Aksantara ITB: Kembangkan Pesawat Multiguna Tanpa Awak

Oleh Diviezetha Astrella Thamrin

Editor Diviezetha Astrella Thamrin

BANDUNG, itb.ac.id - Dewasa ini, teknologi terus berkembang dengan pesat pada segala bidang, salah satunya pada instrumentasi kontrol dan automasi. Dengan kolaborasi dengan bidang aeronautika, perkembangan ini melahirkan teknologi yang beberapa tahun belakangan ini mulai menjadi sorotan peneliti serta pengembang robot terbang, unmanned aerial vehicle (UAV). UAV, atau yang lebih dikenal dengan sebutan pesawat tanpa awak, juga berhasil memancing minat mahasiswa ITB yang terlihat semakin meningkat dari tahun ke tahun. Untuk mewadahi minat mahasiswa yang sangat banyak inilah dibentuk Aksantara, sebuah komunitas berlatar belakang keteknikan yang menggeluti bidang UAV.

Dibentuk pada tahun 2013, Aksantara mengadopsi nama sebagai pencitraannya dari bahasa Sansekerta, yang berarti "Sang Penjaga Langit". Saat ini, Tim Aksantara tengah mengembangkan sebuah UAV yang diberi nama Aksantara pula di bawah bimbingan Dr. Ing. M. Agoes Moelyadi ST, M.Sc., dosen Aeronautika dan Astronautika ITB, serta Prof. Dr. Ir. Bambang Riyanto Trilaksono, dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB.

Dengan mayoritas mahasiswa dari program studi Aeronautika dan Astronautika, Aksantara terdiri pula dari mahasiswasmahasiswa lintas program studi di ITB seperti Teknik Mesin, Fisika Teknik, Teknik Geologi, Seni Rupa, dan Teknik Industri. Mahasiswa dari berbagai program studi di ITB ini ikut berpartisipasi dalam merancang sebuah UAV yang inovatif dengan mengaplikasikan keilmuan teknik mereka yang terstruktur yang diperoleh pada bangku perkuliahan. Tim Aksantara memproduksi sendiri beberapa komponen krusial dengan mengaplikasikan keilmuannya, sekaligus bekerja sama pula dengan pihak ketiga untuk produksi komponen lainnya.

Praktis dan Unggul dalam Kemampuan Jelajah

Berbeda dengan pesawat-pesawat tanpa awak yang pada umumnya bersayap putar (rotary wing), Aksantara memiliki keunggulan berupa desain sayap tetap (fixed wing) yang dimilikinya. Dengan desain sayap tetapnya, Aksantara cenderung memiliki kemampuan jelajah yang lebih jauh dan relatif lebih unggul dalam membawa beban berat. Desain sayap ini juga menjadikan pemasangan maupun pelepasan sayap jauh lebih praktis pada proses perakitan, sehingga UAV Aksantara dapat dipindahkan dengan mudah dan hanya membutuhkan waktu yang singkat untuk persiapan peluncurannya.

Pesawat tanpa awak dengan panjang 1,5 meter dan rentang sayap 2 meter ini diharapkan bermanfaat untuk kegiatan mahasiswa di kampus. Menurut Rivaldy Varianto (Aeronautika dan Astronautika 2010), Ketua Tim Aksantara ITB, pesawat yang dikembangkan Aksantara ini diharapkan dapat membantu pemetaan daerah untuk kegiatan pengabdian masyarakat, dokumentasi udara untuk acara-acara tertentu, serta survey kandungan zat di udara. "Selain itu, pesawat ini juga dapat dimanfaatkan untuk membantu pencarian korban bencana alam dan transportasi bahan makanan," ujar Rivaldy.

Aksantara juga tidak membutuhkan roda untuk pendaratan operasionalnya sehingga dapat diterbangkan nyaris dimana saja. Mekanisme pengendaliannya pun tergolong praktis, dengan antena berfrekuensi tertentu dan board PixHawk. Mekanisme kendali otomatis ini menyebabkan Aksantara tidak memerlukan pilot dalam pengendalian terbangnya apabila telah mencapai ketinggian tertentu. Dengan mekanisme ini, UAV Aksantara ditargetkan dapat terbang secara otomatis tanpa campur tangan pilot dengan durasi terbang selama 30 menit.

Ringan Namun Kokoh

Desain Aksantara pada tahun 2014 saat ini merupakan revisi dan pengembangan lanjutan dari desain awal inisiasi. Tim Aksantara terus melakukan evaluasi dari desain sebelumnya dan merombak desain badan, dimana sambungan antara badan dan ekor pesawat yang tadinya berjumlah 2 buah direduksi hingga menjadi 1 buah saja. Pengurangan sambungan antara badan dan ekor ini dilakukan untuk mengurangi bobot pesawat. Selain itu, bentuk badan pun didesain lebih padat sehingga Aksantara bersifat lebih dinamis.

Untuk meringankan bobot Aksantara, styrofoam yang dilapisi dengan fiber composite pun digunakan sebagai material utamanya, ditambah dengan aluminium dan besi untuk beberapa komponen tertentu. Pemilihan material ini didasarkan pada pertimbangan keringanan bobot dan juga kekuatan materialnya. Dengan paduan styrofoam dan fiber composite, Tim Aksantara berusaha menciptakan sebuah UAV yang ringan namun kokoh. "Meskipun ringan, Aksantara tetap mampu menahan gaya-gaya yang terjadi selama pesawat terbang datar maupun bermanuver," papar Rivaldy.

UAV Masa Depan Nasional

Saat ini, Tim Aksantara tengah mempersiapkan diri pula untuk mengikuti Kontes Robot Terbang Indonesia (KRTI) yang akan digelar akhir tahun. Untuk menguji desain serta ketangguhannya sebagai syarat partisipasi dalam kontes berskala nasional tersebut, Aksantara juga telah melakukan beberapa kali uji terbang di Pangkalan Angkata Udara Sulaeman, Kopo, Bandung. Selain itu, Tim Aksantara juga memiliki target untuk dapat mengudara dan dimanfaatkan demi kepentingan nasional pada tahun 2015.

"Aksantara tergabung dari orang-orang bersemangat tinggi dan gemar berkarya. Dengan modal ini, kami berharap dapat menjadi komunitas yang kompak dan menghasilkan sebuah UAV yang berpengaruh pada dunia penerbangan dan pertahanan negara di masa depan," tutup Rivaldy.