AKSANTARA ITB: Jaga Langit Nusantara Lewat Inovasinya
Oleh Zoealya Nabilla Zafra
Editor Zoealya Nabilla Zafra
Gambar 1 Pesawat lipat di udara
(
BANDUNG, itb.ac.id – Keinginan Presiden Republik Indonesia ke-3 periode 1998 - 1999, B.J.
Habibie, untuk memandirikan industri pesawat terbang dalam negeri tampaknya
tidak lagi asing di telinga masyarakat. Lewat PT Dirgantara Indonesia, beliau
berhasil mendirikan industri pesawat terbang pertama dan satu-satunya di Asia
Tenggara. Sayangnya, harapan tersebut terpaksa pupus akibat krisis moneter dua
dekade lalu.
Sebagian mungkin memilih untuk berpangku tangan, namun
sebagian yang lain berani mengambil langkah lebih jauh untuk mewujudkan harapan
Bapak Industri Pesawat Modern Indonesia ini. Seperti Aksantara Institut Teknologi Bandung (ITB), melalui temuan-temuan
tanpa batas mereka khususnya di bidang unmanned
aerial vehicle (UAV); pesawat terbang tanpa awak untuk menerbangkannya.
Kronika Aksantara ITB
Gambar 2 Tim dari Aksantara ITB
(Sumber: dokumentasi narasumber)
Diambil dari bahasa Sansekerta, Aksantara yang berarti
“Penjaga Langit Nusantara” ini lahir di bawah Keluarga Mahasiswa Penerbangan
(KMPN) ITB pada tahun 2013. Hanya dengan bersumberdayakan 13 anggota, Aksantara
ITB berhasil meraih penghargaan desain terbaik pada ajang Kontes Robot Terbang Indonesia
(KRTI) 2013 yang diselenggarakan di Kampus ITB Jatinangor.
Pada tahun 2014, Aksantara ITB kembali menyabet juara di
ajang prestigius tersebut, yakni penghargaan juara pertama, desain terbaik, dan presentasi terbaik, yang membawa mereka
ke posisi juara umum KRTI 2014. Karena kebutuhan sumber daya yang semakin
meningkat, Aksantara ITB memutuskan untuk memperluas cakupan kriteria anggota
Aksantara, dari yang awalnya dibawahi KMPN ITB, hingga terbuka untuk seluruh
mahasiswa ITB.
Pada tahun 2017, Aksantara ITB berhasil meluncurkan empat
buah wahana baru yang berhasil membawa pulang beberapa piala pada KRTI 2017
yang diselenggarakan oleh Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) di Pasuruan,
Jawa Timur: di bidang Fixed Wing UAV
dengan desain terbaiknya, di bidang Racing
Plane dengan penerapan kompleksitas teknologinya, pesawat lipat di bidang Technology Development dengan desain
terbaik dan juara kedua, dan di bidang Vertically
Take Off and Landing dengan technical
award-nya.
Si Licin Fixed Wing UAV
Gambar 3 Tim Fixed Wing Aksantara ITB
(Sumber: dokumentasi narasumber)
Wahana yang memiliki berat 5-6 kg dan panjang sayap 2,4 m ini
sering kali dimanfaatkan dalam bidang mapping
(pemetaan) dan monitoring (pengawasan).
Oleh karena itu, diperlukan dua buah kamera; yang dipasang di bagian depan
pesawat sebagai kamera pengawasan dan di belly
(perut) pesawat sebagai kamera pemetaan.
Tim dari Aksantara ITB yang diketuai oleh Putra Sugesti
(Tenik Mesin 2015) ini memilih desain yang gamblang untuk wahana ini, untuk
meningkatkan kemulusan terbang dan mengurangi hambatan yang dapat mengurangi
kecepatan pesawat. Salah satunya, dengan menempatkan antena pesawat di dalam
ujung sayap.
Jenis wahana ini harus mampu menangkap gambar dari area
konstruksi seluas 1,5 x 1,5 km2, yang nantinya akan dikolase dan
diterjemahkan menjadi satu bacaan pemetaan yang rampung. Untuk memenuhi fungsi
ini, fixed wing UAV harus mampu
memiliki daya tahan yang tinggi sehingga memungkinkan wahana untuk terbang cukup
lama, yakni 40-50 menit.
Gambar ditangkap oleh kamera pemetaan yang terletak di belly wahana selang beberapa waktu
tergantung dari ketinggian terbang pesawat, kemudian hasil-hasil tangkapan
tersebut akan disusun sedemikian rupa sehingga dapat menunjukkan hasil bacaan daerah
tersebut. Pemrosesan gambar dilakukan melalui komputer setelah pesawat mendarat dengan metode rendering.
Ide utama dari fixed
wing UAV karya Aksantara ITB adalah (1) kemampuan untuk mengangkut beban
lebih berat, (2) clear surface, yang
ditujukan untuk mengurangi bagian
sistem yang berada diluar permukaan UAV sehingga akan mengurangi gaya hambat, (3) kamera yang bisa dikontrol dari tanah,
dan (4) pelacak antena, yang harapannya mampu melacak pergerakan pesawat dan bergerak
dengan sendirinya mengikuti pesawat
tersebut.
