Urban Farming, Pemantik Ketahanan Pangan Nasional di Tengah Krisis Lahan dan Pandemi
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id—Penyusutan luas areal sawah akibat kenaikan permukaan air laut dan konversi lahan pertanian terjadi setiap tahunnya, sementara jumlah penduduk Indonesia yang besar membuat kebutuhannya akan pangan menjadi sangat tinggi. Adanya pandemi ternyata juga menyebabkan permintaan pangan meningkat signifikan. Karenanya, dibutuhkan solusi yang tepat dan cepat agar tidak terjadi krisis kelaparan dan kekurangan pangan di negeri ini.
Hal inilah yang menjadi pokok bahasan dalam Seminar Nasional 6th Agricultural Farming System Competition (Agrifasco), Minggu (7/2/2021). Seminar ini merupakan satu dari dua mata acara dalam kegiatan Agrifasco yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Rekayasa Pertanian (HIMAREKTA) ‘Agrapana’ ITB setiap tahun. “Memperkuat Ketahanan Pangan di Tengah Pandemi: Meningkatkan Hasil Pertanian dengan Rekayasa Sistem” menjadi tema umum yang diusung dari kegiatan Agrifasco tahun ini.
Dekan Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB Dr. Endah Sulistyawati, S.Si., Ph.D secara pribadi menaruh harapan besar kepada kaum muda untuk terjun di bidang pertanian dan berperan aktif dalam mengakselerasi kemajuan pertanian di Indonesia. Dengan adanya acara ini, diharapkan semangat juang dan kesadaran masyarakat Indonesia dapat berkembang untuk berkolaborasi dalam mengembangkan ide, gagasan, dan inovasi sehingga mendapatkan solusi atas segala permasalahan yang dihadapi dalam pertanian.
Dian Akbar Setiawan, Mahasiswa Rekayasa Pertanian 2019, memaparkan sekilas kondisi dan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia dalam mencapai ketahanan pangan sebelum seminar dimulai. Dian menyebutkan bahwa berbagai tantangan dari dalam dan luar Indonesia sangat mempengaruhi kondisi pertanian Nasional. Berbagai isu seperti pemanasan global, peningkatan jumlah air, keterbatasan lahan, peningkatan jumlah penduduk dan tingkat konsumsi, hingga pandemi Covid-19 disebut sebagai masalah yang menghambat Indonesia dalam mencapai ketahanan pangan. “Dan ditakutkan di masa depan banyak sekali rakyat Indonesia yang tidak kebagian pangan dikarenakan jumlah penduduk yang besar tetapi lahan pertanian kita yang semakin berkurang,” tutur Dian.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian RI Dr. Ir. Suwandi, M.Si. mengemukakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia, terutama selama masa pandemi, dilakukan konsep mekanisasi untuk percepatan dan efisiensi, otomatisasi berbasis IT seperti drone, penekanan integrated farming, konsep zero waste, serta yang tidak kalah penting adalah pengendalian hama terpadu. Beliau menjelaskan, “Ketahanan pangan itu (ada) tiga aspek; aspek ketersediaan atau produksi, aspek distribusi, dan aspek konsumsi. Tiga-tiganya perlu didorong.”
Bersama salah satu alumni ITB Heri Sunarto, integrated farming menuju zero waste diterapkan di lahan sempit dan dianggap dapat menjadi solusi permanen bagi masalah kekeringan. Produktivitas dan efisiensinya yang tinggi serta ramah lingkungan membuat hal ini perlu dipertahankan untuk mengembangkan pertanian Indonesia hingga menjadi warisan bagi generasi berikutnya. “Temukan inovasi-inovasi; tidak hanya di aspek hulu, tetapi juga aspek budidaya. Bagaimana supaya input efisien, penggunaan pupuk dari limbah sekitar, pengendalian hama secara alami, serta pengolahan pascapanen,” pesan Dr. Suwandi.
Selanjutnya dari segi hortikultura, Deputy Managing Director PT. East West Seed Indonesia (Ewindo) Afrizal Gindow mengungkapkan bahwa benih juga terkait langsung dengan ketahanan pangan karena dapat meningkatkan konsumsi pangan alternatif dan menurunkan konsumsi padi. Melalui EWINDO, perusahaan yang menyediakan berbagai benih sayuran dan buah-buahan, beliau berusaha agar petani mendapatkan hasil pertanian terbaik dan masyarakat mampu memperoleh sayur-sayuran atau buah-buahan berkualitas tinggi.
“Kami senantiasa menjaga dan memastikan ketersediaan benih untuk petani Indonesia. Sebagai perusahaan, mengejar revenue itu pasti, namun itu bukan yang utama. Direktur kami selalu menegaskan bahwa alasan kami berada disini adalah karena petani,” ujar Afrizal.
Lain lagi dengan yang dilakukan oleh Eden Farm sebagai sebuah start-up. CEO Eden Farm David Setyadi Gunawan, S.Ars, MBA memaparkan bagaimana peran Start-up dalam mewujudkan swasembada pangan Nasional. Bersama rekan-rekan nya, David mendirikan Eden Farm untuk mendistribusikan sayuran dari tangan petani sampai ke tangan konsumen. “Kita membawa konsep (baru) kepada teman-teman yang tinggal di kota untuk melakukan urban farming dengan cara membawa dananya ke desa,” jelas David.
Ia juga menyampaikan bahwa Eden Farm memiliki value dalam menjaga konsistensi harga dan kualitas produk berdasarkan penelitian para ahli di perusahaanya. “Bila sisi hulu sudah selesai maka sisi hilir juga harus dibenahi. Teknologi sudah baik dalam produksi, namun bila sisi distribusi lemah akan percuma, sehingga hasil tani banyak namun tidak terjual atau dibeli dengan harga murah,” tutur beliau.
Reporter: Ristania Putri Wahyudi (Matematika, 2019) dan Daffa Raditya Farandi (TPB, 2020)