Ardhi Rasy Wardhana : Perubahan Besar Bermula dari Pengorbanan Kecil
Oleh Gilang Audi Pahlevi
Editor Gilang Audi Pahlevi
BANDUNG, itb.ac.id- Setelah resmi didaulat menjadi Ketua Kabinet
Keluarga Mahasiswa (K3M) ITB, seantero kampus Ganesha tentu mengetahui Ardhi
Rasy Wardhana. Pria kelahiran 8 Mei 1995 ini sudah diketahui orang-orang
sebagai Koordinator Lapangan OSKM ITB 2015. Ada pun orang-orang juga mengetahui
kiprah-kiprah lain dari seorang Ardhi dalam konstelasi kemahasiswaan ITB. Tapi mungkin
hanya sedikit orang yang mengenal Ardhi di luar segala embel-embel kegiatan
kemahasiswaannya. Apa yang menginspirasi Ardhi, bagaimana masa kecilnya atau
sekedar apa hobinya mungkin tidak banyak yang tahu jawabnya. Padahal peribahasa
“tak kenal maka tak sayang” sudah banyak diamini orang. Jadi, siapakah Ardhi
Rasy Wardhana?
Berkenalan Dengan Nasionalisme Sejak Kecil
Ardhi merupakan anak bungsu dari
dua bersaudara. Kedua orang tuanya berasal dari kalangan patriot militer.
Ayahnya seorang penerbang TNI Angkatan Udara dan ibunya adalah perawat di matra
yang sama. Keluarga besar Ardhi pun banyak yang berasal dari tentara dan
polisi. Meski demikian, Ardhi dan kakaknya memutuskan untuk menapaki jalur
sipil. Ardhi kecil tumbuh di lingkungan yang begitu heterogen. Teman-teman mainnya
di perumahan Angkatan Udara berasal dari berbagai pelosok daerah Indonesia,
sesama anak dari prajurit abdi negara yang siap diterjunkan kemanapun. Hampir
setiap sore di masa kecilnya, Ardhi pergi keluar rumah untuk bermain bola,
basket atau permainan tradisional seperti gasing, kelereng, congklak hingga
petak umpet.
Pria yang mengaku gadget
pertamanya adalah tamagochi ini
memiliki hobi membaca, olahraga dan diskusi. Buku-buku bergenre kenegaraan, sosial politik dan kepemimpinan adalah yang
dipilih Ardhi sebagai menu santapannya. Tak selamanya Ardhi bergumul dengan
pemikiran bapak bangsa seperti Soekarno, Hatta dan Sjahrir. Ia menjadikan
buku-buku novel fiksi seperti The
Alchemist karya Paulo Coelho hingga Harry
Potter gubahan J.K. Rowling sebagai selingan.
Jauh sebelum membaca berbagai
buku tersebut, idealisme Ardhi justru lebih dulu dibangun melalui lingkungan
keluarganya. Tentu prinsip NKRI harga mati sering ia dengar. Bagi Ardhi,
anggota keluarga yang paling berjasa dalam memupuk rasa nasionalisme Ardhi
adalah ibunya. Ketika duduk di bangku SMP, ibunya menjadi Kepala Subdirektorat
Pengkajian Politik di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas). Karena jalan menuju
sekolah Ardhi dan kantor ibunya searah, ia pun berangkat sekolah bersama dengan
ibunya. Di perjalanan, ibunya sering mengajak Ardhi berbincang mengenai isu
kenegaraan yang tengah terjadi. Melalui quality
time antara ibu dan anak tersebut, terpupuk rasa nasionalisme dalam diri
Ardhi. Namun pada tahap ini, yang dirasakan Ardhi masih berupa hasil doktrin,
bukan hasil penelusuran sendiri.
Barulahmenginjak masa SMA, Ardhi
memulai penelusuran mandirinya. Dengan masuk ke organisasi Perwakilan Kelas,
Ardhi berkenalan dengan dasar-dasar birokrasi dan legislasi. Dengan bergabung
ke komunitas pecinta alam, Ardhi melihat berbagai wilayah Indonesia, keindahan
serta polah manusianya. Persis seperti yang ia baca di buku-buku Soe Hok Gie,
kecintaannya terhadap Indonesia semakin bertambah begitu ia berinteraksi
langsung dengan panorama ibu pertiwi. Segala proses pembelajaran dari kecil inilah
yang mengukuhkan perasaan dan pandangan Ardhi terhadap negaranya.
Menjejaki Jalan Aktivisme
Sebagaimana mahasiswa yang baru
masuk ke dunia universitas, Ardhi pun mencari-cari bagaimana sosok mahasiswa
yang ideal. Berbekal buku-buku Soe Hok Gie yang telah ia baca sebelumnya, Ardhi
mantap meyakini bahwa mahasiswa yang ideal adalah yang melakukan aktivisme.
Aktivisme yang ia yakini bukanlah menjadi pejabat kampus, melainkan menjadi
orang yang selalu peduli dan aktif melakukan sesuatu untuk mengubah kondisi
sekitarnya menuju keidealan yang orang itu yakini. Bagi Ardhi, aktivis adalah
orang-orang yang selalu gelisah dan giat berusaha memberi kontribusinya kepada
lingkungan sekitarnya. Adapun berbagai tanggung jawab yang pernah ia emban selama
mengenyam pendidikan di ITB hanyalah sebagai alat baginya untuk berkontribusi.
Pun begitu dengan K3M hanyalah sebagai
alat bagi Ardhi untuk proliferasi semangat dan nilai yang diusung yakni gotong
royong. Ada satu pengalaman yang membuat Ardhi ingin menanamkan nilai gotong
royong ke dalam KM-ITB. Tahun lalu ia pergi berkeliling pulau Jawa untuk
mengunjungi keluarga dan teman-temannya. Ketika ia tiba di sebuah desa di Solo,
terdapat budaya yang disebut sambatan.
Sambatan ini adalah praktik nyata
dari gotong royong. Sebagai contoh, masyarakat di desa tersebut bersama-sama
membantu warga yang sedang memperbaiki rumah. Jika ada orang yang sedang
memiliki pekerjaan di sawah atau berdagang, maka pekerjaan tersebut akan
ditinggalkan untuk mendahulukan membantu orang lain yang sedang memperbaiki
rumah. Mereka sadar untuk terus saling membantu, sadar untuk berkontribusi bagi
satu entitas bersama yakni desa mereka. Kesadaran itulah yang sangat ingin
ditanamkan Ardhi dalam KM-ITB. Kesadaran yang menurut Heri Ahmadi, mantan Ketua
Dewan Mahasiswa (DM) ITB 1978, telah lama hilang dari ITB yakni rasa satu
KM-ITB dan kerelaan untuk memberi kontribusi setelah menyingkirkan ego
masing-masing terlebih dahulu.
Pada akhir obrolan dengan Ardhi,
ia berpesan bahwa hal yang paling mendasar dalam banyak hal adalah pengorbanan.
“Hal utama yang harus kita kejar adalah
bagaimana caranya kita mau rela berkorban untuk satu sama lain karena rela
berkorban adalah sebuah kunci untuk
nilai-nilai yang lebih besar lagi. Semoga KM ITB memiliki rasa pengorbanan yang
cukup besar, dan mau untuk menyampaikan pengorbanan ini dalam bentuk yang lebih
nyata. Semoga KM ITB juga bisa menghasilkan produk-produk dan mencapai tujuan-tujuan
yang akhirnya dapat menjadi suar pergerakan,” tutup Ardhi.