Dialektika ke-6 KM ITB Tentang Akses Pendidikan
Oleh kristiono
Editor kristiono
Bandung, itb.ac.id - Sebagai bagian dari rangkaian dialektika rutin, Kabinet KM ITB pada hari Jum’at (11/01) bertempat di Ruang 26 Campus Center menyelenggarakan dialektika pendidikan bertajuk “Pengumuman: Pendidikan Bukan untuk Semua”. Tampil sebagai pembicara adalah Menteri Pengabdian Masyarakat Kabinet KM ITB Budiono dan Pengamat Pendidikan Eko Prasetyo.
Dalam presentasinya, Budiono menyoroti semakin sulitnya akses pendidikan tinggi bagi masyarakat miskin di Indonesia. Menurut Budiono, orang miskin semakin sulit memasuki perguruan tinggi dikarenakan tuntutan biaya yang semakin mahal seiring dengan berlakunya RUU BHP. Guna memperluas akses perguruan tinggi kepada semua kalangan, Budiono berpendapat bahwa PT harus kembali kepada fungsi pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat seperti yang tercermin dalam Tridarma. Melakukan reorientasi BHP dan mengembalikan orientasi mahasiswa ke masyarakat.
Sementara itu, Pengamat Pendidikan Eko Prasetyo menyampaikan presentasi berjudul, “Perguruan Tinggi : konflik mandat dan pasar”. Penulis buku Orang Miskin Dilarang Sekolah ini berpendapat bahwa kini dunia pendidikan tinggi di Indonesia sedang mengalami krisis.
Eko merinci konsekuensi krisis perguruan tinggi tersebut tampak dalam tiga hal. Pertama, pola pengembangan jaringan makin bebas yang terindikasi dari semakin banyaknya kemitraan antara universitas dengan perusahaan rokok. “Kalau laba tiga besar perusahaan rokok digabung, jumlahnya akan melebihi alokasi anggaran untuk pendidikan”, ujar Eko. Kedua, komersialisasi gelar kesarjanaan, dengan semakin maraknya praktik jual beli gelar, termasuk penganugerahan gelar honoris causa (HC) kepada pejabat publik. Ketiga, tuntutan kebutuhan biaya yang semakin besar tidak hanya membuat mekanisme penerimaan mahasiswa semakin beragam, namun juga membuat beberapa perguruan tinggi berkreasi menaikkan kuota daya tampung mahasiswa, membentuk fakultas-fakultas baru, serta dibukanya kelas internasional maupun ekstensi.
Menurut Eko, beberapa indikasi diatas akan semakin mempersulit masyarakat bawah mengakses pendidikan tinggi. “Layanan prima untuk mereka yang bayar”, katanya menambahkan. Menurut Eko, agar masyarakat miskin tetap mampu mengakses pendidikan tinggi perlu dilakukan pengembangan manajemen kampus yang berorientasi publik dan sosial. Pengembangan jaringan pendanaan yang sesuai dengan Tridarma Perguruan Tinggi. Serta mendorong gerakan mahasiswa agar lebih dekat dengan masyarakat.