Advisory Board Sharing Session: Peran Fitofarmaka sebagai Basis Kemandirian Farmasi Nasional
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id — Advisory Board Sharing Session ke-7 kembali digelar dengan mengangkat tema ‘Dinamika Industri Farmasi di Indonesia’ yang dibawakan oleh Ir. Ferry Soetikno, M.Sc., alumni Teknik Kimia ITB yang sekarang menjabat sebagai CEO Dexa Group. Dipandu oleh Dekan Sekolah Farmasi, Prof. apt. I Ketut Adnyana, Ph.D., pembahasan akan difokuskan pada kemandirian bahan baku obat nasional.
Di awal pemaparannya, Ferry menjelaskan bahwa pandemi Covid-19 di awal tahun 2020 menyebabkan kontraksi pasar farmasi sebesar -4,6%. Sebagai perbandingan, sebelum Covid-19 pertumbuhan pasar farmasi berkisar antara 5%-10%. Kondisi ini terjadi sebagai akibat dari supply shock, yaitu kesulitan mendapat bahan baku obat terutama yang berasal dari luar negeri karena 90% bahan baku obat Indonesia masih diimpor. Namun pada tahun 2021, pasar farmasi mengalami titik balik dengan pertumbuhan 18%. Pola pikir masyarakat juga berubah menjadi lebih preventif sebagai hasil dari langkah transformasi kesehatan yang digalakkan pemerintah.
Menimbang situasi tersebut, pada 12 Juni 2020 pemerintah mulai menginstruksikan untuk membangun kemandirian dengan produksi lokal dalam hal bahan baku obat, obat jadi, dan alat kesehatan. Tujuan tersebut akan dicapai dengan membangun sinergi lintas kementerian, lintas komunitas, dan lintas aspek. Hingga saat ini, berbagai program dan kebijakan telah diluncurkan untuk mengelola urgensi kemandirian dalam negeri, seperti Program Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN), Kebijakan Total Kandungan Dalam Negeri (TKDN) untuk e-catalog 2021-2022, Program Bangga Buatan Indonesia (BBI), dan Formularium Fitofarmaka.
“Selama dua tahun berlalu pemerintah bekerja keras dan mengajak seluruh komponen bangsa ini untuk menyukseskan berbagai program yang diluncurkan. Memang setiap program memerlukan waktu untuk beradaptasi, meyakinkan berbagai macam stakeholder, untuk kemudian dirangkum menjadi program yang lebih realistis dan global,” ujar Ferry.
Lebih lanjut, urgensi kemandirian ini juga menjadi hal yang digarisbawahi pada Permenkes Nomor 87 Tahan 2013 tentang Peta Jalan Pengembangan Bahan Baku Obat. Di dalamnya memuat posisi industri farmasi Indonesia sebagai industri strategis nasional yang didukung oleh empat pilar bahan baku, yaitu biological, vaccines, natural, dan sintesa kimia (chemical API). Pergerakan keempat pilar ini mencapai percepatan dalam dua tahun terakhir karena pandemi. Untuk setiap pilar, sudah terdapat beberapa perusahaan industri farmasi bahan baku yang berkomitmen dan berinvestasi di spesifikasinya masing-masing.
Selain itu, pada bulan Oktober 2021 pemerintah melalui BPOM juga turut mendorong pengembangan obat herbal tersandar dan fitofarmaka dalam program Informatorium Obat Modern Asli Indonesia (OMAI) di masa pandemi Covid-19. Program ini pun ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Formularium Fitofarmaka oleh Kementerian Kesehatan.
Ferry juga menambahkan, “Pendampingan diberikan BPOM untuk mendorong pengembangan obat herbal berstandar fitofarmaka ke depannya. Semua ini dilakukan dalam kaitannya dengan kemandirian bahan baku obat nasional. Pendampingan dari BPOM ini juga menggerakkan berbagai komponen yang ada untuk mulai serius dan bersama-sama menghasilkan produk bahan baku obat untuk Indonesia.”
Dengan keanekaragaman hayati di Indonesia yang menduduki peringkat ke-2 di dunia, potensi fitofarmaka sebagai penunjang kemandirian bahan baku obat nasional sangat besar. Hal tersebut menjadi poin penting dalam pengembangan fitofarmaka sebagai produk farmasi berbahan baku natural yang difokuskan untuk produksi dalam negeri melalui pembentukan Satgas Percepatan Pengembangan Fitofarmaka. Program akselerasi ini diharapkan menjadi titik balik yang efektif bagi Indonesia untuk memiliki kemandirian di bidang farmasi mengingat sumber daya nasional yang ada sangat melimpah.
“Kerangka pengembangan fitofarmaka ke depan makin jelas, melibatkan lebih banyak lagi pihak untuk menghasilkan fitofarmaka. Hasil riset yang dilakukan juga sudah lebih dekat ke sisi hilir sehingga tidak hanya berhenti di permukaan, tapi sampai kepada produksi dan komersialisasi nasional,” ujar Ferry di akhir sesi.
Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota, 2022)