Bangga, Paul Dwi Ranigiyan Menangkan Sayembara Architectural Design Week 2023 Lewat Arsitektur Restoratif
Oleh Anggun Nindita
Editor Anggun Nindita
BANDUNG, itb.ac.id — Seorang mahasiswa Jurusan Arsitektur Insitut Teknologi Bandung (ITB) angkatan 2020, Paul Dwi Ranigiyan, berhasil menorehkan prestasi membanggakan dalam Architectural Design Week 2023 yang diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa Aristektur Universitas Tarumanegara (IMARTA) beberapa waktu yang lalu.
Architectural Design Week tahun ini mengangkat tema ‘Senandung Ruang’ yang ditujukan untuk menonjolkan elemen akustik dalam desain arsitektur.
Karya Paul yang diberi judul ‘Instrumental’ lahir dari respons atas fenomena penurunan kepekaan manusia terhadap elemen akustik lingkungan. Fenomena ini disebabkan karena banyaknya paparan kebisingan yang diperparah oleh elemen-elemen visual dalam arsitektur masa kini.
Kebisingan yang terus akan membawa berbagai dampak negatif bagi manusia di sekitarnya. Sebut saja meningkatkan stres, tekanan darah, hingga risiko penyakit mematikan. Di sisi lain, orang yang terpapar kebisingan tidak bisa melakukan apa-apa karena pada dasarnya mereka tidak peka terhadap kebisingan itu sendiri.
Akumulasi dampak kebisingan yang semakin parah dengan peningkatan ketidakpekaan manusia terhadap kebisingan itu, akhirnya membentuk pola siklus berulang yang tidak berujung.
Ide Paul adalah membuat sebuah instalasi dengan prinsip arsitektur restoratif yang memanfaatkan elemen-elemen akustik alami untuk membantu proses pemulihan akibat paparan kebisingan. Prinsip arsitektur yang sama juga sering ditemukan pada tempat rehabilitasi atau pusat penyembuhan.
Paul mengemas arsitektur restoratif ke dalam bentuk instalasi yang sederhana dengan menghubungkan elemen visual, spasial, dan akustik. Dirinya memasukkan suara alam di sekitar tapak dengan mengkonversi dorongan angin hingga suara air hujan menjadi elemen akustik yang lebih mudah dinikmati dengan pendekatan desain.
“Suara yang dihasilkan dari instalasi ini tidak lain dan tidak bukan berasal dari elemen-elemen yang ada di site itu sendiri. Aku hanya meng-highlight dan membawa elemen-elemen natural yang sudah ada lebih dekat kepada orang yang masuk lewat instalasi ini,” tutur Paul.
Menurutnya, selama ini banyak orang menganggap arsitektur hanya tentang elemen visual. Padahal pada perancangan Instrumental, elemen akustik juga ditekankan dan dijadikan daya tarik mulai dari area fasad hingga di dalam instalasinya.
Saat memasuki instalasi, pengunjung akan disambut dengan lorong sempit yang cukup panjang. Bagian kanan kiri lorong diberi elemen penghijauan yang cukup tinggi untuk membatasi visual pengunjung sehingga mereka akan lebih peka dan fokus pada kondisi akustik di sekitarnya.
Setelah melewati lorong, pengunjung tiba di ruang dalam instalasi yang penuh dengan berbagai hightlight akustik, mulai dari suara air, angin, hingga burung-burung. Ruang bagian dalam sengaja dibuat cukup luas dan terbuka yang kontras dengan lorong sempit memanjang pada area sebelumnya.
“Aku ingin orang-orang datang ke instalasi ini bukan karena pandangan pertamanya, tapi dari pendengaran pertamanya. Jadi bagaimana fasadnya tidak hanya menarik dari elemen visual, tapi juga akustik,” ujar Paul.
Melalui Instrumental, Paul ingin membawa elemen akustik natural yang biasanya hanya dibiarkan lewat begitu saja menjadi lebih dekat dan bermakna bagi pengunjung. Ia sekaligus ingin menyampaikan bahwa hal-hal kecil di sekitar kita memiliki nilai untuk didengar bahkan mampu memberikan fungsi penyembuhan.
Harapannya, dengan adanya karya Instrumental ini dapat memberikan kesadaran bagi pengunjung bahwa mereka bisa membangun kenyamanan akustik di sekitarnya.
Reporter: Hanifa Juliana (Perencanaan Wilayah dan Kota 2020)