Demam "World Class University?"

Oleh asni jatiningasih

Editor asni jatiningasih

BANDUNG, itb.ac.id- Minggu(11/10/2009), Seputar Indonesia memuat tulisan Rektor ITB, Prof. DR. Ir. Djoko Santoso, M.Sc mengenai pemeringkatan universitas secara global dan lokal. Dalam tulisan  tersebut diulas pemeringkatan universitas oleh beberapa lembaga dan metoda yang digunakan. Mengacu pada peringkat 400 besar dunia, ITB berada di urutan 351 dunia. Sedangkan, Times Higher Education(THE), meletakkan ITB pada bidang teknologi di 80 besar dunia.
Beberapa kriteria harus dipenuhi universitas, seperti unggul dalam riset, kebebasan suasana intelektual akademis yang sangat menarik, kemandirian tata pamong, fasilitas dan dana yang memadai, diversitas; internasionalisasi (mahasiswa, pakar, dan dosen asing), kepemimpinan yang demokratis, jenjang sarjana yang berbakat; penggunaan ICT, manajemen yang efisien, dan perpustakaan yang memadai; pembelajaran yang berkualitas, keterikatan dengan masyarakat yang berkepentingan, serta berada pada jejaring kerja sama.

THE biasanya membuat dasar untuk pemeringkatan yang berubah dari tahun ke tahun. Untuk tahun ini, THE selain membuat pemeringkatan secara keseluruhan universitas, THE juga membuat pemeringkatan berdasarkan bidang keilmuan. Pemeringkatan dilakukan pada lima bidang, yaitu sains, teknologi, biomedicine, sains sosial dan ilmu-ilmu kemanusiaan, serta secara khusus diperhatikan yang memiliki bidang kedokteran. Karena dasarnya adalah cakupan komprehensif, universitas yang hanya bekerja pada satu cakupan bidang ilmu tidak dapat diikutsertakan. Universitas baru disertakan dalam pemeringkatan jika setidaknya memiliki dua cakupan bidang ilmu atau lebih. Hal ini tentu mudah dimengerti karena jika hanya mencakup satu bidang ilmu saja, pasti skornya akan sangat rendah karena kriteria yang mereka gunakan ialah peer review (40%), pendapat pengguna lulusan (10%), perbandingan dosen dan mahasiswa (20%), jumlah sitasi per dosen (20%), jumlah dosen internasional (5%), dan jumlah mahasiswa internasional (5%).Jadi semakin sedikit cakupan bidang ilmu pasti akan semakin kecil jumlah mahasiswa dan selanjutnya meskipun riset yang dilakukan sangat intensif belum akan menghasilkan peringkat yang tinggi. Artinya, jika suatu universitas yang memiliki cakupan bidang keilmuan lebih sedikit harus berkompetisi dengan universitas yang cakupan bidang keilmuannya lebih banyak tentu tidak berimbang (peluang untuk 'menang' lebih kecil). Untuk itu, agar menjaga keadilan (fairness),THE kemudian membuat pemeringkatan untuk cakupan dalam setiap bidang keilmuan tersebut (kelima bidang) dan menyebut universitas ini sebagai universitas spesialis.

Secara garis besar rujukan utamanya menjadi cakupan bidang keilmuan, ukuran mahasiswa (besarnya jumlah mahasiswa), dan keintensifannya melakukan riset. Dengan memahami keseluruhan filosofi dan proses pemeringkatan yang dilakukan, jika universitas tersebut adalah universitas komprehensif yang memiliki cakupan bidang ilmu yang lengkap, memiliki jumlah mahasiswa yang besar, dan memiliki mutu yang baik pasti akan memiliki peringkat tinggi secara keseluruhan universitas dan dimungkinkan pula memiliki peringkat tinggi dalam bidang-bidangnya pula.

Sebaliknya jika universitas tersebut merupakan universitas spesialis, maka jika bermutu baik pasti akan berperingkat tinggi dalam bidangnya tetapi lebih rendah secara keseluruhan. Dengan memperhatikan cara THE melakukan pemeringkatan, Rektor ITB dalam tulisannya kemudian membahas penerapannya terhadap perguruan tinggi yang ada di Indonesia.

Mengacu pada peringkat 400 besar dunia, diperoleh tiga universitas di dalamnya, yaitu UI (201), UGM (250), dan ITB (351). Sesuai dengan uraian sebelumnya, dapat dijelaskan bahwa UI dan UGM adalah universitas komprehensif yang mencakup seluruh bidang ilmu, termasuk kedokteran. Sementara itu jumlah mahasiswa UI maupun stafnya juga tiga kali lipat dari ITB.

Sebagai pembanding, ITB merupakan universitas spesialis yang terutama hanya bekerja pada cakupan bidang sains dan teknologi (bahkan sering dikenal sebagai perguruan tinggi teknologi saja). Namun, jika ITB bermutu baik, ITB harus memiliki peringkat yang tinggi dalam bidang teknologi. Kenyataannya, THE meletakkan ITB pada bidang teknologi di 80 besar dunia.

Tampaknya ini hasil optimal yang dapat dilakukan di ITB melalui usaha keras yang dilakukannya melalui kuantitas maupun kualitas dalam riset. Ternyata ini pun sesuai dengan parameter yang digunakan THE yang meletakkan ITB dengan kepemilikan jumlah paper per dosen yang tertinggi di antara ketiga universitas. Hal ini juga konsisten dengan catatan scopus tanggal 29 September 2009, yaitu ITB mengumpulkan makalah 1.218, UI sebanyak 1.196,dan UGM 748.

Belajar dari analisis ini, jika universitas akan turut berkompetisi dalam world class university versi THE untuk seluruh universitas yang mengacu pada pola 2009, idealnya universitas tersebut harus merupakan universitas komprehensif dalam arti memiliki cakupan lima bidang keilmuan, memiliki jumlah mahasiswa maupun dosen yang besar, serta melakukan riset secara intensif dan dipublikasikan secara internasional.

Namun untuk universitas yang cakupan keilmuannya terbatas atau terfokus atau merupakan universitas spesialis, yang hanya memiliki dua cabang keilmuan atau kurang dari lima cabang yang telah ditentukan THE, tetap dapat berlomba dengan syarat bermutu baik dan melakukan riset secara intensif serta diterbitkan secara internasional.

Sumber berita: Seputar Indonesia, Artikel "Demam 'World Class University'?" (dengan sedikit perubahan) oleh Prof. DR. Ir. Djoko Santoso, M.Sc, Rektor Institut Teknologi Bandung

    


scan for download