Amrus Natalsya dan Bumi Tarung : Mengungkap Sejarah Era 60-an

Oleh niken

Editor niken

BANDUNG, itb.ac.id – Setelah sebelumnya mengadakan bedah buku pada bulan Juni di Sanggar Bumi Tarung, Reform Art Management (RAM) mengadakan kembali diskusi dan bedah buku "Amrus Natalsya dan Bumi Tarung" di Galeri Soemardja FSRD ITB, Kamis (31/7) siang. Buku hasil karya Misbach Tamrin ini berisi data–data historis konstelasi senirupa dan politik era 1960–an, dalam ramuan biografi Amrus Natalsya. Politik era 60–an secara keseluruhan nyaris menunjukkan fakta–fakta yang belum bisa kita yakini. Kesangsian tersebut timbul karena seseungguhnya saat itu terjadi pergolakan politik yang luar biasa. Namun, sejarah nampaknya tidak dapat menyentuh hal itu secara langsung. Yang menjadi pertanyaan, apakah seniman tidak perduli dengan keadaa politik saat itu? Pada tahun 1961, Amrus Natalsya bersama teman–temannya dari Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), antara lain Isa Hasanda, Misbah Thamrin dan Joko Pekik, mendirikan Sanggar Bumi Tarung, yang berada di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di Yogyakarta. Pada masa tersebut, Lekra termasuk salah satu lembaga kebudayaan yang aktif untuk melakukan pendidikan politik dikalangan seniman. Selain itu, Lekra dianggap memiliki konsep yang jelas tentang kemana dan bagaimana kebudayaan Indonesia akan diarahkan selanjutnya. Rakyat Indonesia merupakan bagian dari rakyat dunia. Pada saat itu (1961), rakyat sedang bertarung, yaitu antara neo kolonialisme dengan kekuatan sosialis, atau 'old deforce' dengan 'nefocre'. 'Neforce' adalah kekuatan sosialis, nasional yang progresif, dan rakyat yang anti penindasan. 'Old deforce' adalah kapitalis yang menjajah. Rakyat Indonesia waktu itu sebagian besar merupakan buruh dan tani. Inilah yang menjadi dasar garapan Sanggar Bumi Tarung, yaitu menggambarkan perjuangan peranan buruh dan tani. "Dalam sudut pandang akademis, dibahas bahwa buku ini memiliki beberapa urgensi, diantaranya karena buku ini berisi fakta historis senirupa dan politik pada era 60–an yang dapat melengkapi sejarah senirupa Indonesia, selain itu buku ini merupakan konfirmasi toeritik terhadap prasangka politik yang menditorsi pemahaman sejarah Indonesia," ungkap Bambang Subarnas, salah satu pembicara dalam bedah buku ini. Hadir pula dalam kesempatan ini Heru Hikayat sebagai moderator, Aminudin Siregar dan Alex Supartono sebagai pembicara. Acara bedah buku dan diskusi merupakan rangkaian dalam peluncuran buku "Amrus Natalsya dan Bumi Tarung". Diharapkan, buku ini dapat menjadi sumbangan yang penting agar bangsa ini dapat terus menerus mendapatkan konfirmasi kebenaran.