Dr. Pindi Setiawan Berbagi Cerita Penemuan Lukisan Dinding Tertua di Karst Sangkulirang

Oleh Adi Permana

Editor Adi Permana

BANDUNG, itb.ac.id -- Penemuan menakjubkan berupa lukisan cap tangan dinding gua atau rock art tertua di dunia berhasil ditemukan di Indonesia tepatnya ada di pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat, Kalimantan Timur. Salah satu peneliti yang terlibat dalam penemuan tersebut adalah Dr. Pindi Setiawan M.Si., dosen di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung.


Lukisan cap tangan tersebut berhasil diidentifikasi oleh tim peniliti ITB, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan Universitas Griffith Australia. Hasil penemuan tersebut juga telah dipublikasikan di jurnal Nature edisi November 2018, dengan penulis Pindi Setiawan dari ITB, Maxime Aubert dari Universitas Graffith, dan Adhi Agus Octaviana dari Puslit Arkenas. 

Diwawancara Humas ITB belum lama ini, Pindi menceritakan perjalanan penelitian yang telah ia lakukan. Penelitian lukisan cap tangan tersebut sebetulnya sudah dilakukan sejak 1995. Sampai 2014, gambar yang telah ditemukan di lokasi tersebut berjumlah 2.000 gambar. Konsentrasinya dalam penelitian tersebut adalah meneliti gambar cap tangan. "Kalimantan dulunya tidak dikenal memiliki gambar pra sejarah. Cap tangan adalah salah satu indikasi utama gambar yang tua. Lukisan gua tersebut diprediksi berusia 40.000 ribu tahun sampai 35.000 tahun. Awalnya ada informasi yang sampai kepada saya, baru sejak 1995 itulah nyaris setiap tahun saya bersama tim peneliti lain survei ke gua-gua mencari cap tangan," katanya.

Lokasi hutan yang lebat, dan pegunungan yang tinggi menjadi tantangan selama melakukan penelitian. Ditambah lagi, letak gua yang akan dituju berada di tempat yang tinggi. Sedikitnya sudah 500 gua ditemukan di kars Sangkulirang, namun yang ada lukisan cap tangan hanya 50 gua saja.

"Dari ribuan gambar, ada beberapa imaji yang menarik perhatian saya. Imaji itu tidak sejalan dengan teori yang dipakai arkeolog selama ini, yang mengira bahwa gambar-gambar di Indonesia dibuat oleh orang-orang Austronesia. Orang ini datang ke Indonesia kira-kira 3.000 tahun lalu, artinya masih baru," ucapnya.

Namun yang ditemukan di Maros (Sulawesi) dan Sangkulirang (Kalimantan), dijelasknya, beberapa gambar menunjukkan bahwa bukan orang Austronesia yang menggambar. Hal itu dibuktikan dengan gambar binatang tapir. Binatang ini diketahui punah 6.000 tahun lalu di Indonesia. "Rasanya orang kalau menggambar tapir harus pernah melihat hewannya kan, karena imaji itu adalah imaji yang seperti dilihat, jadi menggambarkan apa yang dilihat, bukan menggambarkan apa yang dipikirkan," katanya.

Hipotesis selanjutnya yang ia paparkan, ditemukan pula gambar trenggiling, namun bentuknya sedikit berbeda. Ternyata hewan itu merupakan trenggiling raksasa yang sudah punah di Indonesia 30.000 tahun lalu. "Berarti secara analisis gambar, dia (orang yang membuat cap tangan) kira-kira 30.000-35.000 tahun," katanya.

Pindi juga menemukan gambar alat buru memakai pelontar tombak. Alat itu hanya bisa dipakai di ruang terbuka atau savana. Daerah sekarang di Kalimantan seperti diketahui adalah hutan tropis. Lalu kenapa alat tersebut bisa digambarkan. "Apakah dia bertualang ke daerah Savana? Ternyata menurut sejarah Geologi, hutan tropis baru ada di pesisir Kalimantan Timur 8.000 tahun lalu. Berarti alat itu dipakai oleh orang-orang ketika Kalimantan masih savana," kata dosen pada Kelompok Keahlian Komunikasi Visual dan Multimedia ini.

