Tandan Kosong Kelapa Sawit, Potensi Baru Seni Kriya Berkelanjutan

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

*Dok. Pribadi

BANDUNG, itb.ac.id – Aspek sustainability atau berkelanjutan saat ini menjadi salah satu isu penting dalam bidang industri, termasuk industri tekstil. Dalam industri tekstil, pengembangan aspek berkelanjutan salah satunya diwujudkan dalam bentuk penggunaan serat alam sebagai alternatif bahan baku.


Berada di wilayah tropis, Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah dengan potensi serat alamnya, namun belum banyak yang dieksplorasi sebagai produk kriya dan tekstil yang bernilai estetis dan ekonomis, salah satunya yaitu tandan kosong kelapa sawit (TTKS).

Dr. Dian Widiawati, S.Sn.,M.Sn., dari Kelompok Keahlian Kriya dan Tradisi, Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB melakukan penelitian untuk mengkaji pemanfaatan serat TTKS untuk produk kriya yang memiliki nilai tambah dalam kearifan budaya lokal dan keberlanjutan lingkungan. Berawal dari kegiatan perkuliahan, Dian bersama mahasiswanya, Aditya Putri Kusuma Wardani, melihat potensi besar dari limbah sisa produksi bahan alam, salah satunya TTKS.

TTKS dihasilkan dari sisa kegiatan produksi kelapa sawit yang banyak digunakan untuk keperluan industri minyak masak,minyak industri, bahan bakar, hingga kosmetik. Besarnya produksi komoditas kelapa sawit di Indonesia menghasilkan limbah TTKS dalam jumlah yang cukup banyak setiap tahunnya. Selama ini, pemanfaatan TTKS masih terbatas sebagai pupuk organik, material baku pembuatan kertas, briket, dan material pengganti busa yang banyak digunakan untuk mengisi ruang kosong pada jok mobil dan kasur. Padahal, TTKS diketahui mengandung serat yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan tekstil.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi dan karakteristik serat yang dihasilkan oleh TTKS sebagai bahan baku tekstil alternatif. Untuk keperluan penelitiannya, Dian memperoleh sampel TTKS dari produsen kelapa sawit di Bogor, Pekanbaru, dan Kalimantan. Sebelum diolah, serat TTKS perlu melewati sejumlah tahapan yaitu penguraian, pemasakan (scouring), pengelantangan (bleaching), dan pewarnaan.

Dalam seni kriya, selain aspek visual dan estetika juga diperlukan pemahaman terhadap karakteristik material bahan baku seperti TTKS. Karakteristik tersebut menentukan macam teknik yang dapat digunakan dalam proses produksi. Untuk menguji karakteristik fisik serat, Dian bekerja sama dengan Institut Teknologi Tekstil Bandung. Sejumlah uji yang dilakukan di antaranya yaitu uji penampang serat serta uji kekuatan tarik dan kemuluran. TTKS diketahui memiliki diameter serat sebesar 46 ? atau 2,5 kali lebih besar dari serat kapas (18,25 ?), dengan kekuatan tarik dan daya mulur kain TKKS per helai yaitu memiliki rata-rata 9,160 kg dan daya mulur sebesar 7,928 %.

Dian melakukan eksplorasi proses produksi tekstil dengan menggunakan teknik pertenunan. Teknik tersebut dipilih dengan mempertimbangkan karakter dari serat TKKS yang getas dan kaku, namun demikian serat-serat tersebut dapat dipilih dan disusun sedemikian rupa sehingga menghasilkan beragam tekstur tenunan. Kemudian, eksperimen warna pada serat TKKS dilakukan menggunakan beberapa jenis pewarna alami yang berasal dari tumbuhan seperti kayu secang, kayu tageran, dan indigofera. Bahan pewarna alam dipilih karena selain dapat menghasilkan rentang warna yang unik juga dinilai ramah lingkugan selama tidak menggunakan bahan pengikat warna (mordant) dari zat kimia yang berbahaya bagi lingkungan.



Salah satu mata kuliah yang diampu oleh Dian yaitu Kriya Tekstil 3 yang banyak membahas mengenai sustainability dalam seni kriya. Selain TTKS, Dian pernah melakukan penelitian serupa dengan bahan pelepah pisang dan sabut kelapa yang juga banyak terbuang menjadi limbah tidak terpakai. Menurut Dian, terdapat sejumlah keunggulan dari pemanfaatan bahan alam di bidang kriya. Tidak seperti serat sintetis, serat alam bersifat biodegradable sehingga relatif lebih mudah terurai dan mengurangi tumpukan limbah.

Selain itu, serat alam juga memiliki karakteristik yang unik dan spesifik, misalnya dalam hal tekstur dan sifat pewarnaan. Di samping itu, kegiatan produksi kriya menggunakan bahan alam dapat mendorong keberlanjutan ekonomi masyarakat pengrajin di daerah penghasil serat alam. Karakteristik khas serat alam sangat erat dengan keterampilan tangan dan tidak memerlukan teknologi tinggi untuk menghasilkan sebuah produk layak pakai yang bernilai jual. Kekayaan alam dan kearifan lokal Indonesia dinilai sangat mendukung pengembangan seni kriya yang berkelanjutan seperti ini.

“Banyak orang melihat limbah tersebut tidak berguna. Namun di mata kami, selama mengandung serat bahan tersebut sebenarnya potensial untuk digunakan (sebagai bahan baku alternatif tekstil),” ujarnya.

Reporter: Nabilla Nurul Maghfirah (Planologi 2015)