“City of Hopes”, Di Balik Kemeriahan Festival Nalaswara
Oleh Anin Ayu Mahmudah
Editor Anin Ayu Mahmudah
BANDUNG, itb.ac.id – Dalam rangka mengaplikasikan ilmu yang dipelajari dari mata kuliah Management Practice and Leadership, mahasiswa Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB angkatan 2019 menyelenggarakan Festival Nalaswara pada Sabtu (22/04/17) di sekitar gedung SBM ITB. Mengangkat nama yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, festival bertajuk “” menghadirkan konsep acara kreatif yang merupakan hasil gagasan dan karya mahasiswa SBM 2019. Festival yang dihadiri oleh ribuan pengunjung mulai dari mahasiswa ITB hingga masyarakat umum ini membawakan beragam jenis wahana, bazaar, serta performance yang unik dan inovatif.
Kesuksesan Nalaswara
Konsep acara yang matang menjadi kunci suksesnya Nalaswara 2017. Festival yang dirangkai oleh 360 mahasiswa SBM 2019 ini ternyata merupakan buah pemikiran mereka bersama. “Oleh karena itu, Nalaswara diselenggarakan dalam bentuk festival of project, yaitu gabungan berbagai macam project dari wahana, performance, dan manajerial event,” ungkap Lita selaku panitia bidang Public Relations. Nalaswara sendiri diadaptasi dari bahasa sanskerta yang berarti ‘api menyala’, terinspirasi dari ide akan kekuatan harapan yang amat besar.
“Nalaswara mengangkat tema utama harapan karena kami ingin memberi sesuatu yang impactful bagi masyarakat dalam bentuk harapan baru,” tutur Lita. Dengan konsep itulah acara ini dirancang sedemikian rupa dengan berbagai wahana interaktif agar pengunjung bisa mendapatkan esensi acaranya secara langsung dengan pendekatan dua arah. Pendekatan dua arah membuat pengunjung aktif sebagai subjek yang menikmati wahana sekaligus mendapatkan manfaat dari wahana tersebut.
Nalaswara mengambil latar belakang kota legenda yang akhirnya ditemukan setelah hilang ditelan waktu. Kota tersebut dibagi menjadi tiga zona yaitu Lost Village, Underwater Town, dan City of Light yang masing-masing memiliki suasana tersendiri. Ketiga zona tersebut dirancang untuk menghadirkan keragaman perspektif bagi para pengunjung, sekaligus merepresentasikan pembabakan waktu masa lalu, sekarang, dan masa depan secara berturut-turut.
Beragam Wahana dan Konsep yang Unik
Setiap zona memiliki masing-masing wahana yang akan memanjakan pengunjung acara, salah satunya Wahana “Babakaran” di Zona Village. Pengunjung akan ditantang untuk makan sate sepuasnya, namun tangan mereka dibatasi oleh pipa paralon sehingga dibutuhkan kerja sama antaranggota untuk saling menyuapi. Lalu, di Zona Town terdapat Wahana Hotel Sola yang cukup menguras kemampuan berpikir pengunjungnya. Di wahana ini pengunjung di-setting seolah-olah menjadi seorang detektif yang harus menyelidiki kasus pembunuhan terencana. Detektif diberikan kesempatan wawancara dengan pelaku untuk mencari motif pembunuhan, namun uniknya pelaku adalah seorang yang memiliki gangguan jiwa sehingga menyulitkan penyidikan.
Selain itu, ada juga konsep unik untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan. Dengan Chatraciho sebagai pengawas kebersihan, mereka akan mengawasi kebersihan di acara Nalaswara. Bila ada yang membuang sampah pada tempatnya, sang pengawas akan memberikan reward tertentu. Sebaliknya, punishment akan didapatkan bila pengunjung membuang sampah sembarangan. Sistem ticketing pun tak kalah menarik. Setiap pengunjung yang datang akan mendapatkan paspor sehingga membuat pengunjung merasa berada pada latar kota legenda yang berbeda dari kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran Kehidupan
Lita juga menjelaskan suka duka menjadi panitia Nalaswara. Menurutnya, Nalaswara ini seperti miniatur kehidupan yang memberi banyak pengalaman berkesan. Ia berujar, “Kami belajar banyak hal disini dari merencanakan acara bersama, menjalin relasi dengan pihak eksternal, dan manajemen stres.” Hampir semua teori yang diberikan di kelas sejak semester pertama diaplikasikan dalam acara ini secara langsung seperti manajemen, simulasi bisnis, dan lain-lain. Mahasiswi SBM 2019 itu juga menuturkan bahwa profesionalisme dalam kerja itu sangat penting, “Saya jadi belajar bagaimana membagi peran sebagai panitia dan teman sehari-hari. Walaupun saat rapat kami beradu argumen, namun setelah itu kami main seperti teman biasa saja. Tidak ada perasaan dendam, kesal, atau apapun itu karena apa yang dibicarakan dalam konteks kepanitiaan tidak boleh dibawa ke dalam pertemanan.”
Di akhir Lita menambahkan, “Kalau masalahnya sih lebih banyak tentang waktu. Jadi dengan kesibukan setiap orang yang berbeda-beda, merupakan sebuah tantangan bagi kami untuk dapat tetap mempersiapkan Nalaswara ini. Tapi dengan kerjasama tim dan kekuatan harapan bersama, kami yakin semua itu dapat teratasi.” Walaupun beragam masalah menghantam, Lita mengaku bahwa kesulitan-kesulitan tersebut justru makin mempererat hubungan antar mahasiswa SBM angkatan 2019.
Reporter : Hanafi Kusumayudha (Fakultas Teknologi Industri 2016)
ITB Journalist Apprentice 2017