Tim ITB Juara Internasional Medical Robotics For Contagious Diseases (UK-RAS Network)

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana


BANDUNG, itb.ac.id – Tim ITB berhasil menjadi juara internasional dalam Medical Robotics for Contagious Disease Challenge (MRCDC) 2020. Video dengan judul “Towards Affordable Soft Robotic Bronchoscopy” berhasil membawa tim ITB memenangkan runner-up dalam bidang inovasi terbaik (best-innovation runner up), yang diumumkan pada 4 Februari 2021 lalu.

Medical Robotics for Contagious Disease Challenge (MRCDC) 2020 merupakan kompetisi yang diadakan oleh UK Robotics and Autonomous Systems (UK-RAS) Network dengan tujuan mencari inovasi dalam bidang robotika untuk menghadapi pandemi COVID-19, penyakit menular, dan pandemi di masa depan.

Untuk mengikuti kompetisi ini, peserta diminta mengirimkan video dengan durasi dua menit yang berisi masalah yang dihadapi dan solusi yang diajukan. Masing-masing video dinilai berdasarkan inovasi, relevansi dengan kebutuhan klinis, dan sisi engineering. Ada 21 tim dari 13 negara yang mengikuti kompetisi ini.

Dari 21 tim yang mengikuti kompetisi ini, diseleksi menjadi 17 daftar pendek (shortlist). Terdapat tiga kategori pemenang (runner-up dan winner) dalam kompetisi ini, yaitu aplikasi terbaik (best application), inovasi terbaik (best innovation), dan desain terbaik (best design).

“Video kami (tim ITB) dengan judul ‘Towards Affordable Soft Robotic Bronchoscopy’ berhasil menjadi runner-up dalam bidang inovasi terbaik (best-innovation runner up),” ujar Vani Virdyawan, salah satu tim ITB yang merupakan dosen Teknik Mesin ITB dan postdoctoral research associate di MIMLAB saat itu.

Dalam mengerjakan idenya, tim ITB bekerja sama dengan Imperial College London (ICL). Tim tersebut terbentuk pada awalnya dalam rangka melaksanakan kolaborasi penelitian antara Imperial College London (ICL) dengan ITB di bidang soft robot. Untuk mempercepat proses transfer knowledge dilakukan penelitian bersama dengan tema affordable bronchoscope berbasis soft robot.

Vani menjelaskan, bronchoscope sendiri adalah alat yang digunakan untuk memeriksa saluran pernapasan sehingga ketersediaan teknologi ini akan sangat bermanfaat bagi Indonesia yang memiliki banyak kasus infeksi saluran pernapasan.

Ide ini tercetus dari kondisi tenaga kesehatan yang harus menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) saat melakukan prosedur sehingga mengurangi ketangkasan dalam mengoperasikan alat dan melakukan tindakan. Oleh karena itu, mereka mengusulkan penggunaan soft robot sebagai alternatif system flexible bronchoscope yang ada saat ini. Soft robot merupakan area riset yang sangat aktif.

Vani Virdyawan mengatakan bahwa tidak seperti konsep robot pada umumnya yang dibuat dari komponen yang rigid/kaku, soft robot dibuat dengan material yang lunak seperti silikon. Silikon tersedia secara luas dan memiliki harga yang terjangkau. Sebagai contoh, harga 1 kg silikon yang mereka gunakan sekitar Rp800.000,00. Sedangkan untuk membuat satu buah soft robot diperlukan sekitar 2-3 gram silikon. Silikon juga merupakan material yang biokompatibel. Karena dibuat dari material yang lunak, soft robot sangat cocok apabila digunakan pada lingkungan yang tidak terstruktur misalnya di dalam tubuh manusia. Selain itu kemajuan di bidang rapid prototyping (3D printer) membuat proses pembuatan cetakan soft robot menjadi lebih terjangkau.

Tim juga mengajukan inovasi di bidang metode penggerak soft robot dan metode pengendali robot untuk memprediksi besar gaya yang diberikan. Dengan solusi ini, mereka berharap bahwa di masa depan akan tersedia system flexible bronchoscope dengan harga terjangkau sehingga bisa digunakan di lebih banyak fasilitas kesehatan yang ada di Indonesia. Dengan harga yang terjangkau, sistem sekali pakai juga mungkin untuk dibuat sehingga mengurangi potensi kontaminasi silang.

