Sebulan Mengenang Almarhum Hans Wospakrik: Kecemerlangan dalam Kesederhanaan
Oleh Krisna Murti
Editor Krisna Murti
Persis sebulan yang lalu, Indonesia kehilangan salah salah satu putra terbaiknya. Hans J. Wospakrik meninggal di RS Dharmais, Jakarta pada tanggal 11 Januari 2005 karena penyakit leukimia. Dosen Fisika Teoritik di ITB ini juga merupakan kebanggaan daerah asalnya, Papua. Bukan hanya kecermelangannya yang membuat banyak orang kehilangan dirinya, tapi terutama kesantunan dan kelembutan hati beliau. Komitmennya pada dunia pendidikan serta perhatiannya pada mahasiswanya meninggalkan kesan mendalam bagi bekas murid-muridnya. Tulisan ini hanya hendak sedikit mengenang kembali beliau, sehingga semangat positif dan nilai luhur yang diperjuangkan oleh alm. Hans J. Wospakrik dapat menginspirasi dan diteruskan oleh banyak orang.
Hans J. Wospakrik memang lahir dalam keluarga pendidik. Keluarga Wospakrik adalah keluarga yang terpandang di masyarakat Papua, sebagai keluarga pendidik. Saudara-saudaranya banyak yang berprofesi sebagai dosen juga; salah satunya, Frans Wospakrik,
menjadi rektor Universitas Cendrawasih.
Atas saran kakaknya, Hans J. Wospakrik muda masuk ITB tahun 1971 sebagai mahasiswa Teknik Pertambangan. Namun, Pak Hans tidak betah, sehingga tahun berikutnya Hans pindah ke jurusan Fisika ITB. Pendidikan sarjananya diselesaikan tahun 1976. Akhir tahun 1970-an, Hans pergi ke Belanda untuk melanjutkan studi pascasarjana di bidang fisika teoritik. Minatnya terhadap bidang penelitian mulai berkembang di sana. “Dia lebih tertarik melakukan pendidikan di luar bidang desertasinya,” ujar Satria Bijaksana, dosen Fisika, Wakil Dekan FMIPA.
Semenjak tahun 1999 beliau pergi ke Universitas Durham, UK. Tapi, program doktornya baru diambil pada tahun 2002 di universitas yang sama. Menurut Satria, yang juga bekas anak didik almarhum, di sana, beliau banyak mengadakan penelitian yang pantas dikagumi. Menurut Satria, dalam satu-dua tahun ke depan, Hans diharapkan sudah menjadi guru besar Departemen Fisika. “Dari segi senioritas; dari segi akademik kami sudah berharap banyak,” tuturnya.
Pada awal tahun 1980-an, sembari melanjutkan studi pascasarjananya, pernah mengadakan riset bersama Martinus JG Veltman, di Utrecht, Belanda, dan di Ann Arbor, Michigan, Amerika Serikat (AS). Tahun 1999, Veltman meraih Nobel Fisika.
Cemerlang dan Bersemangat
“Beliau sangat mengutamakan originalitas,” ungkap Fredy P. Zen, ketua Kelompok Bidang Keahlian (KBK) Fisika Teoritik, Departemen Fisika, ITB. Bidang fisika teoritik memang salah satu bidang Fisika yang sulit; juga sulit dalam pengembangan penelitiannya. “Publikasi beliau tidak sangat banyak, tapi originalitasnya pantas dikagumi,” ujar Fredy, yang juga teman dekat almarhum Hans. Beberapa publikasinya diterbitkan di jurnal internasional, Physical Review D (1982 dan 1989), Journal of Mathematical Physics (2001 dan 2002), International Journal of Modern Physics (1991), serta Modern Physics Letters A (1986 dan 1989).
Semangat kerja beliau yang tinggi diakui oleh rekan-rekan staff pengajar Fisika. “Kadang saya mengira sudah bekerja cukup keras. Sudah telat pulangnya,” ujar Satria, “Tapi begitu lewat kantor Pak Hans, masih ada beliau (di kantornya –red.)” “Semangatnya tinggi sekali tapi juga low-profile,” ungkap Boby E. Gunara, rekan dosen Fisika teoritik yang satu ruangan dengan almarhum Hans.