*Dok. Pindi Setiawan

Untuk menguatkan hipotesis tersebut, dilakukanlah penanggalan (datting) memakai uranium-torium terhadap larutan karbonat pada dasar lukisan dan lapisan di atasnya. Alat melakukan datting ini kebetulan dimiliki oleh Universitas Griffith Australia. Setelah dilakukan datting, menunjukkan beberapa temuan menarik bahwa gambar banteng berusia 40.000 tahun, cap tangan berusia 30.000 tahun. Selain itu dihasilkan pula fakta bahwa beberapa cap tangan ada yang berusia 20.000 tahun - 9.000 tahun. Perbedaan tersebut ditandai dengan warna merah untuk cap tangan berusia 30.000 tahun dan cap tangan 20.000-9.000 tahun berwarna ungu. "Lalu dicek lagi di lapangan, ternyata yang merah itu selalu berada di bawah ungu. Artinya terkonfirmasi dan bisa dipublish hasil penelitian lewat Jurnal Nature," ujarnya.

Makna Gambar
Dijelaskan Pindi, lukisan di dinding gua termasuk pada budaya gambar cadas atau rock art orang zaman dulu. Di seluruh dunia, secara umum dapat dijumpai dengan lukisan cap tangan. Jika dilakukan pemaknaan, cap tangan ini bisa merupakan pernyataan kehadiran diri sendiri. "Bahwa saya pernah berada di sini, itu teori sederhana sekali," ungkapnya.

*Dok: Pindi Setiawan

Namun jika ditinjau dari teori Samanisme, cap tangan adalah representasi seseorang yang berhubungan dengan dunia ghaib di belakang dinding ini. Jadi, dinding tersebut dianggap sakral oleh orang tersebut. "Kalau teori sosial perburuan, itu menunjukkan pernyataan naik kelas. Tadinya orang biasa sekarang jadi pemburu utama, dulunya remaja sekarang dewasa," tambahnya.

Menariknya, lukisan cap tangan anak kecil kerap kali muncul di karst Sangkulirang. Ini bisa ada dua kemungkinan, menurutnya. Pertama sebuah pernyataan saya kecil dan saya besar. Kedua, pernyataan kelompok. "Cap tangan ini dihubungkan atau dikomposisikan. Berarti ada teori lain tidak hanya merujuk pada pernyataan diri tetapi juga ada pernyataan kelompok. Juga sangat jarang ditemukan di dunia. Kalau di Sangkurilang mereka kelihatan motivasinya ingin membuat cap tangan bersama," ujarnya. Ada pula beberapa cap tangan yang diisi dengan gambar-gambar hewan dan dihubungkan dengan garis antar cap tangan.

*Dok. Pindi Setiawan

Penemuan lukisan dinding gua memang ditemukan pula di tempat lain. Biasanya obyek yang digambar ialah mamalia besar seperti gajah, harimau, banteng, rusa, trenggiling. Gambar di Kalimantan ditemukan hewan trenggiling, rusa, banteng dan babi hutan. Berbeda dengan di Karst Maros, Sulawesi, gambar yang banyak ialah anoa dan babi hutan.

"Selain menggambar binatang mereka juga menggambar antropoda (hewan berkaki banyak) seperti lintah, dan kaki seribu. Gambar antropoda menurut saya hanya di Sangkurilang. Kemudian mereka juga menggambar daun, daun ini juga tampaknya cuman di Sangkurilang. Ciri khas yang penting adalah adanya kadal. Penggambaran kadal inilah kalau dia satu zaman dengan 40.000 tahun maka itu adalah gambar continuitas yang terus dipakai hingga sekarang. Seperti leaving tradition yang masih ada, dipakai dalam upacara ritual, pernyataan kesucian dan seterusnya hingga sekarang," tuturnya.

Pentingnya Kolaborasi Antar Ilmu
Pindi mengatakan, awalnya konsentrasi penelitian yang ia lakukan adalah meneliti tentang gambar. Namun ternyata, harus berhubungan dengan disiplin ilmu lain seperti Geologi, Geochemical, Kimia, Fisika, dan Geodesi. Oleh karena itu, sangat penting kolaborasi antar disiplin ilmu tersebut dari para peneliti sehingga tercipta hasil penelitian yang bagus. "Untuk mendapatkan penemuan yang baik harus kolaborasi. Penelitian yang melibatkan antar keilmuan bisa membuat kita melompat jauh ke depan. Dengan sendirinya bangsa kita yang diuntungkan bahkan umat manusia," pesannya. 

*Dok. Humas ITB

Kawasan Karst Sangkulirang-Mangkalihat rencananya akan diajukan sebagai Warisan Dunia oleh Unesco. Namun sebelum menuju ke sana, perlu ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya Nasional oleh Indonesia. Konservasi cagar budaya sangat perlu dilakukan karena dikhawatirkan terjadi kerusakan dan tidak terjaga dengan baik, apalagi lukisan cap tangan sangatlah mudah rusak karena usianya sangat tua.