Simposium Perindustrian: Mengkaji Deindustrialisasi Nasional
Oleh Fathir Ramadhan
Editor Fathir Ramadhan
Simposium diselenggarakan pada Jumat, (11/03/11) di Aula Timur ITB. Bertindak sebagai pembicara antara lain Direktur Industri Logam Kementrian Perindustrian Ir. I Gusti Putu Suryawirawan; Ketua Wilayah Jawa Barat Asosiasi Pertekstilan Indonesia Rizal Tanzil, S. SiT; Anggota DPR RI Komisi VI Dr. Zulkieflimansyah, M. Sc.
Menurut Herry Dharmawan, Presiden Kabinet KM ITB, mahasiswa seharusnya dapat memonitor kebijakan pemerintah berkaitan dengan perindustrian nasional. "Untuk melakukannya, mahasiswa harus paham mengenai aspek regulasi dan hukum, serta aspek teknologi perindustrian nasional" tambah Herry. Setelah mengamati dan mengevaluasi kenyataan di lapangan, diharapkan mahasiswa dapat memberi sumbangsih pemikiran mengenai sektor riil.
"Simposium ini hanya katalis," tutur Herry. "Sangat baik jika mahasiswa berinisiatif mencari tahu mengenai isu-isu dunia perindustrian"
Fenomena Deindustrialisasi Nasional
Dalam papernya, Zulkieflimansyah menuliskan bahwa, menurut Laporan Pengembangan Sektor Industri 2009 Departemen Perindustrian RI, sektor industri nasional mengalami pertumbuhan minus dari 6,38% di 2004, menjadi 4,6%; 4,59%; 4,67%, 3,66%; dan 2,31% di 2009. Kontribusi sektor industri terhadap PDB menurun dari 28,1% menjadi 27,34%.
Lebih lanjut, Zulkieflimansyah membahas bahwa deindustrialisasi buruk bagi perekonomian suatu negara, dikarenakan empat alasan. Pertama, melemahnya sektor industri mengakibatkan kita menjadi negara yang konsumtif. Kedua, ketergantungan terhadap negara pengekspor manufaktur akan meningkat. Ketiga, reindustrialisasi menjadi sulit dilakukan. Keempat, penyerapan tenaga kerja menjadi menurun.
Penyebab Deindustrialisasi
Lalu apa yang menjadi penyebab deindustrialisasi?
Penyebab pertama adalah infrastruktur yang kurang mapan. Tingkat kerusakan jalan raya masih tinggi, terutama di Sumatera dan Kalimantan. Pembangunan tol Trans Jawa berjalan lamban. Anggaran untuk perbaikan infrasruktur perkeretaapian sangat minim. Hal ini sangat disayangkan, sebab infrastruktur yang memadai merupakan modal utama perindustrian yang mapan.
Penyebab selanjutnya adalah tata kelola dan birokrasi. Laporan tahunan 'Doing Business 2011' hasil publikasi International Finance Corporation (ICF) dan Bank Dunia menilai, dari 183 negara, Indonesia menempati peringkat ke-121 dalam hal kemudahan berbisnis untuk Usaha Kecil Menengah (UKM). Peringkat ini menyejajarkan Indonesia dengan negara-negara kecil di Afrika.
Selanjutnya adalah tingginya suku bunga. Suku bunga yang tinggi menyulitkan para pelaku UKM memperoleh kredit untuk modal usaha. Suku bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) mencapai 14% per tahun untuk usaha retail, dan 22% per tahun untuk sektor mikro.
Penyebab lainnya berkaitan dengan kompetensi sumberdaya manusia, tingkat inflasi, dan penguasaan teknologi. Untuk memperkuat kembali perindustrian nasional, faktor-faktor ini harus mendapat perhatian dari pemerintah.