Balai Kesehatan TI 2004: Ospek Event-Oriented

Oleh Krisna Murti

Editor Krisna Murti

Pagi itu, 27 Februari 2005, dua buah tenda berwarna abu-abu didirikan di pelataran parkir Bumi Medika Ganesha. Mulai jam 9 pagi hampir tiga ratus peserta dari daerah sekitar ITB datang untuk menghadiri Panti Kesehatan yang diadakan di bawah kedua tenda tadi. Panitia-panitia berbaju biru terlihat sibuk membantu para peserta; kerja mereka profesional. Ketika hujan datang, ponco-ponco yang telah disiapkan panitia diberikan kepada peserta dengan cekatan. Sebuah bakti sosial, tentunya. Salah satu dari banyak acara yang ada di ITB setiap tahunnya. Tapi bakti sosial ini sedikit berbeda dari biasanya. Mengapa? Karena semua panitia adalah peserta juga dalam acara yang lain. Mereka merupakan peserta acara penerimaan anggota baru Mahasiswa Teknik Industri. Mereka menciptakan Panti Kesehatan ini (termasuk pula acara donor darah tanggal 24 lalu) sepenuhnya sebagai tugas Orientasi Pengenalan Kampus (Ospek). Ospek, perploncoan, MPAM maupun PPAB--apapun namanya, konsep ospek telah ada sejak institut ini masih muda. Sebuah foto mahasiswa-mahasiswa Techniche Hoogeschool tahun 1923 menunjukkan senior-senior yang tertawa-tawa di atas kursi sementara junior-junior mereka -- yang dibotaki -- duduk di bawah sambil memegang botol serta piring kosong layaknya pengemis. Dan hingga kini minggu pagi di ITB dipenuhi derap langkah junior-junior, lengkap dengan yel-yel yang bernada hampir sama. Bila tradisi kita definisikan sebagai status quo yang bertahan puluhan tahun, ospek ITB sudah dapat kita sebut tradisi. Ospek rata-rata berformat sama: Seorang danlap (komandan lapangan) yang berdiri di depan, memimpin para teklap (teknis lapangan) yang berteriak-teriak di barisan. Tugas peserta adalah menjawab pertanyaan yang dilontarkan, mengeluarkan pendapat, serta -- tentu saja -- push up dan sit up. Semua atas nama konsolidasi angkatan. Semua atas nama penyatuan. Selain itu, diharapkan dapat menumbuhkan sifat-sifat positif. “Ospek itu bisa ngasih kita soft skill,” menurut Aditya Teguh, salah seorang Danlap Teknik Lingkungan. “Misalnya kepemimpinan. Dan kalo ditanya kenapa harus dengan cara militeristik, ya memang military style lebih efektif untuk membangun sistem wibawa dan mendisiplinkan. Tentunya panitia harus bagus, gak boleh sembarangan. Harus punya kualifikasi. Harus ngikutin kode etik.” Pendek kata, panitia mempunyai tanggung jawab besar. Mengapa? Karena perkataan mereka di panggung ospek akan tertanam sangat dalam di benak seorang peserta. Ibarat menusukkan pisau hangat ke dalam mentega. Tentunya panitia harus lebih rajin daripada peserta. Panitia harus banyak mengontrol diri, mengedit ucapan-ucapannya sebelum dilontarkan. Sayang, tidak semua himpunan mampu melatih panitia sedemikian rupa,walaupun semua anggotanya -- baik yang terlatih maupun tidak -- diperbolehkan dalam ospek. Efeknya? Sulit untuk merencanakan sebuah ospek, dan sulit pula untuk menjalaninya. Miskomunikasi antar panitia menciptakan keadaan yang membingungkan untuk panitia dan peserta. Keadaan ultra-disipliner yang digabungkan dengan perploncoan fisik menambah beban mental di pihak peserta. Apalagi bila kedua hal ini digunakan tanpa tanggung jawab. “Ngapain sih lari-lari atau push-up?” kata Ardhaniswarie, seorang mahasiswi Seni Rupa angkatan 2004. “Memangnya nanti di kerjaan kayak gitu?” Arie mengaku puas dengan sistem ospek SR yang event-oriented. Keras, namun mementingkan sebuah acara. Keluarga Mahasiswa Seni Rupa memang unik; ospek KMSR menggunakan sistem event