Seminar Uji Sahih RUU Pengganti UU 34/1999

Oleh

Editor

BANDUNG, itb.ac.id - Wacana tentang Jakarta sebagai megapolitan yang dilontarkan oleh Gubernur DKI Sutiyoso dengan konsep Jabodetabekjur-nya, masih terus bergulir. Hari ini (26/8) bertempat di Auditorium Campus Center Timur ITB, sebuah seminar yang menelaah tentang kesahihan rancangan undang-undang (RUU) pengganti UU nomor 34 tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara digelar mulai pukul 08.30-14.30 WIB. Diselenggarakan oleh Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) dan Pansus DKI-DPD RI, seminar sehari ini menghadirkan Sutiyoso, Biem Benjamin (Pansus DPD-RI), Wakil DPR-RI, Ir. Andi Oetomo (ITB), Dede Mariana (Unpad), dan Chay Asdak (Unpad). Dalam sesi pertama Bang Yos-sapaan akrab Sutiyoso-mengungkapkan bahwa niatannya melontarkan konsep mengapolitan adalah semata-mata untuk kepentingan publik, “Bukan karena niat Jakarta untuk mendominasi dan memanfaatkan daerah sekitarnya.” Sepanjang jalannya seminar, permasalahan seputar fungsi Jakarta sebagai ibukota negara sekaligus sebagai daerah otonom dibahas dengan intens. “Harus ada pemisahan yang jelas antara kedua fungsi tersebut,” ujar Dede Mariana, Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. Peruntukan Jakarta sebagai ibukota negara juga beliau bahas, “Secara historis Jakarta tidak direncanakan dibangun untuk menjadi ibukota negara, tetapi ibukota dagang. Menyikapi permasalahan ibukota sekarang ada 4 alternatif langkah yang dapat diambil oleh pemerintah, apakah ia akan tetap menjadi ibukota negara, apakah Indonesia harus memliki multi-ibukota, apakah ibukota akan dipindahkan dari Jakarta, atau yang terakhir, membuat suatu kawasan khusus ibukota negara.” Banyak yang masih perlu direvisi dalam RUU pengganti UU 34/1999, apabila dicermati dari pendapat para pembicara sepanjang jalannya seminar. Chay Asdak dari Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran berkomentar bahwa pasal 30 ayat 2 yang telah ada, yang berbunyi ‘Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dapat membentuk lembaga bersama dengan Pemerintah Kota/Kabupaten yang wilayahnya berbatasan langsung untuk mengelola kawasan secara terpadu’ seharusnya tidak perlu diperbaharui dengan pasal 34 ayat 2 yang berbunyi ‘Penyelenggaraan, pengelolaan rencana umum pengaturan tata ruang Jabodetabekjur dipimpin oleh seorang pejabat negara yang ditunjuk oleh dan bertanggungjawab pada Presiden’. “Perubahan itu lebih sentralistik, tidak ada nilai-nilai kerjasama antar daerah untuk membangun bersama,” paparnya.