Tim ITB dan ICL awalnya akan mengikuti Surgical Robot Challenge 2020 (SRC 2020), kompetisi tahunan yang diadakan oleh UK-RAS Network. Akan tetapi kompetisi tersebut ditiadakan karena pandemi COVID-19. UK-RAS Network kemudian mengumumkan kompetisi baru yaitu MRCDC 2020 untuk mencari inovasi di bidang robotika dalam menghadapi pandemi COVID-19 dan penyakit menular lainnya. Karena sistem affordable bronchoscope yang mereka kembangkan memiliki potensi untuk digunakan dalam proses diagnostik seperti COVID-19 dan TBC, maka akhirnya mereka berpartisipasi. Proses panjang pun dilalui mulai dari September 2020 (seleksi) hingga diumumkan menjadi pemenang pada Februari 2021.

“Terdapat beberapa solusi tentang penggunaan soft robot untuk bronchoscope di literatur. Namun demikian, desain soft robot yang kami ajukan berbeda dengan yang terdapat pada literatur. Ide ini merupakan penerapan dari hasil riset dari ICL mengenai desain soft robot yang telah dimulai sejak tahun 2014. Selain itu kami menambahkan sistem penggerak (actuator) dengan harga terjangkau sehingga bisa digunakan di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini dapat menjadi solusi di negara-negara berkembang yang harus menghadapi infeksi pernapasan yang menular secara bersamaan seperti TBC dan COVID-19. Sebagai contoh, telah terdapat lebih dari 1 juta kasus COVID-19 dan sekitar 1 juta kasus TBC baru tiap tahunnya di Indonesia. Untuk mengendalikan penyebaran penyakit menular tersebut, deteksi dini merupakah hal yang sangat penting,” kata Vani Virdyawan.

Dengan partisipasi pada kompetisi ini, ITB mendapatkan transfer knowledge tentang soft robot dari tim riset kelas dunia seperti Imperial College London. Kemudian, hubungan kerja sama riset antara ITB dan ICL menjadi terjalin serta diharapkan dapat berlangsung hingga beberapa tahun ke depan. Kompetisi ini menjadi awal mula riset mengenai bidang soft robot di ITB.

“Saat ini ide kami masih dalam tahap purwarupa awal (Tahap Kesiapan Teknologi (TKT/TRL) 3). Untuk bisa diterapkan di masyarakat masih membutuhkan tahap penelitian yang cukup panjang (mungkin masih butuh waktu 5-10 tahun lagi). Namun demikian kami berharap dengan penguasaan teknologi di bidang soft robot dan alat kesehatan ini dapat meningkatkan kemampuan industri perlatan kesehatan di Indonesia di masa depan,” ujar Vani.

Ia menambahkan, strategi selanjutnya dari tim ITB adalah meneruskan kegiatan kerja sama penelitian, mencari sumber dana penelitian baik dari dalam negeri dan luar negeri, dan akan berkolaborasi dengan klinisi maupun industri.

Tim ITB:
1. Vani Virdyawan, dosen Teknik Mesin ITB (ketika mengikuti kompetisi sedang menjadi postdoctoral research associate di MIMLAB)
2. Prof. Andi Isra Mahyuddin, dosen Teknik Mesin ITB
3. Indrawanto, dosen Teknik Mesin ITB
4. Arif Sugiharto, dosen Teknik Mesin ITB
5. Tutla Ayatullah, mahasiswa S2 Teknik Mesin ITB

Tim Imperial College London (ICL):
1. Prof. Ferdinando Rodriguez y Baena, Professor di MIMLAB
2. Prof. Alessandro Astolfi, Professor di Control and Power Research Group, Imperial College London
3. Enrico Franco, postdoctoral research associate di MIMLAB
4. Arnau Garriga Casanovas, postdoctoral research associate di MIMLAB
5. Eloise Matheson, PhD candidate di MIMLAB


Reporter: Christopher Wijaya (Sains dan Teknologi Farmasi, 2016)