Sebelum almarhum pergi ke RS Dharmais di Jakarta, bahkan, almarhum Hans masih menyempatkan diri untuk membuat kunci jawaban ujian mahasiswa S-1. Hans juga telah meminta tolong Boby untuk memeriksa ujian-ujian mahasiswanya. Tanggung jawabnya sebagai pengajar dan pembimbing tidak pernah dilupakannya, kendati sedang sakit parah sekalipun.
Kesetiaan pada ITB
Kecemerlangannya membuat banyak pihak menawarkan pada Hans tawaran mengajar dan proyek-proyek tertentu. “Banyak sekali yang menawarkan Pak Hans,” ungkap Fredy, “Terakhir itu, Pak Hans ditawarkan mengajar di Kyoto University.” Tapi, Hans tidak pernah mau menerima tawaran-tawaran itu walaupun bayarannya tinggi.
“Dia dosen yang benar-benar setia dan sederhana,” kenang Fredy. Setiap kali ditanya mengapa tidak mau menerima tawaran menggiurkan itu, Hans selalu menjawab dengan: ‘saya malas’. Tapi, Fredy yakin bahwa ada alasan yang lebih besar, mengapa almarhum Hans menolak banyak tawaran itu.
Kepergian yang Mendadak
Tidak ada yang menyangka tokoh pendidik kebanggaan masyarakat Papua ini akan pergi begitu cepat. “Kalau orang melihat perawakan Pak Hans yang tegap dan gagah, tidak akan ada yang menyangka kalau beliau sakit,” ungkap Satria. Rekan-rekannya tidak ada yang mengetahui bahwa Hans mengidap leukimia. Bahkan Hans sendiri baru memeriksakan diri dan mengetahui bahwa dirinya mengidap leukimia seminggu sebelum beliau meninggal.
Hari Jumat, 7 Januari, Hans masuk RS Dharmais, Jakarta. Rekan-rekan dosen yang mengetahui hal ini sudah berencana menjenguk tapi tidak segera karena banyak yang mengira bahwa walaupun leukimia itu penyakit berat, namun prosesnya butuh waktu lama. “Teman-teman di Fisika mengira ya, Pak Hans mau kontrol ke Jakarta,” ujar Satria. Tidak ada yang mengira lima hari kemudian beliau meninggal.
Fredy, yang dekat dengan almarhum mengungkapkan bahwa memang Hans pernah mengeluh lemas dan tidak enak badan. “Waktu itu, dikira karena pengaruh diet,” ujar Fredy. Saat itu Hans memang sedang diet tidak makan daging untuk menekan kolesterol. Setahunya, Hans memang tidak pernah mengeluh sakit kepada siapa pun kecuali dirinya. “Mungkin beliau tidak mau orang khawatir,” ujar Fredy.
Saat halal bihalal 2004, Hans memang tampak lebih kurus tapi tetap bersemangat. “Waktu itu kami bercanda, bahwa ini karena diet,” kenang Fredy. Menurutnya, terakhir bertemu dengan almarhum adalah Desember 2004, Hans menceritakan dengan bersemangat bahwa dirinya baru saja mengirimkan kartu natal bersamaan dengan hasil penelitiannya terakhir kepada profesor pembimbingnya di Durham, UK.
Saat Hans sering tidak ke kampus, tidak banyak rekan-rekan atau mahasiswanya yang mempunyai prasangka negatif. “Teman-teman mengira Pak Hans itu flu. Kan sedang musim hujan,” ujar Fitria Armalivia, mahasiswa program sarjana Departemen Fisika yang tugas akhirnya dibimbing oleh almarhum. “Bulan Desember 2004 ada banyak liburan dan juga merupakan masa ujian semester sehingga dosen-dosen pun jarang bertemu,” ungkap Satria. Mahasiswa sibuk belajar dan dosen mempersiapkan serta memeriksa ujian.
