Prof. Endah Sulistyawati lahir di Malang pada tahun 1969. Lulus sebagai Sarjana Biologi dari Institut Teknologi Bandung di tahun 1993, beliau kemudian melanjutkan pendidikan doktor bidang ekologi di Australian National University dan berhasil menamatkan studinya pada tahun 2002.
Beliau mengabdi sebagai dosen di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB sejak tahun 1995. Setelah 27 tahun mengabdi, tepatnya pada 1 November 2022, beliau akhirnya dikukuhkan sebagai Guru Besar ITB.
Sepanjang karirnya, wanita yang hobi traveling dan naik gunung ini telah mempublikasikan 64 makalah dalam bentuk jurnal dan prosiding berskala nasional maupun internasional. Prof. Endah juga pernah menerima berbagai penghargaan dari internal kampus hingga penghargaan Satyalancana Karya Satya dari Presiden RI.
Mengawali orasinya, Prof. Endah menekankan pentingnya peran hutan hujan tropis sebagai penyedia jasa ekosistem yang berguna bagi kehidupan manusia. Namun fenomena deforestasi yang terus berlanjut dalam skala nasional maupun global berpotensi menurunkan jasa ekosistem yang disediakan. Langkah konservasi saja tidak cukup untuk melindungi hutan yang tersisa. Diperlukan upaya kuratif dalam bentuk restorasi hutan skala besar untuk memulihkan ekologi hutan yang telah rusak.
“Hasil yang diharapkan dari suatu restorasi hutan adalah ekosistem yang terpulihkan, yang dapat dicirikan di antaranya berisi susunan spesies yang merupakan karakteristik dari ekosistem referensi dan mengandung komponen spesies asli semaksimal yang dimungkinkan secara praktis,” ujar beliau.
Dalam konteks ekologis, deforestasi merupakan suatu gangguan yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam ekosistem. Fenomena ini ditandai dengan perubahan pada kondisi lingkungan abiotik, komposisi komunitas penyusun ekosistem, serta fungsi ekosistem itu sendiri secara umum. Keseluruhan proses tersebut terjadi secara gradual dalam dalam suatu skema yang disebut suksesi ekologis.
Menrutnya suksesi ekologis memfasilitasi ekosistem untuk memulihkan kondisinya melalui regenerasi alami pasca terjadinya gangguan.
Salah satu ekologi hutan yang sudah sejak lama digunakan sebagai laboratorium alam oleh para peneliti ITB untuk meneliti fenomena suksesi dan restorasi adalah hutan Gunung Papandayan. Penelitian dilakukan terhadap 43 spesies pohon untuk mengetahui fenologi perbungaan dan pembuahan sebagai dasar analisis skema regenerasi alami berupa waktu pemencaran bunga dan buah, serta penyusunan curahan biji.
Kemudian penelitian juga dilakukan di kawasan Tegal Panjang, sebuah padang rumput yang masih dikelilingi hutan utuh namun berulang kali terbakar sejak puluhan tahun lalu. Suksesi hutan sangat sulit terjadi di area ini, bahkan bentuk fisik pohon tidak ditemukan. Hal ini karena tiap terjadi kebakaran, suksesi kembali ke tahap awal yang ditandai dengan kolonisasi dan dominasi ilalang. Padang ilalang akan kembali terbakar sebelum sempat memasuki tahap suksesi selanjutnya berupa munculnya pepohonan. Pola yang sama terjadi secara berulang sehingga pembentukan hutan di Tegal Panjang belum bisa terjadi hingga sekarang.
"Kebakaran berulang yang terjadi selama puluhan tahun telah mereduksi bank biji di tanah dan menyebabkan komunitas pohon tidak berkembang," tambahnya.
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, didapatkan beberapa pemahaman bahwa regenerasi alami berpotensi untuk berjalan lambat meskipun dekat dengan sumber biji. Tetapi akselerasi dapat dilakukan dalam bentuk pemasangan tempat bertengger burung untuk memancing burung pembawa biji ataupun memperbanyak spesies pohon yang ditanam pada awal masa restorasi.
Selain itu, gangguan berulang terbukti dapat memperlambat atau bahkan menghambat pulihnya biodiversitas pohon, sehingga pencegahan terjadinya gangguan menjadi faktor yang sangat penting dalam langkah restorasi.
Informasi karakter spesies pohon juga sangat diperlukan untuk mendukung restorasi mengingat pemilihan spesies harus memperhitungkan waktu berbunga dan berbuah, germinasi, laju pertumbuhan, dan faktor-faktor lain.
Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota 2020)