Pada mulanya,
pesawat lepas landas menggunakan launcher yang harus
disusun terlebih dahulu. Namun, karena alat ini cukup berat dan membutuhkan waktu
pemasangan dan peluncuran yang lama, metode peluncuran
diubah menjadi bungee launch, yakni dengan meniru cara kerja ketapel sehingga
memungkinkan pesawat untuk lepas landas lebih mudah.
Cepat Tepat Racing Plane
Gambar 4 Atas: Racing Plane, Bawah: Fixed Wing UAV
(Sumber: dokumentasi penulis)
Misi utama dari wahana tipe ini adalah mencapai suatu jarak
tertentu dengan waktu secepat mungkin. Untuk memenuhi misi ini, racing plane membutuhkan electric ducted fan (EDF); motor yang
dilindungi selongsong untuk meningkatkan
efisiensi thrust
dinamik wahana. Motor
ini memiliki baling-baling yang relatif lebih pendek dan banyak daripada baling-baling pada
umumnya yang memungkinkan motor untuk beroperasi pada kecepatan putaran yang
lebih tinggi dengan
spesifikasi 1400 kV.
Racing plane buatan tim yang diketuai oleh Aji Wira Sumbaga (Fisika Teknik 2015) ini dapat membawa beban hingga 200 gram dan memiliki kecepatan sebesar 180 km/jam. Walaupun begitu, wahana ini hanya mampu terbang maksimal 2 menit karena konsumsi arusnya yang sangat tinggi.
Gambar 5 Atas: Racing Plane, Bawah: Fixed Wing UAV
(Sumber: dokumentasi penulis)
Sama halnya dengan fixed
wing UAV, racing plane juga memiliki beberapa ide utama: (1) exotic maneuver, yang artinya pesawat
mampu belok dengan mulus, (2) perbandingan thrust
to weight yang tinggi untuk memunginkan pesawat untuk terbang lebih gesit, dan
(3) kemudahan untuk peluncuran pesawat, yang terpenuhi dengan memanfaatkan alat
peluncur bungee, sama seperti alat
peluncur fixed wing UAV.
Pesawat Lipat, “Kembang” Teknologi UAV yang Mumpuni
Gambar 6 Tim Aksantara ITB dengan Pesawat Lipatnya
(Sumber: dokumentasi narasumber)
Untuk kategori technology
development ini, konsep
dasar dan ide pengembangan teknologi yang dapat dibawakan sangat luas dan terbuka.
Aksantara ITB memanfaatkan keterbukaan ini untuk mengembangkan pesawat
lipat—pesawat dengan panjang 1,5 m dan lebar 1,2 m yang dapat dimasukkan ke
dalam sebuah tabung
berdiameter 6 inchi,
atau kira-kira 15 cm.
Pesawat lipat ini memiliki sistem penunjang untuk melaksanakan misi
seperti yang dikatakan oleh ketua tim Nathan (Teknik Dirgantara 2015),
yaitu Tube Launch Folding Wing UAV with
Coordinated Air Relay System. Terdapat tiga poin utama: (1) Tube Launch; peluncuran dari tube, yang
memungkinkan pesawat untuk diluncurkan dari dalam tube dengan memanfaatkan tekanan dari dalam tabung yang
dikompresi hingga 7-8
bar, (2) Folding Wing; sayap pesawat
yang bisa dilipat, dan (3) Coordinated
Air Relay System; sistem
yang mampu mengkontrol lebh dari 1 UAV yang dapat saling berkoordinasi dan
transfer data dalam melaksanakan misi.
Ide utama dari pesawat lipat ini adalah (1) kemudahan untuk
dibawa, yang terpenuhi oleh kemampuan pesawat untuk dilipat dan dimasukkan ke
dalam tube 6 inchi, (2)
daya luncur tinggi, yang terpenuhi dengan adanya tabung bertekanan 7-8 bar yang dapat meluncurkan
pesawat tanpa launcher, (3) coordinated air relay system, dan (4) UAV berkecepatan tinggi.
Wahana ini berhasil meraih desain terbaik dan juara kedua
pada KRTI 2017.
Vertical Take Off and Landing, Wahana Untuk Bencana
Gambar 7 Tim VTOL Aksantara ITB
(Sumber: dokumentasi narasumber)
Misi dari wahana yang diketuai oleh Muhammad Falih Akbar
(Teknik Elektro 2016) ini adalah untuk mengambil dan menjatuhkan survival kits pada saat bencana. Wahana harus
mampu untuk mengangkut beban, mendeteksi tempat yang tepat untuk menjatuhkan
beban, dan melepaskan beban dengan kecepatan yang tepat untuk mencegah
terjadinya kecelakaan.
Pesawat yang memiliki berat sekurang-kurangnya 5 kg ini mampu mengangkut beban hingga mencapai 2 kg, hampir setengah dari berat wahana ini sendiri.
Gambar 8 Detail Wahana VTOL
(Sumber: dokumentasi narasumber)
Ide utama dari pesawat ini adalah berbentuk drone dengan jumlah rotor enam buah (hexarotor) untuk meningkatkan kestabilan
wahana, mudah dan cepat untuk mengangkat dan menjatuhkan beban, dan memiliki alat pembawa beban yang
bersifat dual elektromagnetik.
Kedepannya
“Harapannya adalah memajukan kemandirian teknologi UAV di
Indonesia,” tutur Ketua Aksantara ITB, Nathan (Teknik Dirgantara 2015).