Hubungan dengan Mahasiswa
Hans memang bukan tepatnya dosen yang ‘gaul’ dengan mahasiswanya, namun Hans selalu mengutamakan mahasiswanya. “Kalau diajak berdiskusi tentang Fisika, dia sangat bersemangat,” ungkap Fredy. Walaupun harus pulang sampai larut malam pun, Hans tetap mau meladeni mahasiswa yang berkonsultasi dengannya.
Kuliah yang dipegangnya bukan kuliah gampangan, tapi karena cara mengajarnya, kuliahnya menjadi mudah. “Pak Hans bilang kalau kehadiran kuliah gak wajib, tapi justru kita yang selalu ingin dateng ke kuliah Pak Hans,” ujar Arma, “Sayang kalau ketinggalan kuliah Pak Hans.” Hans memang dikenal pandai mengajar. “Kalau kita tanya sesuatu, pasti ceritanya panjang, bukan cuma ngasih definisi. Karena menurut Pak Hans, kita harus bisa ngerti sendiri, bukan cuma dikasih definisi dan bisa ngitung,” kenang Arma. “Dia bisa membuat hal sulit menjadi kelihatan mudah,” ujar Satria yang pernah menjadi mahasiswa Hans juga. Saat mengajar, Hans selalu membawa catatan kuliah yang ditulis sendiri dengan tulisan tangan –tanda bahwa selalu mempersiapkan diri sebelum memberikan kuliah.
Dalam membimbing mahasiswanya, Hans itu tidak pernah terburu-buru. Pekerjaan beliau juga dikenal rapih. Saya pernah mengalami masalah dalam suatu perhitungan. Enam kali pertemuan dengan Pak Hans, baru ketemu salahnya,” kenang Arma, “Pak Hans itu benar-benar telaten.” Hans memang selalu involve dalam kegiatan mahasiswanya. “Tidak hanya omong,” kenang Satria “Beliau ikut terlibat dalam setiap pekerjaan dan tugas anak-anak bimbingannya.”
“Pak Hans itu sangat encouraging,” ujar Fredy, rekan dosen yang juga pernah menjadi mahasiswa almarhum, “Dia selalu mendorong yang muda-muda.” Hal ini juga tampak dalam kuliah-kuliah yang beliau berikan. “Dia tidak mau jadi yang pintar sendiri,” kenang Fredy, “Saya belajar banyak tentang cara mengajar dari beliau.”
Banyak rekan-rekan dan mahasiswanya yang amat kehilangan dengan sikap beliau yang santun dan hormat. “Pak Hans betul-betul menempatkan orang dengan respek, semua orang diperlakukan dengan santun dan hormat,” kata Satria, “Dia hebat tapi tetap santun.”
***
Bukan hanya Departemen Fisika atau masyarakat Papua yang kehilangan beliau. ITB dan juga, Indonesia telah kehilangan satu individu yang patut dibanggakan: hebat, potensial, tapi juga rendah hati dan santun. Kesantunannya dalam bersosialisasi dengan siapapun serta keterlibatannya pada setiap mahasiswanya patut dijadikan contoh. Kesetiaan dan komitmennya pada ITB terwujud dalam prinsipnya yang benar-benar fokus dalam pekerjaannya mengajar dan meneliti; tawaran mengajar atau ber-‘proyek’ selalu ditolaknya. Diluar kecermelangan serta semangatnya yang tinggi dalam mengajar serta meneliti, Hans tetap menjadi pribadi yang ramah serta sederhana. Bahkan, pulang-pergi dari ITB menuju rumah kontrakannya, Hans masih menggunakan kendaraan umum.
Banyak potensi dan perjuangan almarhum Hans Wospakrik yang belum selesai. Semoga keutamaan almarhum Hans Wospakrik dan nilai-nilai yang beliau perjuangkan dapat menginspirasi kita dan dapat dilanjutkan oleh kita: masyarakat ITB dan masyarakat Indonesia.
antonius krisna murti
10/2/05 11.12 pm