organizing untuk menciptakan konsolidasi di angkatan baru. Logikanya, individu-individu di dalam angkatan akan saling mengenal dengan melaksanakan dan merencanakan acara. Di bawah tekanan, tentunya; tapi diberi kebebasan untuk menentukan tugas masing-masing. Kembali ke kedua tenda abu-abu di Bumi Medika Ganesha tadi. Di sini diadakan sebuah acara besar yang dirancang oleh angkatan bawah Teknik Industri. Acara yang besar dan sosial. Acara dua hari yang memakan dana lebih dari 17 juta. Tak kurang dari 200 buah poster dicetak untuk acara ini, begitu pula dengan 3 buah spanduk dan 151 buah kaos panitia. Tentu saja obat-obatan juga dibeli dalam jumlah banyak untuk acara ini. Pada awal acara Balai Kesehatan, para LO menjemput para peserta (yang telah diberikan kupon perawatan gratis beberapa hari sebelumnya) dengan angkot, mobil atau payung. Peserta kemudian diberikan penyuluhan oleh pembicara-pembicara dari Departemen Kesehatan. Lalu, mereka dipersilahkan untuk menjalani medical checkup bersama dokter-dokter dari FK Unpad. Para dokter memeriksa para peserta dan mencoba menangani dengan obat yang tersedia. Bila obat tidak tersedia, sebuah resep akan dituliskan. Panitia acara terorganisir dengan baik dalam divisi-divisi. Ada divisi humas, konsumsi, publikasi, acara, transportasi, peralatan, dana usaha, serta dokumentasi. Divisi-divisi ini dikepalai badan pengurus harian. Sebuah acara yang profesional, memang. Selain itu, acara ini mirip dengan konsep ospek Seni Rupa. Tapi bagaimana efeknya terhadap konsolidasi angkatan? “Jauh lebih berguna,” kata Bin Anindita, ketua panitia. “Kita jadi lebih proaktif, lebih nyatu, daripada kalau cuma diteriaki. Karena untuk membuat acara ini kami harus intens berkomunikasi, kita jadi lebih mengenal. Ikatan kita jadi semakin kuat, dan kita saling menyemangati. Karena kita punya tujuan sama, ya acara ini.” Pengalaman tentu saja didapat; begitu pula dengan latihan organisasi. Tapi, yang paling penting menurut Bin, semuanya terasa lebih real: “Kita bisa lihat, kita capek buat apa.” Apakah selama ini banyak mahasiswa muda yang tidak mengerti mereka tujuan mereka dibuat capek? Yang tidak pernah melihat hasil nyata dari ospek yang berjalan berbulan-bulan? Bagaimana pandangan angkatan 2004 mengenai ospek? “Gue suka ospek, ospek itu bagus dan menyehatkan,” kata Danurwendo, seorang mahasiswa Teknik Mesin angkatan 2004. “Tapi yang gue suka itu ospek yang logis dan rasional. Ospek HMM misalnya. Lo boleh ngasih pendapat di situ. Dan hukuman hanya diberikan untuk kesalahan.” Mengenai ospek Teknik Industri? “Gue cukup setuju sama ospek event-centered seperti itu,” kata Danurwendo. “Gue anggap itu terobosan. Tapi harus diimbangi sama ospek yang lebih tradisional. Ada beberapa hal yang gak bisa dipelajari dari intern angkatan sendiri. Ada yang harus diminta dari angkatan atas juga. Gak mungkin juga sepanjang kaderisasi bikin event terus, khan?” Lucky Lukman, ketua PPAB MTI, menyetujui hal ini. Menurutnya tidak mungkin seluruh acara ospek diganti dengan pembuatan event. Panitia harus turut membimbing dan membantu, walaupun kemandirian juga diberikan. Panitia tidak boleh lepas tangan. Namun, menurut Lucky, dengan membuat acara seperti ini mahasiswa baru dapat lebih banyak belajar. “Daripada kita memberi sesuatu yang gak jelas tertangkap atau tidak, lebih baik kita memberi tugas-tugas dan mereka sendiri bisa belajar dari situ,” tuturnya. “Tingkat keberhasilannya juga dapat langsung dilihat dari acaranya.” Dengan kata lain, lebih real. Lebih terlihat, mereka capek buat apa. Pandu W.S.