Seminar Nasional : Peringatan Seratus Tahun Kebangkitan Nasional
Oleh kristiono
Editor kristiono
BANDUNG, itb.ac.id - Seratus tahun lalu, tepatnya pada Minggu pagi, 20 Mei 1908, Soetomo bersama koleganya, sesama pelajar STOVIA, merundingkan pendirian organisasi Boedi Oetomo. Organisasi ini didirikan dengan tujuan mengupayakan kemerdekaan bangsa Indonesia dari cengkraman penjajah Belanda. Sejak saat itu, 20 Mei selalu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Cita-cita kemerdekaan Bangsa Indonesia kemudian berhasil diwujudkan, ditandai dengan deklarasi kemerdekaan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Jika dihitung sejak hari kemerdekaan tersebut, bangsa Indonesia telah mengalami dinamika pembangunan yang cukup panjang, hingga tiba di era Reformasi saat ini. Namun, akibat krisis multidimensi, hingga saat ini tampak nyata bahwasanya bangsa Indonesia belum mampu membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang bermartabat dan setaraf dengan bangsa-bangsa maju. Peringkat daya saing Indonesia, tahun 2005, menduduki peringkat 59 dari 60 negara.
Dilatarbelakangi oleh kenyataan tersebut, Institut Teknologi Bandung bersama Forum Rektor Indonesia, berupaya mencari solusi atas persoalan bangsa dengan menyelenggarakan seminar nasional bertajuk “Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional”. Seminar sehari yang bertempat di Sabuga ITB ini menghadirkan pembicara Ketua MPR RI Dr. Hidayat Nurwahid, Ketua DPR RI Agung Laksono, Ketua DPD RI Prof. Ginandjar Kartasasmita, Panglima TNI Jendral Djoko Santoso, Akademisi Prof. Emil Salim dan Gubernur Lemhanas Prof. Muladi.
Dalam sambutannya, Rektor ITB Prof. Djoko Santoso mencatat, bangsa Indonesia memasuki era globalisasi dengan daya saing yang lemah dan ketidakjelasan orientasi berbangsa. Menurut Djoko, bangsa Indonesia belum berhasil mewujudkan cita-cita bangsa seperti yang termaktub dalam mukadimah undang-undang dasar 1945 yaitu perikemanusiaan, keadilan dan masyarakat yang makmur dan sejahtera.
Sementara itu, Panglima TNI Jendral Djoko Santoso menggarisbawahi bahwa berdiri dan bertahannya bangsa Indonesia dalam kerangka NKRI adalah karena tingginya toleransi antar umat beragama, khususnya Islam, dan kohesi sosial antar suku, khususnya Jawa. “Masyarakat muslim rela Indonesia tidak menjadi negara Islam, orang Jawa rela bahasa Jawa bukan sebagai bahasa nasional”, kata Djoko.
Dalam makalah berjudul “Kondisi Ketahanan, Pertahanan, dan Keamanan Dalam Perpektif Mempertahankan Kedaulatan Bangsa Indonesia”, Jenderal Djoko Santoso memaparkan strategi pertahanan Indonesia yang bertumpu pada upaya pembangunan kualitas SDM, memperkokoh ketahanan nasional, dan memperkokoh pertanahan negara.
Memasuki persaingan dalam era globalisasi, Panglima TNI menyatakan perlunya perubahan paradigma dalam menghadapi tantangan jaman. Perubahan paradigma tersebut perlu diikuti dengan peningkatan kualitas dan profesionalitas SDM. Untuk itu, menurut Djoko, perlu kembali dikukuhkan jati diri bangsa dan revitalisasi semangat nasionalisme. Merujuk pada pengalaman Vietnam, Panglima TNI yakin militansi dan kualitas SDM yang baik mampu menjadi kunci dalam mempertahankan kedaulatan NKRI. “TNI yakin mampu mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara, dalam hal ini dukungan rakyat terhadap TNI sangat dibutuhkan”, ujarnya.
Falsafah Pancasila Sebagai Dasar NKRI Sudah Final
Dalam sesi diskusi, Ketua MPR Dr. Hidayat Nurwahid menegaskan bahwa konsep dasar negara Pancasila sudah final dan tidak bertentangan dengan agama apapun yang diakui di Indonesia, termasuk Islam. Tokoh PKS ini menegaskan bahwa di Indonesia saat ini tidak terjadi konflik Ideologis. Ideologi Pancasila, kata Nurwahid, seharusnya benar-benar diamalkan dalam kehidupan bernegara. ”Saat ini, ideologi Pancasila justru digunakan sebagai alat tuding-menuding”, ujarnya. Nurwahid beberapa kali mencontohkan pengamalan butir-butir ideologi Pancasila dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa masih rendah.