Etnoastronomi, Ilmu Astronomi Lewat Pendekatan Budaya dan Kearifan Lokal
Oleh Adi Permana
Editor Adi Permana
BANDUNG, itb.ac.id—LPPM ITB dan Design Ethnography Lab. FSRD ITB mengadakan gelar wicara Karsa Loka Vol. 009 pada Jumat (16/7/2021) melalui kanal Zoom dan Youtube. Gelar wicara ini menghadirkan Dr. Hakim Luthfi Malasan, M.Sc., dosen Astronomi FMIPA ITB, yang membawakan presentasi bertajuk “Edukasi Astronomi kepada Pegiat Pendidikan melalui Pendekatan Budaya dan Kearifan lokal”.
Pengetahuan mengenai ilmu astronomi telah memiliki sejarah yang panjang di Indonesia dan memiliki relasi yang kuat dengan budaya masyarakat. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa jauh sebelum sains dikenal di Indonesia, mereka telah memiliki wawasan tentang benda-benda angkasa, sistem kalender untuk sistem bertani, dan navigasi pelayaran.
Kearifan lokal terkait astronomi memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan pada era sains modern, salah satunya melalui edukasi di sekolah. Menurut Dr. Hakim, guru dan pendidik memiliki peran yang penting dalam menanggapi tren generasi muda yang juga mulai menggandrungi ilmu tersebut.
Di sisi lain, ia juga mengungkapkan fakta bahwa pembelajaran ilmu astronomi sering terhambat karena guru kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, investasi fasilitas penunjang yang mahal, serta tidak adanya kurikulum spesifik yang secara khusus membahas astronomi. “Situasi ini membuat guru kesulitan dalam mengambil posisi untuk mengajarkan astronomi kepada siswanya,” ujar Dr. Hakim.
Berangkat dari keresahan para pegiat pendidikan, Dr. Hakim dan timnya mengembangkan sebuah program berdasarkan panduan IAU-Network for Astronomy School Education (NASE). Melalui beberapa kuliah, workshop, dan ekskursi, NASE mengajak guru-guru sekolah untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan mengajar ilmu astronomi.
Selain itu, workshop NASE juga memberikan fasilitas untuk membuat alat-alat peraga sederhana demi menunjang pengajaran sehingga dapat meningkatkan minat belajar astronomi sejak dini. “Bukan hanya mendengar, guru juga diajak untuk mempraktikkan dan memeragakan alat yang mereka buat,” lanjut Dr. Hakim.
Bahkan di masa pandemi, antusiasme 74 partisipan dari seluruh Indonesia tidak surut untuk menghadiri workshop daring NASE 2020. Dr. Hakim juga turut membagikan hasil diskusi mereka mengenai pemanfaatan astronomi oleh para leluhur. Salah satunya adalah situs Candi Ceto di Jawa Tengah yang dianggap berkaitan erat dengan suku Inka Maya dan memiliki ruangan semacam observatorium kuno di dalamnya.
Dr. Hakim menutup pemaparannya dengan sebuah kutipan menarik dari John Ruskin, “Alam melukis untuk kita, hari demi hari, memberikan keindahan yang tak terbatas”.
Reporter: Sekar Dianwidi B. (Rekayasa Hayati, 2019)