamati pola hubungan antara interval waktu dengan volume yang dikeluarkan.
Kesiapan lainnya yang perlu dilakukan, yakni memperkuat sosialisasi dari lembaga Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan melibatkan masyarakat sebagai subjek yang bisa membaca informasi dan tanda alam. Sehingga edukasi kepada setiap lapisan masyarakat sangat dibutuhkan terkait bahaya bencana alam khususnya gunung api.
Ancaman yang ditimbulkan oleh alam selalu nyata adanya. Namun, kita tidak tahu apakah setelah terjadi bencana alam masih menyimpan risiko lain untuk waktu mendatang atau tidak.
“Hal yang terpenting adalah kesiapan dari masyarakat. Siap menghadapi bencana mendatang dengan perkuat pengetahuan terkait kebencanaan,” jelasnya.
"Coba sekarang kita ubah posisi dari dari yang awalnya sebagai objek penerima informasi menjadi subjek pemberi informasi," lanjutnya.